Hari Lahir MA, Skandal Hakim Mulia dan Implikasinya

Hari Lahir MA, Skandal Hakim Agung dan Implikasinya
Hakim Yustisial Mahkamah Mulia, Edy Wibowo(Antara)

HARI ini diperingati sebagai hari lahir Mahkamah Mulia (MA). Sejak didirikan MA menjadi penjaga terakhir keadilan, memastikan hukum ditegakkan, dan hak-hak konstitusi dilindungi.  

Sayangnya perjalanan penegakan hukum lembaga yudikatif Indonesia ini tidak selalu mulus. Sebagai penjaga terakhir dalam sistem hukum, hakim-hakim agung diharapkan memiliki integritas yang tak tercela dan mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan jujur dan adil. 

Tetapi beberapa tahun terakhir, sejumlah hakim agung terlibat dalam kasus-kasus hukum yang mencoreng nama baik lembaga yudikatif. Fenomena ini memicu keprihatinan publik dan menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana integritas dan profesionalisme hakim-hakim agung dapat dipertahankan di tengah godaan dan tekanan yang begitu besar.

Baca juga : Gazalba Saleh terus Berkelit di Persidangan, KPK: Itu Hak Dia

Hakim-Hakim Mulia yang Terjerat Kasus

Gazalba Saleh

Gazalba didakwa Jaksa Penuntut Lumrah (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPKK) karena diduga menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ia menerima gratifikasi secara bersama-sama sebesar Rp650 juta. 

Cek Artikel:  65 Saksi Terkait Suap Biaya Hibah Jatim Diperiksa KPK

Jaksa KPK menyatakan gratifikasi tersebut diterima Gazalba dari Jawahirul Fuad terkait kasus kasasi Nomor 3679 K/PID.SUS-LH/2022. Jawahirul, yang merupakan pemilik usaha UD Logam Jaya, menghadapi masalah hukum karena mengelola limbah B3 tanpa izin dan dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun.

Awalnya Gazalba divonis bebas, namun Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding dari Jaksa KPK terhadap vonis bebas Hakim Mulia Gazalba Saleh. Putusan sela di pengadilan tingkat pertama dibatalkan dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diperintahkan mengadili ulang kasus Gazalba Saleh. 

Baca juga : Verzet Gazalba Diterima, KPK: Tak Eksis Intervensi

Surat dakwaan yang sebelumnya dinyatakan tidak dapat diterima kini dianggap memenuhi syarat formal dan materiel menurut menurut Pasal 143 ayat (2) huruf a dan huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sudrajad Dimyati

Penangkapan Hakim Mulia Sudrajad Dimyati menarik perhatian masyarakat. Pasalnya ia salah satu yang diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. 

Cek Artikel:  Parpol Lebih Memilih Masuk Kabinet daripada Usung Anies di Pilkada

Sudrajad diduga menerima suap terkait penanganan perkara di MA. Sudrajad terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Sudrajad menerima suap sebesar S$80 ribu dalam kasus itu.

Baca juga : Jaksa KPK Antisipasi Potensi Manipulasi Barang Bukti Hakim Mulia Nonaktif

Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa kurungan penjada selama 8 tahun dan denda sejumlah Rp1 miliar, bila tidak dibayarkan maka diganti dengan kurungan selama 3 bulan.

Vonis itu lebih rendah dibandingkan tuntutan JPU, berupa penjara 13 tahun dan denda Rp1 miliar. Selain itu JPU menuntut Sudrajad membayar uang pengganti S$80 ribu. 

Edy Wibowo

Hakim Yustisial Mahkamah Mulia, Edy Wibowo, resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK pada 19 Desember 2022. KPK menduga Edy menerima suap sebesar Rp3,7 miliar untuk mengurus suatu perkara di Mahkamah Mulia. 

Baca juga : 2 Hakim Mulia Bakal Diperiksa KPK, MA Hormati Proses Hukum yang Berjalan

Edy menjadi salah satu hakim yustisial di MA yang ditetapkan sebagai tersangka, dalam OTT KPK  terhadap sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lembaga tersebut tahun 2022.

Cek Artikel:  Prabowo Bahas Isu Strategis dengan Raja Malaysia

Edy Wibowo dinyatakan secara sah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Ia divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor di PN Bandung, Jawa Barat. Keputusan itu diperberat Pengadilan tinggi menjadi 6 tahun.

MA mengurangi hukuman, Edy Wibowo, dari enam tahun penjara menjadi tiga tahun penjara dalam putusan kasasi. Edy tetap dikenai denda sebesar Rp400 juta dengan subsider tiga bulan kurungan, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 475 juta dengan subsider enam bulan penjara. 

Kasus-kasus yang melibatkan hakim agung ini menimbulkan dampak serius terhadap kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap lembaga yudikatif. MA, yang seharusnya menjadi simbol keadilan dan integritas, justru terjebak dalam pusaran korupsi dan pelanggaran etik. 

Kepercayaan publik terhadap putusan-putusan MA mulai goyah, karena muncul keraguan apakah keputusan-keputusan tersebut benar-benar didasarkan pada hukum dan keadilan, ataukah dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan uang. (Z-3)

 

Mungkin Anda Menyukai