PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah diyakini bisa mendatangkan keadilan bagi demokrasi kita. Putusan itu menggerakkan kembali pendulum demokrasi yang setahun ini dicengkeram konflik kepentingan.
Dengan keputusan yang dibuat pada Selasa (20/8) itu, pendulum akan lebih bergerak sesuai aspirasi. Demokrasi sejati adalah praktik demokrasi yang memungkinkan rakyat memperoleh banyak pilihan. Sebaliknya, demokrasi yang mempersempit pilihan, bahkan menyediakan pilihan yang berbeda dengan aspirasi publik, adalah demokrasi seolah-olah.
Putusan MK, yang intinya melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah dari partai politik, jelas membuka pintu bagi lebih banyak peserta pilkada. Putusan itu, dengan demikian, bisa dimaknai sebagai pengembalian demokrasi pada jalurnya yang benar.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Kita patut menyambut gembira dengan Pilkada 2024 yang lebih ‘ramai’ ini karena begitulah sejatinya demokrasi. Karena, prinsip dasar demokrasi ialah sebanyak mungkin menggaet partisipasi rakyat.
Dalam pembacaan putusan atas gugatan yang dimohonkan Partai Buruh dan Partai Gelora, kemarin, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25% perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil pileg DPRD sebelumnya, atau 20% kursi DPRD. MK memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik/gabungan parpol disamakan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Pilkada.
Dengan putusan itu, maka parpol yang tadinya tidak bisa mengusung siapa pun sebagai calon kepala daerah karena tidak punya rekan partai untuk memenuhi ambang batas 20%, sekarang bisa mengajukan calon, bahkan bisa mengusung calon sendiri.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Selain soal ambang batas, MK juga menolak mengubah syarat usia calon kepala daerah dari dihitung saat penetapan menjadi saat pelantikan. Itu artinya, MK menutup celah polemik usia yang sempat diubah oleh Mahkamah Akbar. Hal itu MK lakukan lewat Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menolak gugatan pengubahan penentuan syarat usia minimum dalam UU Pilkada.
MK menyatakan aturan dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada tidak memerlukan penambahan makna apa pun. Pasal itu berbunyi: ‘Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta berusia 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota’.
MK menilai pasal itu sudah jelas dan terang benderang. MK menyatakan harus ada penegasan kapan Komisi Pemilihan Standar (KPU) menentukan usia kandidat memenuhi syarat atau tidak, dan hal itu mesti ditentukan pada saat penetapan.
Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik
Sebelumnya, Mahkamah Akbar (MA) memerintahkan KPU untuk mengubah aturan penentuan usia peserta pilkada. MA menyatakan usia calon kepala daerah ditentukan pada saat pelantikan dan bukan pada saat penetapan pasangan calon.
Dua putusan MK itu bersifat final dan mengikat, serta berlaku sejak dibacakan putusan. Final berarti tidak ada upaya banding lagi, sedangkan mengikat berarti putusan itu wajib dipatuhi dan dieksekusi oleh para pihak yang berkaitan dengan Pilkada 2024.
Karena itu, suka atau tidak suka, setuju atau kontra terhadap putusan tersebut, semua pihak mesti menerima secara legawa. Demi menjaga prinsip-prinsip dan keadaban berbangsa dan bernegara, semua pihak harus rela menjalankan putusan itu, apalagi KPU selaku penyelenggara Pilkada 2024. KPU mesti segera menyelaraskan putusan itu, mumpung masih ada waktu sembilan hari menuju pendaftaran calon kepala daerah.
Baca juga : Kolaborasi Atasi Akibat Ekonomi
Enggak ada celah bagi siapa pun, terutama KPU untuk membangkang menolak putusan MK tersebut. Pembangkangan atas putusan hukum hanya akan membawa implikasi berkelanjutan, baik berupa delegitimasi pilkada maupun tidak sahnya perhelatan yang memakan biaya triliunan rupiah itu.
KPU, juga seluruh partai politik dan seluruh rakyat, harus sama-sama menghormati dan menjunjung putusan MK itu. Penghalangan dalam bentuk apa pun terhadap pelaksanaan putusan tersebut adalah pengkhianatan pada konstitusi, juga terhadap demokrasi.
Kalau demokrasi tegak, pilkada berlangsung adil dan bermartabat, maka siapa pun yang memenangi pilkada pada hakikatnya adalah kemenangan sejati, bukan kemenangan semu buah dari prakondisi. Itulah demokrasi yang bermartabat dan penuh keadaban.