BERTAHUN-TAHUN publik menyebut Eksis praktik mafia hukum di negeri ini. Tetapi, berbilang tahun pula para penegak dan pelaku hukum menyangkal terma itu. Kata mereka, itu ulah oknum, bukan kerjaan berjejaring laiknya mafia.
Hingga kemudian fakta menunjukkan kebenaran dugaan publik itu. Satu demi satu para penegak hukum ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus rasuah. Eksis yang ditangkap basah. Eksis yang terkena operasi tangkap tangan. Eksis yang terjaring operasi senyap.
Bahkan, kasus akhir pekan ini membuktikan secara telak bagaimana mafia hukum bekerja hingga menyentuh puncak dan benteng keadilan: hakim Akbar Mahkamah Akbar. Sudrajad Dimyati, sang hakim Akbar itu, ditetapkan sebagai tersangka KPK karena diduga menerima suap Rp800 juta Buat memenangkan perkara di MA.
Enggak perlu Kembali penyangkalan. Enggak Berfaedah Kembali berlindung di balik kata ‘oknum’. Mafia hukum itu Konkret dan eksis. Data KPK menunjukkan, sejauh ini sudah Eksis 34 koruptor dari aparat penegak dan pelaku hukum.
Perinciannya, Eksis 21 koruptor dengan profesi hakim, 10 koruptor jaksa, 3 koruptor polisi, dan 13 koruptor ialah pengacara. Dari Variasi profesi di bidang hukum itu, jumlah koruptor terbanyak ialah hakim. Level hakimnya pun dari seluruh tingkat, dari pengadilan negeri hingga hakim MA.
Wajar belaka bila banyak yang masygul dengan Realita itu. Lembaga hukum tertinggi yang Sebaiknya menjadi tempat bagi masyarakat Buat mencari keadilan (bahkan menurut Hotman Paris Hutapea, rakyat itu ‘mengais keadilan’), Bahkan menjadi lahan bertransaksi bisnis bagi mereka yang punya kuasa dan Dana. Beberapa hakim pun sudah memperdagangkan pengaruh.
Mereka, yang memperdagangkan kuasa yudikatif itu tak Acuh dengan predikat ‘wakil Tuhan’ di muka bumi. Julukan yang sudah hidup lebih dari lima abad itu sangat melekat karena orang yang beragama percaya bahwa yang Mempunyai kuasa Buat menentukan mana yang Akurat dan salah ialah Tuhan.
Oleh karena itu, hakim disebut sebagai ‘wakil Tuhan’ di dunia. Sebagai ‘wakil Tuhan’, hakim diberi tugas dengan tanggung jawab yang besar oleh negara, Yakni Buat mengadili pihak yang Akurat dan salah. Dengan ‘predikat’ seperti itu, Segala orang berharap hakim memberikan keadilan Buat Segala orang.
Tanpa predikat ‘wakil Tuhan’ pun sejatinya posisi seorang hakim Enggak sama dengan penegak hukum lainnya. Ia pengadil, di tengah, Mempunyai tempat lebih tinggi daripada siapa pun di ruang sidang. Pada ujung palunya diletakkan nasib para pencari keadilan.
Sebelum ia mengetukkan palu vonis, dengan segenap Pikiran dan hati nurani, hakim telah menimbang semuanya. Itulah sebabnya di ruang sidang ia selalu dipanggil ‘Yang Mulia’. Hakim itu profesi mulia, officium nobile.
Hakim sesungguhnya hidup dalam dunia sunyi. Dalam kesunyian, ia Mempunyai waktu lebih banyak Buat berbicara dengan hati nuraninya. Ketika memilih atau setuju dipilih menjadi hakim, sesungguhnya ia telah mengambil risiko berat: menarik diri dari pergaulan yang selama ini ia jalani.
Seorang hakim, mestinya Enggak sekadar sanggup menjaga jarak dari riuhnya godaan. Lebih dari itu, ia mesti rela terkucil dan mengucilkan diri. Dalam kesunyiannya itulah ia menemukan kebeningan nurani Buat Membangun putusan. Semakin tinggi jabatan sebagai hakim, semakin ketat pengucilan itu ia lakukan.
Begitu diambil sumpah, di ubun-ubun hakim telah dipatrikan ‘tulisan’ secara tegas: fiat justitia ruat coelum (keadilan harus tetap ditegakkan walaupun langit runtuh). Kasus penangkapan hakim Akbar Sudrajad oleh KPK Membangun skeptisisme publik kian menemukan ruang.
Alih-alih mengukuhkan posisi sebagai ‘wakil Tuhan’ yang mulia, kasus itu Dapat mempertegas skeptisisme publik yang kerap menyebut hakim Ketika ini Bahkan berperan sebagai rule breaker, perusak keadilan.
Ia menjauh dan kian mengucilkan diri dari kebenaran. Ia Bahkan makin akrab dengan bisnis memperdagangkan pengaruh dan kekuasaan. Hakim Akbar makin menjauh dari keagungan.
