Hilirisasi Nikel Perlu Diarahkan Menuju Industri Hijau

Ilustrasi perusahaan tambang. Foto: MI/Angga Yuniar.

Jakarta: Pemerintahan Prabowo-Gibran Lalu mendorong program hilirisasi nikel Kepada mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen yang tercantum dalam Asta Cita. Keseriusan ini dibuktikan dengan pembentukan satuan tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Daya Nasional.

Kebijakan hilirisasi nikel diklaim meningkatkan pendapatan ekonomi nasional sebesar 21,2–21,6 persen serta menciptakan penyerapan tenaga kerja hingga 13,83 juta dalam 10 tahun terakhir. Tetapi studi Koaksi Indonesia menunjukkan kesenjangan yang signifikan.

Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia Ridwan Arif menyoroti tiga Elemen yang menjadi Dalih mengapa hilirisasi belum Bisa dikatakan sebagai Green Jobs. Dalam hilirisasi, ia menyebut, Lagi banyak hal yang belum terpenuhi Kepada dapat dikatakan Green Jobs.

“Rupanya, Lagi panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, Dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang Lagi banyak menimbulkan kerusakan lingkungan,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 23 Januari 2025.

Cek Artikel:  99,5 Persen Pekerja Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan pada 2045

Kepada itu, industri pengolahan nikel harus memenuhi prinsip Environmental, Social and Governance (ESG) menuju transformasi ke arah dekarbonisasi industri dan praktik industri yang bertanggung jawab. Industri nikel yang bertanggung jawab akan Mempunyai implikasi jangka panjang.

Studi ini menyoroti pentingnya kolaborasi dan koordinasi multipihak Bagus pemerintah, industri tambang nikel dan pengolahannya, serta masyarakat sipil Kepada memastikan kepentingan ekonomi, perlindungan sosial, dan lingkungan dapat berjalan Serempak.

“Smelter nikel akan menunjang transisi Daya. Tetapi di dalam proses produksinya kalau Kagak melakukan dekarbonisasi ya Sia-sia. Jadi, Eksis beberapa teknologi yang digunakan Kepada meningkatkan recovery dan menekan pencemaran,” ujar Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian Taufik Achmad.

Critical Minerals Transition Project Lead WRI Indonesia Reza Rahmaditio menyebut, keberadaan smelter nikel berpotensi pada terciptanya Green Jobs yang Kagak hanya Kepada smelter itu sendiri. Tetapi, menciptakan Green Jobs di berbagai industri manufaktur yang berkaitan dengan nikel.

Cek Artikel:  Bangladesh Hadapi Krisis Likuiditas, Kemendag RI Terbitkan Imbauan

Green Jobs Kagak hanya di smelter itu sendiri. Kepada memenuhi kebutuhan EBT di smelter, diperlukan berbagai manufaktur yang menghasilkan EBT. Misalnya, manufaktur solar panel, wind turbine, dan manufaktur low carbon lainnya,” ungkapnya.
 


(Ilustrasi pertambangan. Foto: MI/Panca Syurkani)

Tantangan industri nikel

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi. Salah satunya paspor baterai yang harus dimiliki nikel Indonesia apabila Ingin jalan-jalan ke Eropa, Merukapan ESG padahal belum Eksis regulasi ESG Kepada minerba.

Tantangan ini senada dengan hasil studi Koaksi Indonesia yang menunjukkan bahwa hilirisasi nikel berimplikasi terhadap risiko bisnis. Standar keberlanjutan tertentu yang diterapkan Amerika Perkumpulan dan Uni Eropa misalnya akan menyebabkan nikel Indonesia sulit menembus dua pasar itu.

“Kami harus meng-handle 300 tambang yang Eksis di kepulauan. Tentu, efeknya Eksis pekerjaan baru, Tetapi perlu Eksis training yang proper, tunjangannya sudah layak belum, apakah sudah comply dengan kehidupan mereka di sana?” ungkap Meidy.

Cek Artikel:  Penumpang di Stasiun Manggarai Membludak, Ini Antisipasi KAI Commuter

Selain itu, Meidy mengajak Kepada mencari solusi Serempak terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE). Pemerintah Sepatutnya Kagak hanya mempertimbangkan permintaan dari industri smelter, Tetapi perlu Menyaksikan perkembangan harga dan demand nikel Dunia.

 Presiden Konfederasi Perkumpulan Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban mengatakan, pemerintah Sepatutnya Kagak hanya menjelaskan kebijakan yang berkaitan dengan penutupan pertambangan karena isu kerusakan lingkungan. Tetapi, pemerintah perlu Menyaksikan pekerja yang merasakan.

“Begitu pula dengan isu Green Jobs. Green Jobs yang sudah Lamban digaungkan, kabarnya akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan dari transisi Daya. Tetapi, pernahkah pemerintah Menyaksikan berapa persen pekerja yang sudah memahami isu ini? Lewat, bagaimana dengan ketersediaan infrastruktur atau skill yang dipersiapkan?” ujarnya.

Mungkin Anda Menyukai