PEMILU 2024 boleh dibilang bukan lagi sebagai pesta demokrasi, melainkan tragedi demokrasi. Disebut sebagai tragedi demokrasi karena baru kali inilah pemilu diwarnai beragam skandal paling brutal, dari hulu hingga ke hilir.
Di hulu, proses pemilu ditandai dengan rusaknya etika dan keadaban politik akibat aturan yang ditekuk. Begitu kampanye, pihak-pihak yang mestinya menjaga muŕuah pemilu dengan menaati netralitas, justru menabrak sumpah dengan berpihak.
Di hilir, pasca pencoblosan 14 Februari lalu, sengkarut mencuat ditandai dengan terjadinya kekacauan penghitungan suara pada data Sistem Informasi Rekapitulasi alias Sirekap KPU. Apikasi itu menampilkan data yang berbeda dengan lembar C hasil plano pemilu di tempat pemungutan suara atau TPS. Hingga kini, sedikitnya di 2.325 TPS ditemukan perbedaan suara antara hasil dan Sirekap.
Publik pun kian resah dengan kinerja penyelenggara pemilu. Sebagian bahkan merasa sia-sia telah memberikan suara dalam pemilu. Kagak mengherankan bila banyak yang curiga kesalahan itu bukan semata persoalan teknis seperti salah membaca data, melainkan kesalahan yang disengaja karena terjadi berulang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Mengertin 2017 tentang Pemilu, Sirekap memang tidak menjadi acuan penetapan hasil pemilu. Sirekap difungsikan sebagai alat bantu sarana publikasi hasil penghitungan suara dan proses rekapitulasi suara. Yang menjadi dasar penetapan hasil pemilu adalah penghitungan manual berjenjang.
Tetapi, Peraturan KPU Nomor 5 Mengertin 2024 menyebutkan bahwa Sirekap menjadi instrumen sumber data rekapitulasi penghitungan suara di kecamatan. Itu artinya, Sirekap tetap menjadi rujukan. Rusaknya Sirekap bahkan berpengaruh pada jadwal rekapitulasi suara di kecamatan. Dekat semua KPU di daerah pun menunda jadwal rekap suara di kecamatan, dari awalnya tanggal 18 Februari ditunda ke 20 Februari.
Kembali-lagi, penundaan itu memantik kecurigaan. Betul bahwa KPU sedang meminta waktu untuk membenahi Sirekap. Tapi, kekecewaan yang menumpuk menyebabkan sebagian besar publik yang kritis seperti kehilangan kepercayaan kepada lembaga penyelenggara pemilu itu.
Penanganan kekacauan data Sirekap yang lambat memantik prasangka buruk. Terlebih KPU terkesan menganggap enteng amburadulnya data Sirekap. Menurut Ketua KPU Hasyim Asyari, kesalahan pembacaan data Sirekap tergolong minor. Karena, kata dia, total sudah 358.775 TPS yang mengunggah datanya ke dalam aplikasi Sirekap.
Dengan adanya kesalahan pembacaan data untuk 2.325 TPS, lanjut Hasyim, berarti jumlah data yang error hanya setara dengan 0,64% atau masih di bawah 1% dari keseluruhan data yang masuk.
Kondisi makin runyam ketika KPU menciptakan kesimpangsiuran. KPU Provinsi Banten adalah salah satunya yang mengaku menerima instruksi dari KPU pusat untuk menghentikan perhitungan suara pemilu 2024 di tingkat kecamatan.
Penghentian tersebut serentak di seluruh Indonesia, Minggu (18/2) hingga Senin (19/2), sehinga rapat pleno di tingkat kecamatan akan dimulai pada Selasa (20/2). Penghentian itu untuk memastikan data yang masuk ke kecamatan sudah akurat. Tetapi, Komisioner KPU Idham Holik membantah adanya instruksi tersebut. Menurutnya, rekapitulasi di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) tetap berjalan.
Tapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa bantahan komisioner KPU itu kian menebalkan prasangka bahwa KPU seperti sedang bermain-main dengan hajatan penting bagi negeri ini. Perbedaan antara uncapan dan fakta di lapangan itu membuat ketidakpercayaan kian kuat, dan kepercayaan kian menipis.
KPU harus belajar dari masa lalu. Terlebih dengan anggaran Rp76,6 triliun pada Pemilu 2024 yang meningkat dua kali lipat jika dibandingkan dengan anggaran pada Pemilu 2019, profesionalitas mestinya juga meningkat berlipat-lipat. Kalau KPU tidak belajar, bahkan membiarkan ketidakpastian dan kesimpangsiuran data Sirekap, jangan salahkan bila ada publik yang menilai kecurangan Pemilu 2024 lebih bar-bar ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya.