TEORI ekonomi tentang boom and bust cycle, yang kita pelajari pada saat mengikuti kuliah ilmu ekonomi, ternyata mulai terlihat lagi saat ini. Ekonomi global telah mengalami fase pertumbuhan positif (boom) di tahun 2019 sebelum pandemi covid-19 menyerang. Kemudian, mengalami fase resesi (bust) di saat semua negara terkena dampak ekonomi akibat pandemi covid yang berkepanjangan pada 2020-2021. Setelah hampir dua tahun berperang melawan covid-19, akhirnya ekonomi global kembali mengalami pertumbuhan positif (boom) menuju arah pemulihan.
Perjalanan ekonomi global dalam periode 3 tahun terakhir ini dapat dikatakan telah melalui sebuah lingkaran yang biasa disebut dengan boom-bust-boom cycle.
Dari sisi teori ekonomi, boom-bust-boom cycle merupakan fenomena yang lumrah terjadi dan dianggap sebagai bagian dari volatilitas pergerakan kenaikan dan penurunan keadaan ekonomi. Dekat semua negara pernah mengalami fenomena boom-bust-boom cycle tersebut sehingga bukan merupakan sesuatu yang aneh dan luar biasa. Meski demikian, tren inflasi yang mulai terjadi di mana-mana dikhawatirkan akan menjadikan pemulihan ekonomi kembali ke arah bust economy.
Pemicu inflasi
Booming ekonomi, yang ditandai dengan positifnya pertumbuhan ekonomi global sejak semester 2 2021, merupakan fakta yang tidak bisa dihindari lagi. Dengan semakin berkurangnya penularan covid-19, secara simultan tingkat konsumsi masyarakat memperlihatkan tren kenaikan, mesin-mesin pabrik mampu beroperasi kembali, permintaan untuk investasi kembali menggeliat, sehingga roda ekonomi kembali berputar. Meski demikian, lonjakan tingkat konsumsi masyarakat sangat tinggi di awal tahun 2022 ini seiring dengan semakin kecilnya angka penularan covid-19.
Di sisi lain, mesin-mesin pabrik belum siap menghadapi lonjakan permintaan yang begitu besar dalam waktu pendek. Kondisi tersebut diperparah dengan belum pulihnya arus supply chain bahan baku dari negara pengekspor menuju negara-negara pengimpor bahan baku, yang berakibat pada terbatasnya pasokan bahan baku untuk proses produksi. Akibatnya mudah sekali ditebak, yakni mulai naiknya tingkat inflasi yang didorong karena naiknya permintaan dan tidak mampunya mesin-mesin pabrik memenuhi permintaan itu. Boleh dikatakan bahwa saat ini isu mengenai inflasi ini sudah menjadi masalah global yang sedang dihadapi oleh hampir semua negara di dunia.
Berbagai data menunjukkan bahwa tingkat inflasi di berbagai negara terus memperlihatkan tren angka yang meningkat. Kita ambil contoh laju inflasi di Amerika Perkumpulan yang merupakan mesin ekonomi terbesar di dunia, pada bulan Januari 2022 inflasi masih di angka 7,5% (yoy), tapi di bulan Mei 2022 sudah menjadi 8,6% (yoy). Di negara-negara Uni Eropa, inflasi pada bulan Mei 2022 diperkirakan akan menyentuh angka 8,1%, padahal di bulan Januari 2022 masih di angka 5,6%.
Di negara-negara Amerika Latin, angka inflasi juga terus meroket, seperti yang dialami oleh Argentina 58% di bulan April 2022 dan Brasil 10,1% di bulan Mei 2022. Eksispun di negara-negara Asia di luar Tiongkok dan Jepang, angka inflasi juga menunjukkan tren yang terus naik di bulan Mei 2022, seperti di Korea Selatan 5,4%, Taiwan 2,7%, Indonesia 3,55%, dan India 7,5%. Meroketnya tingkat inflasi yang hampir terjadi di semua kawasan ekonomi tersebut secara bersama-sama memberikan gambaran bahwa perekonomian dunia sedang mengalami inflasi global.
Kenaikan inflasi tersebut pada akhirnya diperparah dengan adanya krisis energi dan pangan yang semakin hari semakin memprihatinkan keadaannya. Pada semester 2 2021 kemarin, harga energi sudah memperlihatkan tanda-tanda kenaikan, dan di beberapa negara sudah mengalami apa yang disebut dengan krisis energi. Perang Rusia dan Ukraina yang dimulai pada Februari 2022 lalu semakin membuat pasar energi yang sudah berat menjadi semakin parah.
Embargo pembelian minyak dan gas alam dari Rusia oleh negara-negara Barat membuat harga emas hitam tersebut semakin melayang tinggi. Harga rata-rata minyak mentah di akhir Desember 2021 masih di kisaran US$78-US$80 per barel, dan di bulan Mei 2022 sudah menyentuh angka US$110-US$115 per barel. Kenaikan harga minyak itu ternyata juga diikuti dengan melonjaknya harga batu bara yang masih banyak digunakan sebagai bahan baku sumber tenaga listrik. Harga batu bara di akhir Desember 2021 sekitar US$159 per ton, dan sekarang telah mencapai US$275 per ton.
Dampak domino
Meroketnya laju inflasi di luar kondisi normal tersebut memberikan dampak yang luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Pertama, akibat langsung yang dirasakan oleh masyarakat dengan melonjaknya inflasi itu ialah naiknya harga-harga barang dan jasa yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Harga bahan makanan melonjak, tarif listrik ikut naik, ongkos transportasi juga naik karena harga BBM menjadi lebih mahal merupakan beberapa contoh kenaikan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Konsumen di negara-negara Uni Eropa, yang sangat bergantung pada suplai minyak dan gas alam dari Rusia, saat ini harus membayar tarif listrik yang lebih mahal akibat embargo minyak dan gas dari Rusia. Masyarakat di Tiongkok dan India juga harus membayar biaya listrik yang lebih mahal karena pembangkit listrik mereka banyak yang bersumber dari batu bara. Masyarakat luas akan menjadi korban dari situasi tersebut sehingga mau tidak mau harus bisa menerima kenyataan pahit yang tidak terhindarkan seperti itu. Bukan bisa dimungkiri lagi bahwa kenaikan harga barang dan jasa itu tidak bisa terus dibiarkan melambung untuk jangka waktu yang lebih lama.
Kedua, dengan adanya kenaikan harga barang dan jasa tersebut, tentunya uang yang harus dikeluarkan oleh masyarakat menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Harga bahan pangan maupun produk pangan mengalami kenaikan yang luar biasa, yang dikhawatirkan memicu krisis pangan di mana-mana. Sementara itu, tidak semua kelompok masyarakat mempunyai kemampuan dan penghasilan yang sama.
Bagi kelompok masyarakat menengah ke atas mungkin tidak terlalu terbebani dengan kenaikan harga tersebut, mereka memiliki penghasilan ataupun tabungan yang lebih dari cukup untuk mengakomidasi kenaikan harga. Tetapi, bagi kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu, tentunya kondisi itu akan memberatkan mereka. Pendapatan mereka mungkin hanya pas-pasan, dan bahkan tidak sedikit yang menerima penghasilan di bawah ketentuan upah minimum. Grup masyarakat seperti ini juga tidak memiliki tabungajn yang cukup sehingga inflasi yang berkepanjangan dapat menurunkan kualitas hidup mereka.
Ketiga, meningkatnya biaya hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat mendorong pemerintah untuk memperbesar bantuan keuangan ataupun subsisdi kepada masyarakat yang kurang mampu. Akibatnya, pemerintah harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk menjaga kemampuan daya beli masyarakat miskin dan tidak mampu. Demikian halnya bagi pelaku usaha, baik itu lembaga jasa keuangan besar maupun UMKM, juga harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk menaikkan gaji atau upah pegawai mereka.
Para pelaku usaha selanjutnya akan membebankan kenaikan gaji tersebut kepada konsumen dengan menaikkan harga barang dan jasa yang mereka tawarkan. Langkah tersebut tidak bisa dihindari lagi sebagai salah satu upaya untuk menjaga agar barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat tetap dapat terjaga.
Keempat, kemungkinan bertambahnya masyarakat miskin menjadi semakin terbuka lebar apabila inflasi berlangsung untuk jangka waktu yang lama. Laju inflasi yang berkepanjangan akan memperdalam angka kemiskinan, terlebih lagi di negara-negara miskin di Afrika. Kondisi ekonomi mereka, yang masih banyak ditopang oleh barang-barang impor maupun bantuan dari negara-negara lain, tidak mempunyai kekuatan dan pilihan yang lebih baik kecuali menerima kenyataan tersebut. Bagi negara-negara berkembang lainnya, yang juga masih memiliki kelompok masyarakat miskin, situasi seperti ini juga sulit untuk dihindari. Oleh sebab itu, diperlukan strategi dan kebijakan ekonomi yang tepat untuk mengatasi persoalan inflasi yang tinggi tersebut.
Kelima, inflasi yang berkepanjangan akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menabung karena uang yang dibelanjakan menjadi lebih banyak untuk membeli barang-barang dan jasa kebutuhan mereka. Artinya, untuk membeli barang dan jasa yang sama, mereka harus merogoh kocek lebih besar lagi karena harganya menjadi lebih mahal. Doku sisa yang biasanya dipergunakan untuk menabung atau ditabung, pada akhirnya harus direlakan untuk menambah uang belanja sehari-hari.
Keenam, dari sisi moneter, laju inflasi yang berkepanjangan akan mengurangi likuiditas di pasar, yang artinya uang beredar akan berkurang, sehingga biaya bunga pinjaman dari bank akan menjadi lebih mahal. Dengan semakin mahalnya biaya bunga pinjaman dari bank, maka permintaan kredit akan semakin menurun.
Ketujuh, inilah yang paling ditakuti oleh para ekonom dan juga para pemimpin pemerintahan, inflasi tinggi yang berkepanjangan dianggap akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ekonomi global baru sekitar setahun ini kembali menuju arah pemulihan setelah dihantam resesi akibat pandemi covid-19. Momentum pertumbuhan ekonomi yang positif tersebut harus tetap dijaga dan dipertahankan agar ekonomi kembali normal seperti sebelum datangnya pandemi.
Tetapi, hantu inflasi yang sangat ditakuti oleh para ekonom tersebut ternyata muncul di mana-mana sehingga memberikan dampak yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi global. Dunia saat ini sedang berjuang mengatasi krisis energi dan krisis pangan. Oleh karena itu, banyak pihak yang mengkhawatirkan ekonomi global akan kembali lagi menuju jurang resesi.
Mencegah terjadinya bust economy
Inflasi yang memperlihatkan tren yang terus meningkat memang perlu diwaspadai karena memiliki dampak negatif yang sangat dahsyat. Inflasi itu ibaratnya seperti kobaran api yang bisa melalap apa saja sehingga perlu dipadamkan sedini mungkin guna mengerem laju tersebut. Laju inflasi yang melesat cepat dan tidak segera ditangani dengan baik memberikan efek domino yang sangat dahsyat terhadap kondisi ekonomi suatu negara. Api inflasi tidak boleh dibiarkan terus membesar, secepat mungkin harus segera dipadamkan agar tidak menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Oleh karena itulah, perlu dirumuskan berbagai strategi kebijakan untuk memitigasi dan sekaligus mengurangi dampak inflasi yang melesat tersebut.
Pertama, salah satu kebijakan yang paling populer dan sering dipakai di hampir semua negara ialah dengan melakukan kontraksi kebijakan moneter (contractionary monetary policy). Tujuan utama dari kebijakan itu ualah untuk mengurangi dan membatasi jumlah uang yang beredar dengan cara menaikkan suku bunga acuan bank sentral.
Metode ini paling efektif dan terbukti sudah dilakukan oleh bank sentral di beberapa negara yang sekarang dilanda inflasi tinggi. Sebagai contoh, Reserve Bank of Australia (RBA) pada bulan Mei 2022 kemarin menaikkan suku bunga acuan mereka sebesar 50 basis poin (0,5%), dari 0,35% menjadi 0,85% pada 7 Juni 2022. Demikian halnya dengan The Federal Reserve, bank sentralnya Amerika Perkumpulan, pada 15 Juni kemarin menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (0,75%) sehingga suku bunga acuan saat ini berada di kisaran 1,5%-1,75%.
Kedua, bank sentral dapat memperketat reserve requirement (RR) atau giro wajib minimum (GWM) milik bank-bank umum yang ada di bank sentral dengan menaikkan tarifnya menjadi lebih tinggi. Dengan menaikkan tarif GWM tersebut, tentunya likuiditas bank menjadi berkurang karena dana mereka menjadi lebih banyak yang tersimpan di bank sentral. Akibatnya ialah, kemampuan bank untuk memberikan pinjaman menjadi semakin terbatas. Metode ini efektif untuk meredam permintaan kredit konsumtif yang menjadi salah satu pemicu naiknya inflasi. Kedua kebijakan moneter tersebut, dengan menaikkan suku bunga acuan dan juga GWM, merupakan obat yang paling mujarab dan hasilnya bisa dirasakan dalam waktu yang tidak begitu lama.
Ketiga, kebijakan fiskal dalam bentuk menaikkan tarif pajak penghasilan maupun barang-barang dan jasa tertentu, yang tujuannya untuk mengerem tingkat konsumsi masyarakat. Penaikan tarif pajak itu dapat dilakukan untuk sementara sampai nanti kembali pada kondisi normal.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.