HARI kunjung perpustakaan yang diperingati setiap 14 September sering dimaknai dengan meningkatkan literasi masyarakat, melainkan lebih dari itu.
Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana Harris atau yang lebih dikenal dengan nama pena Gol A Gong menilai Hari Kunjung Perpustakaan harus dimaknai out of the box tidak sekedar berkunjung membaca buku, tapi di dalamnya ada beragam kegiatan yang inovatif, rekreatif, dan tentu edukatif.
Kalau dikaitkan dengan literasi digital, bagaimana hari kunjung perpustakaan tempat semua generasi berkumpul, yang generasi baby boomer bisa merayakan buku-buku baru, mengundang pengarang, penulis dengan buku baru dibedah, kemudian pembacaan puisi secara daring.
Baca juga : Perpustakaan Indonesia Lagi Hadapi Persoalan Klasik
“Jadi orang diundang malam hari pesta baca puisi, tapi juga itu yang konvensionalnya, tapi juga yang sekarang, yang generasi sekarang, yang modern nih, yang era digital, mungkin nggak ada lomba membuat video kreatif satu menit untuk reels dan tiktok, diunggah di akun media sosial masing-masing, kemudian sepuluh besarnya dipanggil, dirayakan, diputar filmnya, disuruh bercerita proses kreatifnya,” ungkap Gol A Gong.
Sehingga hari kunjung perpustakaan harus dimaknai sebagai tempat para pembaca buku berekspresi. Dari baca buku itu kemudian muncul produk dan jasa. Ia mencontohkan jika membaca buku Brownies, kemudian ia membuat brownies, membuat semacam produk-produk atau karya dari yang dibaca. Jadi ada transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.
Penulis buku Bunyi Ibu yang Lain, Muhammad Ade Putra, 23, sangat berambisi untuk melihat anak muda sudah semakin mampu mempengaruhi dirinya dan lingkungan untuk peka terhadap pemanfaatan, pengembangan, dan pengemasan bentuk-bentuk literasi. Biarpun di saat bersamaan gerakan pola-pola dinamika sosial media terus berhamburan dan memadati kehidupan anak muda.
Baca juga : Menumbuhkan Minat Baca Dengan Gerakan PM
Ia yakin literasi dapat dipahami, dipelajari, dapat diketahui tidak hanya melalui buku cetak. Tapi anak muda saat ini yang sangat memiliki aksesibilitas untuk membaca dan memahami literasi, mampu bisa sadar bahwa mereka bisa belajar dari mana saja.
“Tetapi sering kali memang kami dalam hal ini saya sebagai representasi anak muda merasa bahwa kita dilihat sebagai objek peran kita atau pengaruh kita atau posisional kita sebagai anak muda dilihat sebagai orang yang malas baca, orang yang kurang baca. Padahal jika kita sadari dengan banyak dan masifnya konten-konten melalui media sosial saat ini, itu adalah praktik kami membaca seperti itu,” ungkap Ade.
“Jadi saya sangat mengharapkan bahwa gerakan ataupun pola belajar dan juga berliterasi anak muda saat ini harus digiatkan dan saya sangat penuh ambisi untuk hal itu,” jelas penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2017 itu. (H-2)