Haji Mabrur, Haji Transformatif

Haji Mabrur, Haji Transformatif
(Dok. Pribadi)

SAYA sangat bersyukur karena pada tahun ini diberi kesempatan menjadi Member panitia penyelenggara haji Indonesia (PPHI). Kesempatan Kepada berkhidmat melayani tamu-tamu Allah dengan sepenuh hati. Karena prosesnya Lagi berjalan, saya belum Pandai menuliskan pengalaman secara utuh. Tetapi, dengan tulisan ini saya Ingin berbagi catatan reflektif mengenai perjalanan spiritual yang oleh Ali Shariati (1978) disebut sebagai ‘evolusi Sosok menuju Allah’.

Sebagai petugas haji, saya menyaksikan langsung bagaimana berbagai jenis Sosok dari penjuru dunia datang berbondong-bondong ke Tanah Haram Kepada memenuhi panggilan Allah. Sebagai Sosok Normal, saya Enggak Pandai menebak apa yang Eksis dalam pikiran dan hati para jamaah itu. Tetapi, dengan Menyantap bagaimana Metode mereka berpakaian dan berperilaku, setidaknya saya Pandai merasakan getaran frekuensi yang sama, bahwa meskipun Sosok diciptakan dengan keragaman Corak kulit, postur tubuh, dan tanda-tanda fisik lainnya, Seluruh Pandai dipersatukan dalam satu ikatan keimanan tentang adanya Sang Pencipta (Khalik), tentang Sosok sebagai makhluk, serta tentang bagaimana manifestasi penghambaan makhluk terhadap Khaliknya.

Manifestasi penghambaan itu bukan semata-mata dengan menjalankan syariat (syarat, rukun, dan wajib) ritual ibadah, tapi yang lebih Krusial ialah bagaimana tatacara bertutur kata, berperilaku, dan berinteraksi dengan sesama Sosok, dan sesama makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi.

Haji, seperti juga bentuk peribadatan yang lain, diwajibkan bukan semata Kepada pemenuhan kebutuhan spiritual secara eskatologis, yakni pemenuhan aspek keimanan kepada Tuhan secara personal, tapi yang lebih Krusial ialah bagaimana implikasinya secara sosiologis, yakni implementasi amal kebajikan yang berdimensi sosial.

Dimensi sosial haji akan menjadi penanda signifikansi apakah haji yang sudah dilakukan seseorang menjadi mabrur (dijalankan dengan Berkualitas dan Cocok dan berdampak konstruktif), ataukah mardud (haji yang ditolak dan sia-sia belaka).

Imbalan bagi haji mabrur ialah mendapatkan surga sebagaimana telah dijanjikan Allah melalui sabda Rasulullah SAW, “Haji mabrur lebih Esensial dari dunia dan segala isinya. Haji mabrur Enggak Eksis balasannya kecuali langsung masuk surga.”

Haji mabrur ialah yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah, dan menyerap sifat-sifat Robbaniyyah (ketuhanan) atau dalam bahasa M Quraish Shihab (1994: 215), berbekasnya simbol amalan yang dilaksanakan di Tanah Bersih sehingga Arti-Arti tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari.

Haji mabrur merupakan haji yang bertransformasi dari ibadah ritual menjadi ibadah sosial. Proses transformasi itu, Enggak hanya tecermin pada Demi sudah kembali ke tempat asalnya masing-masing, tetapi sudah Pandai dilihat dengan Terang ketika mereka melakukan wuquf (bermalam) di Arafah, yakni satu sama lain berinteraksi dengan niat yang utuh Kepada semata-mata melakukan kebajikan. Dalam tulisan ini, saya Ingin mengurai sedikit tentang bagaimana kemabruran haji sebagai manifestasi transformasi secara sosial dan politik.

Cek Artikel:  Gaya Indonesia Menangani Tata Kelola Royalti

MI/Seno

 

Transformasi sosial

Setiap bentuk peribadatan dalam Islam, tak terkecuali haji, Enggak akan bermakna di hadapan Allah SWT Apabila Enggak mempunyai implikasi positif konstruktif dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu hadis Rasulullah SAW bersabda, “Orang berhaji akan terlepas dari dosa-dosanya sebagaimana bayi baru keluar dari rahim ibunya, manakala ia (Pandai menahan diri) dari kata-kata kotor dan perbuatan keji.”

Karena haji ialah satu kesatuan niat, proses, dan bagaimana implikasinya setelah selesai dilaksanakan, Berkualitas buruknya Penyelenggaraan, serta bagaimana interaksi antarjamaah, antarpetugas (termasuk otoritas penyelenggara), dan antara petugas dengan jemaah, semuanya harus mencerminkan kebajikan. Absennya kebajikan dalam proses penyelenggaraan haji Pandai mengganggu kekhusukan ibadah haji.

Bagi para jemaah, prosesi haji menjadi arena pembuktian penghambaan makhluk terhadap Sang Khalik, dan bagaimana dalam penghambaan itu bertransformasi menjadi pembuktian fungsi konstruktif sang makhluk (Sosok) sebagai khalifah di bumi yang membawa aspek-aspek kebajikan, seperti bagaimana meredam kesombongan, kediktatoran, gila hormat dan keinginan menindas terhadap sesamanya.

Kepada itulah, mengapa dalam rukun haji yang Esensial, Seluruh jemaah harus memulai dengan mencopot Seluruh Pakaian kebesarannya. Pakaian sehari-hari yang menciptakan keakuan berdasarkan ras, Spesies, Corak kulit, eselon kepangkatan, dan lain-lain harus ditanggalkan dan diganti dengan Pakaian ‘ihram’ yang sederhana, Enggak membedakan kaya-miskin, ningrat-jelata, penguasa-rakyat dan status sosial lainnya (Ghazali, 1996). Egoisme keakuan lebur dalam kekitaan, kebersamaan, kesamaan sebagai Sosok yang hadir, berada dan menuju hanya kepada-Nya. Ditegas-kan dalam al-Qur’an: “Tunaikanlah ibadah haji dan umrah (hanya) karena Allah ….” (QS, 2:196). “Dan Allah adalah tujuan perjalanan ….” (QS, 24:42).

Haji juga melatih Sosok melepaskan diri dari selera konsumtif, Asmara harta. Dalam berhaji Sosok dilarang mengenakan perhiasan atau parfum. Bahkan sebaliknya (sangat) dianjurkan Kepada rela berkorban apa saja miliknya, termasuk yang paling dicintainya, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan Ismail, putra yang amat dicintainya (lihat QS, 37:99-113).

Lebih jauh, haji juga merupakan latihan bagi Sosok Kepada mengendalikan nafsu birahi, amarah dan Mengucapkan keji (Enggak senonoh). Ditegaskan dalam al-Qur’an: “(Musim) haji ialah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu Kepada menunaikan ibadah haji, maka Enggak boleh berhubungan suami istri, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji …” (QS, 2:197).

Cek Artikel:  Pusingkatan Daya Saing Produk Indonesia Pasca-Belt and Road Initiative

Dalam rangkaian ibadah haji, selain wukuf di ‘Arafah yang menjadi inti haji (al-hajju ‘arafah), yang menjadi perlambang kebersamaan, dan miniatur sejati hakikat perjalanan umat Sosok. Juga Eksis diharuskan melontar tiga jumrah (berhala), yakni ula, wustha, dan uqba, yang menjadi isyarat –menurut istilah Ali Shariati, ‘trinitas’.

Dalam tataran teologis ‘trinitas’ berarti keyakinan dan penghambaan Sosok terhadap tiga eksistensi Tuhan (musyrik, politeisme), dan dalam tataran sosiologis berarti penghambaan Sosok pada tiga jenis nafsu yang dimilikinya: totalisme dalam kekuasaan, kapitalisme dalam kepemilikan dan Foya-foya (free sex) dalam pergaulan sesama atau antarjenis.

Bagi penyelenggara, dalam hal ini pemerintah dan para petugas, prosesi haji Pandai menjadi arena pembuktian terselenggaranya keadilan dalam mengabdi dan melayani umat, dalam hal ini para jemaah. Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai menjadi keharusan, di samping (yang sangat Krusial) bagaimana memberikan pelayanan secara prima.

Tema penyelenggaraan haji tahun ini yang ramah bagi para jamaah usia lanjut (Haji Ramah Lansia), menjadi salah satu indikator manifestasi keadilan itu. Bayangkan Apabila Enggak Eksis kebijakan afirmatif bagi para lansia, mungkin mereka Enggak akan pernah Pandai menjalankan ibadah haji dengan Berkualitas. Kondisi fisik yang sudah Enggak Tengah prima, rentan terhadap penyakit dan cedera, akan sangat zalim bagi penyelenggara Apabila Enggak memberikan perhatian kepada mereka secara ekstra.

 

Transformasi politik

Dalam perspektif politik, fungsi kemabruran haji Apabila dicermati secara seksama Mempunyai Tanda khas yang relatif sama dengan prinsip-prinsip yang Eksis dalam sistem demokrasi yang sejati, sebagaimana dikumandangkan dalam revolusi Prancis (1789) yang mengusung kebebasan, kesamarataan, dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite). Upaya Kepada merealisasikan ketiga semangat itu dalam Pentas sejarah kemanusiaan disebut sebagai upaya demokratisasi. Tiga semangat ini, seperti diuraikan di atas, semuanya, Berkualitas secara Formal maupun faktual sangat paralel dengan semangat yang Eksis dalam prosesi ibadah haji.

Dalam sejarah kehidupan Rasulullah (sirah) dipaparkan, ketika beliau melaksanakan haji yang terakhir dalam hidupnya (haji wada), di depan 124 ribu jemaah, beliau berkhotbah yang isinya antara lain menegaskan persamaan derajat Sosok di muka bumi. Berkualitas Arab maupun ajam (non-Arab), yang membedakannya hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah. Penegasan inilah yang menjadi legitimasi faktual dukungan Islam terhadap proses demokratisasi, di samping penegasan adanya keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah. Penegasan kebebasan Sosok dari penghambaan sesama makhluk-Nya.

Cek Artikel:  Prabowo-Gibran Dapat Menang Satu Putaran

Tetapi, persoalannya memang, dalam proses perjalanan sejarah Islam selanjutnya, Eksis di antaranya tampilan kekuasaan (para khalifah) yang otoriter dengan legitimasi otoritas Religi, seperti kesultanan Era pertengahan, di antara raja-raja Dinasti Abasiah dan dinasti Umayah. Aspek empirik semacam itulah, yang kemudian mengantarkan ilmuan Barat, seperti Huntington (1971) yang memasukkan Islam dalam jenis Religi yang menghambat proses demokratisasi.

Kesalahan fatal Huntington ialah melakukan generalisasi, Menyantap beberapa kasus sebagai Dalih Kepada menyimpulkan Islam sebagai Religi yang Enggak demokratis. Padahal, banyak fakta lain yang mempraktikkan demokrasi dengan Berkualitas. Meskipun Enggak sempurna, masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah sahabat Rasul) ialah era yang keadilan menjadi substansi demokrasi Pandai dijalankan dengan sangat Berkualitas.

Dengan demikian, (andai kata) seluruh umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji, Tiba pada tingkat kemabrurannya, (Niscaya) individu dan masyarakat yang demokratis akan tercipta dengan sendirinya.

 

Penawar politisasi Religi

Beberapa survei menunjukkan bahwa Religi menjadi aspek yang sangat Krusial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kepada membela Religi, aspek-aspek kehidupan yang lain, termasuk menjalin Rekanan antarmanusia Pandai diabaikan atau dengan kata lain, demi membela Religi, seorang Sosok rela mengorbankan Sosok lainnya.

Karena itulah, maka jangan heran Apabila banyak politisi yang dalam kampanye politiknya menyampaikan janji-janji menegakkan Religi, memberlakukan syariat Islam, mempermudah ibadah, memperjuangkan berdirinya tempat ibadah, dan lain-lain, agar dirinya dipilih dalam pemilu. Inilah yang kita sebut dengan politisasi Religi.

Eksis perbedaan mendasar antara transformasi sosial-politik Religi dengan politisasi Religi. Yang pertama mengacu pada bagaimana nilai-nilai luhur Religi Pandai dimanifestasikan dalam kehidupan politik kebangsaan, sementara yang kedua bagaimana menggunakan isu Religi Kepada meraih dukungan politik. Apabila yang pertama Pandai menjadi perekat kehidupan antaragama, yang kedua sebaliknya malah menjadi pemicu konflik antaragama.

Prosesi ibadah haji merupakan rangkaian simbol-simbol dari semangat demokratisasi yang indah dan mengesankan. Proses transformasi dari simbol-simbol itu dalam Bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari merupakan isyarat dari kemabruran haji seseorang.

Di Demi tahun politik seperti sekarang ini, kiranya Krusial Kepada menggaungkan fungsi transformasi sosial-politik ritual haji agar (setidaknya) Pandai menjadi penawar bagi setiap upaya politisasi Religi.

Mungkin Anda Menyukai