Hasil karya Politik Pencapresan Awal dan Isu di Sekelilingnya

Inovasi Politik Pencapresan Dini dan Isu di Sekitarnya
Ilustrasi MI(MI/Seno)

INISIATIF politik Partai NasDem dalam mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) seperti membuka tradisi baru dalam politik elektoral pencalonan presiden. Meskipun masih membutuhkan minimal 56 kursi lagi untuk menggenapkan syarat dukungan 205 atau setara 115 kursi, terobosan tersebut menjadi penanda jalan baru kandidasi capres ke depan. NasDem seperti tengah meneroka cara baru dalam nominasi politik. Pada pemilu sebelumnya, inisiatif politik yang lebih awal ditunjukkan saat mengajukan nama Presiden Joko Widodo dalam Pemilu Presiden 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2012.

Kali ini, jalan yang ditempuh NasDem sepertinya akan berliku jika dibandingkan dengan sebelumnya. Di eksternal, muncul riak-riak pascakeputusan politik NasDem, hingga suara-suara untuk meminta Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet. Terdapat juga yang menyoal etika politik. Bagaimana membaca situasi politik tersebut dan kemungkinan politik ke depan? Apakah pencapresan dini tersebut akan memengaruhi stabilitas di antara partai koalisi pemerintahan?

Pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sudah memasuki tahun ketiga dalam periode kedua pemerintahan. Secara umum, situasi internal koalisi pemerintahan sangat stabil. Nyaris semua kebijakan strategis pemerintah mendapatkan dukungan penuh anggota-anggota koalisi di DPR. Begitu ini 7 dari 9 partai di DPR menjadi bagian dari anggota koalisi atau setara lebih dari 80% perolehan kursi partai di DPR. Dengan kekuatan dominan tersebut, relatif tak ada hambatan berarti dari proses pengambilan keputusan politik di Senayan. Hal itu terjadi karena power sharing terdistribusi secara proporsional. Begitu juga distribusi program-program strategis pemerintah kepada partai-partai koalisi.

Di periode kedua, secara konstitusi presiden petahana tidak bisa lagi mencalonkan diri dalam pemilu presiden. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, masa jabatan presiden diatur maksimal dua periode atau 10 tahun. Dengan kondisi Presiden Joko Widodo tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai presiden, secara alamiah partai politik akan mencari kemungkinan untuk menyiapkan strategi kandidasi politik menjelang Pemilu 2024. Salah satunya ialah dengan menginisiasi koalisi pencapresan dini.

Pilihan partai politik untuk melakukan deklarasi politik secara lebih awal ialah pilihan politik strategis menjelang Pemilu 2024. Apalagi, tahapan pemilu sudah dimulai dan pemilihan presiden akan dilaksanakan pada Februari 2024 atau 8 bulan sebelum periode jabatan presiden/wakil presiden berakhir pada Oktober 2024.

Cek Artikel:  Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu

Dari sisi politik, pencapresan dini tidak memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung dengan kinerja para menteri di kabinet karena itu ialah dua hal yang berbeda. Apalagi, komitmen dan loyalitas politik semua anggota koalisi masih tinggi untuk mendukung agenda strategis pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin hingga akhir masa jabatan. Presiden tentu mempunyai indikator-indikator untuk menentukan apakah setiap manuver politik partai menjelang Pemilu 2024 akan berpotensi mengganggu kinerja pemerintahan atau tidak.

Isu lainnya yang mengemuka pascadeklarasi pencapresan dini ialah terkait dengan reshuffle kabinet. Secara umum, tentu Presiden masih membutuhkan dukungan yang besar di parlemen untuk menuntaskan agenda dan kebijakan strategis sampai akhir masa jabatan. Seperti program ibu kota negara (IKN), omnibus law reformasi sektor keuangan, RKUHP, dan kebijakan legislasi prioritas lainnya. Kebutuhan untuk meningkatkan dukungan partai di parlemen tersebut tampak dari masuknya PAN dalam kabinet pada Juni 2022.

Bila mengacu pada agenda dan situasi domestik-global ke depan, sepertinya kecil kemungkinan presiden akan melakukan reshuffle dalam tahun ini. Paling tidak, ada tiga kondisi yang membuat reshuffle tersebut sulit dilakukan tahun ini. Pertama, Indonesia akan melaksanakan pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada November 2022 nanti yang akan dihadiri sejumlah pemimpin dunia.

Kedua, kondisi ekonomi global yang diprediksi akan menghadapi resesi global pada tahun depan. Di tingkat domestik, meskipun situasi ekonomi nasional diprediksi masih cukup stabil, tentu persiapan dan mitigasi perlu dilakukan pemerintah Indonesia. Ketiga, presiden baru melakukan reshuffle pada Juni 2022 dan bila dilakukan tahun ini, tentu akan memengaruhi performa dan psikologis para menteri yang dipastikan akan mengamankan posisi politik bila sinyal koalisi menguat.

Bagaimana kemungkinan reshuffle tahun depan? Pandai saja dilakukan presiden dan akan bergantung pada kebutuhan untuk memastikan kinerja kabinet di tahun politik. Apalagi, bisa saja sejumlah menteri akan sibuk berkampanye atau mencalonkan diri sebagai caleg.

 

Pencapresan dini

Cek Artikel:  Beban APBN di Pahamn Politik

Manuver politik pencapresan 2024 sebenarnya sudah ditempuh juga oleh partai lain dengan pendekatan politik yang berbeda. Misalnya, tiga partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yaitu Partai Golkar, Partai Kondusifat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), telah menandatangani konsensus politik untuk berkoalisi. Begitu juga kesepakatan antara Gerindra dan PKB untuk membicarakan kemungkinan duet Prabowo Subianto–Muhaimin Iskandar dalam Pilpres 2024. Sejumlah politisi dan elite politik lain juga gencar melakukan mobilisasi politik menjelang Pemilu 2024, seperti tampak akhir-akhir ini.

Berbeda dengan negara seperti Amerika Perkumpulan yang sistem kandidasi capresnya sudah stabil melalui pemilihan pendahuluan dan konvensi di tingkat partai politik. Di Indonesia, model nominasi capres tidak pernah diatur dalam regulasi. Apalagi, dengan syarat pencalonan yang cukup berat sebesar 20% perolehan kursi di DPR dan/atau 25% dari total perolehan suara sah partai politik di tingkat nasional, membuat partai kesulitan untuk melaksanakan konvensi politik mandiri ataupun konvensi bersama.

Dengan jumlah sembilan partai di DPR dan fragmentasi politik yang tinggi, hanya PDI Perjuangan yang dapat mengajukan calon presiden tanpa harus berkoalisi. Partai-partai politik lainnya harus melakukan koalisi. Dengan situasi tersebut, tentu agak sulit bagi partai politik untuk melakukan konvensi mandiri karena akan menghadapi risiko belum adanya kepastian pencalonan. Itu karena belum memenuhi 20% syarat pencalonan. Risiko lainnya ialah belum tentu nama yang ditetapkan di konvensi internal partai akan bisa diterima partai koalisi. Ke depan, konvensi hanya mungkin dilakukan bila syarat pencalonan presiden bisa diturunkan ke angka 10%.

Konvensi bersama partai politik juga hampir sulit dilakukan. Itu karena tidak mudah bagi partai untuk menyepakati model pelaksanaan konvensi, beban biaya, proses dan mekanisme pemilihan, serta potensi instabilitas di internal partai (CSIS, 2021).

Dampak syarat pencalonan presiden/wakil presiden yang berat dan belum terbentuknya prosedur yang baku dalam pencalonan presiden di tingkat partai politik membuat politik pencapresan akan sangat dinamis, rentan berubah, serta berpotensi ditentukan pada menit-menit terakhir sebelum pendaftaran. Situasi tersebut akan memunculkan ketidakpastian bagi calon-calon potensial untuk dicalonkan. Pada titik itulah koalisi pencapresan yang lebih dini memberikan kepastian politik tidak hanya bagi kandidat, tetapi juga bagi publik.

Cek Artikel:  Volatilitas Rupiah dan Berakhirnya Rezim Bangsa Kembang Rendah

Pencapresan dini memberikan waktu yang panjang bagi pemilih untuk melihat rekam jejak dan kinerja kandidat. Selain itu, memberikan kesempatan bagi kandidat dan partai koalisi pendukung untuk secara bersama-sama mendiskusikan platform dan kebijakan politik ke depan bila terpilih sebagai presiden. Pembicaraan terkait dengan prioritas pembangunan politik dan ekonomi serta pengisian jabatan-jabatan kabinet lebih leluasa dilakukan sehingga postur kabinet dapat dipersiapkan dengan matang. Dari sisi kandidat, pencapresan dini memberikan kepastian politik. Jadi, kandidat mempunyai waktu yang panjang untuk melakukan mobilisasi politik dan menyiapkan program kampanye.

 

Kompetisi antarpartai

Pascadeklarasi dukungan capres oleh NasDem, bila ada riak-riak di internal partai koalisi pascapencalonan hal tersebut lebih karena kompetisi antarpartai menjelang Pemilu 2024. Di tengah kompetisi antarpartai dan kandidat yang ke depan diprediksi akan berlangsung ketat, sikap dan komitmen demokratis menjadi mutlak. Hal itu, misalnya, harus ditunjukkan dengan membangun budaya demokratis melalui kompetisi politik yang sehat dan demokratis.

Dalam situasi politik yang kompetitif menjelang pemilu yang tampak dari ketatnya perolehan suara tiga calon populer dalam survei opini publik, kita harus memastikan agar partai dan kandidat dalam membangun budaya kompetisi yang sehat dan saling respek. Perbedaan pilihan dan preferensi politik pada calon-calon tertentu, pasti akan mewarnai politik kita pada hari-hari ke depan. Kita pernah menghadapi suasana politik yang keras dan membelah dalam dua pemilu terakhir–yang tentu kita tidak ingin itu terulang kembali.

Dengan masa pendaftaran presiden kurang dari satu tahun lagi, sepertinya menjadi tidak berlebihan bila ada partai politik yang berinisiatif melakukan deklarasi lebih awal. Ke depan, kita perlu mendorong agar partai koalisi lainnya dapat mematangkan skenario koalisi dan pencapresan. Memang situasi politik pencapresan masih sangat dinamis dan koalisi politik masih rentan berubah. Tetapi, idealnya, politik kita ke depan seharusnya bisa merealisasikan pendekatan baru dalam nominasi pemimpin nasional 2024 secara lebih dini.

 

 

Mungkin Anda Menyukai