SEPERTI dalam pelaksanaan sebelum-sebelumnya, pada 2022 Indonesia mengikuti Program for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Hasilnya baru saja diumumkan secara serentak pada 3 Desember 2023 lalu. PISA merupakan sebuah survei internasional yang mengukur kemampuan literasi matematika, literasi membaca, dan literasi sains dari siswa berusia 15 tahun di berbagai negara.
Mungkin seperti sudah diperkirakan penurunannya, dari dampak penutupan sekolah karena wabah covid-19, hasil PISA 2022 menunjukkan bahwa skor matematika siswa Indonesia turun sebesar 12 poin jika dibandingkan dengan hasil PISA 2018. Pelajar Indonesia dalam matematika mencapai skor 365, sementara rerata OECD sebesar 472.
Berbeda
Terdapat beberapa hal dalam hasil survei PISA 2022, khususnya pada matematika, yang perlu ditelaah. Pertama, kami percaya bahwa membandingkan skor antarnegara tidak sahih, jika tak mau dikatakan absurd, karena kondisi tiap-tiap negara dan masyarakatnya berbeda. Ukuran negara Indonesia serta jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan banyak negara lain amat timpang. Misalnya, ukuran Singapura yang lebih kecil dari wilayah Jakarta Selatan memiliki populasi sekitar 5 juta jiwa, sedangkan Indonesia memiliki populasi sekitar 270 juta jiwa.
Apalagi, kondisi geografis Indonesia yang amat berbeda dengan banyak negara lain. Kondisi khusus ini menyebabkan perbedaan dalam hal pelaksanaan layanan pendidikan nasional kita, seperti guru, sarana, bahan ajar, serta lingkungan belajar. Belum lagi berbagai budaya kita yang unik dan memengaruhi praktik pendidikan di Tanah Air. Misalnya, anak yang ikut ayahnya berlayar berminggu-minggu untuk mencari ikan ke tengah samudra. Tentu saja, kekhususan ini bukan upaya untuk membangun alasan serta memaklumi hasil yang masih rendah.
Apabila memang ingin membandingkan dengan negara lain, bagaimana jika kita membandingkan dengan Vietnam yang GDP-nya lebih rendah dari Indonesia, tetapi kecakapan matematika 20% pelajar terbawah di sana masih lebih tinggi dari 20% pelajar tertinggi kita.
Oleh karena itu, yang penting dan lebih bermanfaat ialah mengamati skor siswa Indonesia sendiri saja dari sejak siklus PISA pertama tahun 2000 yang dilakukan setiap 3 tahun, kecuali terakhir tahun 2022 dilakukan selang 4 tahun karena wabah. Hasil literasi matematika berturut-turut dari tahun 2000 ialah 367, 360, 391, 371, 375, 386, 378, dan 365.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa skor matematika siswa Indonesia stagnan selama lebih dari dua dekade. Di saat kehidupan dan lapangan kerja ke depan diperkirakan semakin melejit kebutuhan matematikanya, hasil pendidikan matematika sekolah Indonesia menyedihkan, justru menunjukkan capaian yang stagnan selama dua dekade.
Di satu sisi, kita merasa kaget dan pedih melihat hasil ini dan bertanya apakah memang anak-anak Indonesia tak mampu bermatematika dengan memadai sampai stagnan. Kita semua tentu tak percaya bahwa pelajar Indonesia tak mampu. Tetapi, di sisi lain, kita juga seharusnya tak perlu kaget karena jika dikaji dan ditafakurkan, sesungguhnya memang belum ada strategi sungguh-sungguh selama 20 lebih untuk membenahi pembelajaran matematika yang tepat sasaran.
Sama seperti siklus PISA pertama saat kami membaca soal yang ditanyakan sebelum tes dilaksanakan, dan sebelum pengumuman 3 Desember itu pun kami sudah dapat menduga hasilnya. Cukup dengan mengamati timpangnya kecakapan berpikir yang diharapkan di PISA, dengan keterampilan prosedural nirmakna yang kebanyakan diajarkan di sekolah kita. Tak perlu seorang genius untuk menduga rendahnya hasil pelajar Indonesia di PISA matematika ini.
Kedua, hal yang lebih menakutkan lagi dari hasil PISA 2022 ini ialah jumlah siswa yang tidak mencapai level 2, yakni level minimum untuk berhasil hidup di abad ke-21, mencapai 82%. Ini sangat jomplang dengan rerata OECD, yakni sebesar 29%. Maka, diperkirakan akan ada lebih dari empat perlima pelajar Indonesia yang akan gagal hidup di abad ke-21.
Dari pengertian kecakapan matematika, level 2 berarti siswa mampu menyelesaikan masalah-masalah matematika yang sederhana dan dapat menerapkan pengetahuan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Di level ini, informasi yang dibutuhkan semuanya tersedia eksplisit di soal. Lebih jauh lagi, siswa yang tidak mencapai level 2 akan kesulitan untuk mengikuti pendidikan tinggi, bekerja di bidang-bidang yang membutuhkan kemampuan matematika, dan melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan di abad ke-21 ini.
Meski hasil PISA bukan sebuah gambaran tentang pendidikan nasional yang utuh, seluruh hasil sejak tahun 2000-an menunjukkan bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan, seperti mengutak-atik kurikulum, bahan ajar, pelatihan guru, dan lainnya, tidak membuahkan hasil yang berarti dalam capaian literasi matematika. Menjalankan praktik pendidikan matematika serta administrasinya seperti 20 tahun ini mustahil akan memberi dampak perbaikan yang berarti.
Perbaikan
Hasil PISA 2022 dalam matematika menunjukkan bahwa kualitas pendidikan matematika di Indonesia masih perlu ditingkatkan secara signifikan. Apabila belum ada upaya sungguh-sungguh yang langsung ke sasaran untuk membenahi pembelajaran matematika di kelas, khususnya dalam membelajarkan proses bernalar, mustahil perbaikan akan terjadi.
Seperti kata Einstein, hanya orang gila yang berharap hasil yang berbeda dari proses yang sama. Oleh karena itu, perlu ada perubahan mendasar dalam proses pembelajaran matematika yang dialami para pelajar di kelas masing-masing. Ini hanya mungkin jika ada perbaikan mendasar pada proses belajar tiap siswa.
Sementara perubahan kurikulum, kecuali telah menandaskan uang rakyat, mengeringkan keringat pendidik, dan membuang-buang waktu berharga pelajar, terbukti tidak menunjukkan dampak berarti. Instrukturan guru matematika harus diubah secara mendasar. Program pelatihan harus mengarah langsung pada peningkatan pemahaman konsep matematika para guru.
Menguasai cara mengajar baik tanpa dibarengi pemahaman konsep matematika yang cukup akan menjadi berbahaya. Mereka akan mengajar matematika yang salah secara efektif. Ringkasnya, mustahil pembelajaran matematika di kelas menjadi bermutu jika guru belum mendalami substansi matematika yang diajarkan. Sama seperti guru menyanyi harus cakap menyanyi, guru matematika harus cakap bermatematika.
Secara nyata, program pendidikan S-2 serta program pengembangan profesi bagi guru matematika yang ditawarkan oleh perguruan tinggi harus memberi penekanan yang lebih besar lagi dalam muatan matematika. Bahan ajar matematika di SMA, SMP, dan bahkan SD sangat jauh dari sederhana.
Apabila kita beranggapan bahwa matematika yang kita pelajari di sekolah lanjutan dan pendidikan S-1 kita terdahulu sudah memadai untuk mengajar matematika di sekolah, itu keliru sekali. Bahkan, kami di matematika perguruan tinggi pun masih terus-menerus mempelajari matematika sekolah dasar, misalnya pecahan.
Dengan fondasi pemahaman matematika yang kokoh, baru metode mengajar yang efektif akan berdampak pada mutu belajar siswa, dan dari situ baru kita dapat berharap capaian pelajar Indonesia bisa meningkat.