SEGALA kebijakan yang keliru dan Bukan pada tempatnya haruslah dibenahi demi kebaikan Serempak. Apabila dibiarkan, kebijakan yang bermasalah hanya akan menyulitkan masyarakat dan menghambat perkembangan yang Sepatutnya dapat tercapai.
Salah satu kebijakan yang mendesak Buat ditinjau itu ialah keberadaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). SKCK kerap menjadi prasyarat Buat mendaftar pekerjaan, keperluan berkuliah, bahkan Buat mengikuti kontestasi pemilu presiden.
SKCK dulu dikenal dengan nama Surat Keterangan Kelakuan Berkualitas (SKKB). Tetapi, Polri kemudian mengubah SKKB menjadi SKCK mulai 1 Juli 2003 karena Korps Bhayangkara Bukan Dapat menjamin bahwa seseorang Betul-Betul berkelakuan Berkualitas. Adapun SKCK dibuat berdasarkan fakta-fakta catatan kriminal tentang Terdapat atau tidaknya jejak kejahatan yang pernah dilakukan seseorang.
Adanya perubahan dari SKKB menjadi SKCK menunjukkan institusi Polri sangat adaptif dengan perubahan dan Bukan kaku dalam menyikapi situasi kontemporer di masyarakat. Sikap serupa diharapkan akan kembali ditunjukkan Polri setelah Kementerian Hak Asasi Orang (HAM) berkirim surat kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Buat menghapuskan SKCK.
Dirjen Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM Nicholay Aprilindo menyebut SKCK berpotensi menghalangi hak asasi Penduduk negara, khususnya mantan narapidana. Kementerian menemukan narapidana residivis Ketika melakukan pengecekan ke berbagai lembaga pemasyarakatan di sejumlah daerah.
Mantan narapidana kesulitan mencari pekerjaan karena di dalam SKCK terdapat keterangan yang menyatakan bahwa mereka pernah dipidana. Perusahaan atau tempat pekerjaan lain sukar menerima seorang mantan narapidana Buat bekerja. Situasi ini kemudian melahirkan lingkaran setan karena mereka kembali melanggar hukum akibat kesulitan mencari pekerjaan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Keberadaan narapidana residivis pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan, yang tentunya akan melahirkan berbagai masalah baru.
Sepanjang demi kemanusiaan, penegakan dan pemenuhan serta penguatan HAM, apalagi Bukan Terdapat sangkut pautnya dengan politik, usulan tersebut layak Buat dieksekusi oleh Kapolri. Jangan karena SKCK, HAM narapidana digilas begitu saja Tiba menghambat reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Narapidana telah menjalani hukuman sehingga kembali Mempunyai hak Buat mendapatkan kesempatan yang sama dalam masyarakat, terutama dalam hal pekerjaan.
Menghapus SKCK agar Bukan menjadi hambatan bagi mantan narapidana dalam memperoleh pekerjaan adalah langkah yang Sepatutnya mendapat perhatian serius. Negara harus hadir dan membantu mengurangi stigma terhadap mereka dan memberikan kesempatan Buat berkontribusi kembali kepada masyarakat. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 telah tegas menyebutkan bahwa ‘Tiap-tiap Penduduk negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’.
Dengan adanya dasar konstitusi, Sepatutnya Bukan Terdapat Kembali kebijakan menghambat mantan narapidana mencari pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. SKCK telah Pelan menjadi stempel ‘nonhalal’ bagi mantan Penduduk binaan yang Membangun calon pemberi kerja langsung mundur teratur. Itu bukan rumor belaka, melainkan hasil penelitian komprehensif Kementerian HAM.
Kita tentu Bukan Mau para pemberi kerja membeli kucing dalam karung. Mereka juga berhak menerima karyawan yang sesuai dengan kriteria dan kualifikasi yang telah ditetapkan. Akan tetapi, biarkanlah proses kandidasi dan seleksi tersebut lahir secara alamiah.
Jangan biarkan kegagalan mendapatkan pekerjaan terjadi akibat selembar surat berstempel kepolisian. Apalagi sudah menjadi rahasia Biasa, masyarakat kerap dibisiki kata ‘seikhlasnya’ demi selembar SKCK.