MAHKOTA hakim ialah putusannya. Elok dipandang Kalau mahkota itu dianyam dari keyakinan hakim berdasarkan minimal dua alat bukti sehingga memancarkan sinar keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby menjadi mahkota Hakim Ketua Erintuah Damanik dan hakim Member Mangapul serta Heru Hanindoyo. Putusan itu dimusyawarahkan para hakim pada 22 Juli dan diucapkan dalam sidang terbuka pada 24 Juli.
Eksis 102 halaman putusan itu. Isi halaman 99 Kagak hanya menentukan nasib terdakwa, tetapi juga menentukan nasib tiga hakim pemilik mahkota. Terdapat enam butir isi putusan, dua butir pertama paling disorot.
Pertama, menyatakan terdakwa Gregorius Ronald Tannur anak Edward Tannur Kagak terbukti secara Absah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Kedua, membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan penuntut Biasa. Ronald Tannur dituntut 12 tahun penjara.
Putusan itu menimbulkan keguncangan karena Eksis jurang yang menganga antara isi putusan dan rasa keadilan masyarakat. Hakim mengabaikan adagium fiat justitia et pereat mundus, keadilan harus tetap ditegakkan meski dunia akan binasa.
Publik menilai putusan hakim dirancang Buat gagal dalam mengungkapkan kebenaran serta bertujuan melindungi Ronald Tannur sang terdakwa kejahatan atas Awal Sera Afrianti, pacarnya. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hakim harus mewakili Bunyi rakyat yang Tenang yang Kagak terwakili dan yang Kagak terdengar. Tiga hakim itu mewakili perut mereka sendiri.
Laporan penelitian Komisi Yudisial (2012) terkait dengan kualitas hakim dalam putusan menyebut dua tipe hakim dengan menyitir pendapat Satjipto Rahardjo.
Pertama, hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan Buat mendukung putusan tersebut.
Kedua, hakim yang apabila memutus, terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal Buat memberikan legitimasi terhadap putusan perutnya. Bolehlah kita menyebut tipe ini sebagai hakim perut.
Mengapa hakim berkonsultasi dengan perut? Jawabannya Dapat ditemukan dalam Kitab yang diterbitkan Komisi Yudisial (2017) berjudul Problematika Hakim dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat di Indonesia: Studi Sosio-Absah.
Ketika hakim bekerja di ruang pengadilan, Segala menyapa mereka dengan ‘Yang Mulia’. Tetapi, ketika hakim kembali pada realitas kehidupan, seperti orang kebanyakan lain, mereka juga harus bergulat dengan berbagai kesulitan hidup. “Bagaimana mungkin kita Dapat bekerja dengan tenang dan melahirkan putusan yang berkualitas, sementara anak belum bayar semesteran, istri juga butuh biaya, adik masuk rumah sakit?”
Penelitian itu membagi hakim ke dalam tiga tipe. Pertama, hakim yang disebut dengan ‘kapal keruk’. Karakternya memang rusak secara moral. Tanda-cirinya meminta jatah kepada pihak yang beperkara dan memaksakan putusannya meski pertimbangan hukumnya keliru.
Tipe kedua, hakim yang Kagak meminta jatah kepada pihak yang beperkara, tetapi karena terdesak secara ekonomi, menerima ‘hadiah’ dari para pihak. Tetapi, tipe hakim itu Kagak sembarang ‘membantu’ para pihak yang beperkara. Hakim tipe kedua berpikir secara hukum bahwa ia hanya bersedia ‘membantu’ pihak beperkara yang menurut hukum memang harus dimenangkan.
Tipe hakim yang ketiga ialah hakim yang idealis. Hakim itu menjaga integritasnya dalam keadaan apa pun. Ketika mengadili perkara, ia berusaha mencari keadilan kemudian mencari dasar hukumnya atas putusannya. Tipe ketiga itu menjunjung etika profesi hakim, bahwa hakim harus jujur dalam kondisi apa pun.
Tiga hakim yang membebaskan Ronald Tannur masuk tipe yang mana? Tidaklah berlebihan Kalau mereka dimasukkan kategori hakim perut atau hakim kapal keruk.
Patut diduga bahwa Ketika memutuskan perkara, tiga hakim itu Kagak berkonsultasi dengan hari nurani, tapi bertanya kepada perut. Ketiga hakim itu ditangkap Kejaksaan Mulia dan dijadikan tersangka karena menerima suap dari pengacara Lisa Rahmat dengan perantaraan mantan pejabat Mahkamah Mulia Zarof Ricar. Dua nama terakhir juga menjadi tersangka.
Tiga hakim itu juga disebut sebagai hakim ‘kapal keruk’ yang memaksakan putusan mereka meski pertimbangan hukum mereka keliru. Hasil Penyelidikan Komisi Yudisial menemukan ketiga hakim tersebut membacakan fakta-fakta hukum yang berbeda dengan yang Eksis di salinan putusan. Demikian pula dengan pertimbangan hukum, khususnya terkait dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan, berbeda antara yang dibacakan dan yang Eksis di salinan putusan.
Meski Eksis perbedaan antara yang diucapkan dan yang tertulis, yang Absah ialah yang diucapkan. Pasal 1 Bilangan 11 KUHAP menyatakan putusan pengadilan ialah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Tegas dikatakan bahwa Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindoyo hanyalah setitik Safir yang merusak susu sebelanga hakim yang totalnya berjumlah 7.971 orang. Tetap terlalu banyak hakim idealis yang tegak lurus merawat wibawa mahkota mereka meski Kagak diimbangi dengan kesejahteraan yang diterima. Jangan biarkan hakim dipelesetkan menjadi HAKIM, ‘hubungi Diriku kalau Mau menang’.