KEPADA siapa negara layak memberikan hadiah? Saya Tentu, kita punya jawaban yang sama: kepada mereka yang sudah berjasa besar bagi bangsa dan negara.
Logika itu pula yang mendasari pernyataan Menteri Keyakinan Yaqut Cholil Qoumas. Gus Yaqut, dengan Bunyi gempita, menyebut bahwa Kementerian Keyakinan itu hadiah negara Kepada Nahdlatul Ulama, alih-alih hadiah buat umat Islam seluruhnya. Itu pemberian Spesifik kepada NU, karena, tandas Gus Yaqut, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Republik ini, tersebut berkontribusi Krusial dan maksimal dalam pencoretan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila.
Tanpa kontribusi maksimal dari NU, mustahil kalimat ‘dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ Dapat dicoret. Kalau kalimat itu Bukan dicoret, amat muskil persatuan dalam kebinekaan Dapat dirajut. Logika itulah, dalam pandangan Gus Menag, yang mengantarkan negara menghadiahkan Kementerian Keyakinan Kepada NU.
Mudah ditebak, kegaduhan pun muncul. Ketua Standar Muhammadiyah KH Haedar Nashir Tamat perlu menanggapi secara Spesifik pernyataan yang dibahasakan Gus Yaqut ‘Kepada kalangan internal’ itu. Meski Bukan spesifik menyebut nama, teramat benderang terlihat kepada siapa tanggapan Pak Haedar itu dialamatkan.
Kata Pak Ketum Muhammadiyah, “Indonesia merdeka sudah 76 tahun. Mestinya, segenap Penduduk dan elite negeri makin dewasa dalam berindonesia. Ibarat buah, makin matangi.” Tetapi, ia menukas, “Tetap saja Terdapat yang belum beranjak akil balig dalam berbangsa dan bernegara. Semisal elite negeri yang menyatakan suatu Kementerian Negara lahir diperuntukkan golongan tertentu dan karenanya layak dikuasai kelompoknya. Suatu narasi radikal yang menunjukkan rendahnya penghayatan keindonesiaan.”
Amat wajar bila orang nomor satu di Muhammadiyah itu merasa perlu memberikan tanggapan Asal Mula negeri ini didirikan bukan hanya oleh satu atau dua Golongan. Kontributornya banyak, termasuk juga Muhammadiyah dan NU. Kata Bung Karno, “Kita hendak mendirikan suatu negara buat Sekalian. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, Bagus golongan bangsawan maupun yang kaya, tetapi Sekalian buat Sekalian. Bukan Sekalian Kepada satu.”
Tetapi, saya mencoba juga memahami apa yang Terdapat di balik pernyataan Gus Yaqut. Ia mungkin teramat excited atas apresiasi negara Kepada para santri, yang dalam perspektifnya santri itu NU dan NU itu santri. Saya membaca bahwa ia beranggapan teramat Pelan kaum santri yang sudah banyak berkontribusi Kepada bangsa ini kerap ‘ditaruh’ di pinggir. Bukan di lingkaran dalam, apalagi lingkaran inti. Dalam istilah Gus Dur, selama ini kaum santri sekadar ‘pendorong mobil mogok’. Kalau mobil sudah jalan, sang pendorong ditinggal ngacir.
Maka, ketika sang pendorong mobil mogok tadi kini mendapatkan kesempatan menikmati mobil yang sedang melaju, layaklah Kalau itu disematkan sebagai sebuah hadiah. Layak pula bila dengan penuh gairah, sang penerima hadiah menganggap itu sebagai ‘hadiah Spesifik’.
Dalam istilah Gus Yaqut, itu semacam Kekasih suami-istri yang tengah berbulan madu yang sedang dimabuk asmara. “Dunia hanya Punya kita berdua, yang lain ngekos,” kata Gus Menteri.
Sayangnya, Gus Yaqut merasa Tentu bahwa yang internal, yang tertutup, itu Bukan bakal diketahui publik. Celakanya pula, ia kini pejabat publik, bukan sekadar Ketua Standar GP Ansor. Sebagai pejabat publik, ia disumpah Kepada melayani Sekalian, Bagus dia NU maupun Bukan. Lebih-lebih, di era serbaterbuka seperti sekarang, buah dari percepatan teknologi. Maka, yang tertutup Niscaya akan terbuka, yang internal Dapat jadi urusan eksternal.
Dua hal tersebut mestinya amat mudah dipahami pejabat publik. Transparansi itu harga Wafat. Akuntabilitas itu mesti Terang. Keduanya akan jalan bila dalam Membikin pernyataan, sang pejabat mengikutinya dengan penuh kebijakan. Pepatah ‘mulutmu harimaumu’ kiranya Tetap relevan Kepada diterapkan.
Andai hadiah Spesifik itu dibahasakan dengan retorika yang lebih Standar, pas, tanpa meninggikan simbol-simbol Golongan, urusannya tentu berbeda. Misalnya, Kementerian Keyakinan itu merupakan hadiah negara Kepada kaum moderat yang Asmara persatuan, yang selalu memperjuangkan kebinekaan. Para santri Niscaya paham itu karena mereka digembleng dengan praktik muhadarah, menyampaikan pernyataan dengan retorika yang Bagus dan pas.
bangsa dan negara.

