
KINI dunia dihebohkan banyaknya penemuan di bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang diyakini dapat memudahkan hidup Mahluk. Salah satunya ialah Chat-GPT, aplikasi yang membantu seseorang Kepada menemukan Surat keterangan hingga menyelesaikan banyak tugas, berupa tulisan, resume, skrip, dan lain sebagainya dengan bahasa yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya.
Apabila dulu guru Dapat dengan mudah memberikan tugas kepada siswa dengan rentang waktu tertentu, kini guru tak Dapat Kembali melakukannya. Karena dalam hitungan detik, tugas tersebut dapat diselesaikan dengan sangat mudah.
Sebagai pendidik, guru tak Dapat memisahkan diri dari perkembangan teknologi tersebut. Apalagi peserta didik Begitu ini terdiri atas generasi Z hingga alfa, generasi yang begitu lahir sudah berdampingan dengan teknologi. Mereka hidup dengan segala kemudahan, bahkan Dapat dikatakan serbainstan. Hal itu menyebabkan mereka kurang suka dengan hal-hal yang dianggap bertele-tele dan membutuhkan waktu.
Dulu, kita, orang dewasa yang masuk kategori generasi milenial dan Lagi di fase sekolah, akan sabar menghafal kali-kali hingga lekat di dalam ingatan. Kita akan sabar membolak-balik Kitab Kepada mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan guru atau sekadar Kepada memenuhi rasa Mau Mengerti. Tetapi, kini anak-anak kita akan merasa sangat tersiksa Apabila diminta Kepada mencari jawaban di Kitab. Mereka akan lebih memilih membuka mesin pintar di gawai Kepada menemukan jawaban yang diinginkan.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun kita mengalami pergeseran luar Biasa. Dulu Begitu Mau berbelanja, tak Eksis pilihan kecuali pergi ke pasar atau toko. Sekarang cukup berbaring di tempat tidur pun Dapat berbelanja melalui marketplace, dan barang yang diinginkan akan diantar langsung ke alamat yang kita berikan. Bukankah itu merupakan kemudahan yang luar Biasa dan Niscaya tak dapat kita hindari?
Pola pikir tetap
Paradigma terhadap kecerdasan buatan dalam diri seseorang menjadi penentu apakah akan dipandang sebagai ancaman ataukah tantangan. Orang-orang dengan fix mindset atau Metode berpikir yang kaku tetap akan menganggap kecerdasan buatan sebagai hambatan.
Mereka ialah orang-orang yang Kagak mau berdamai dan menerima pergeseran Era, Kagak Bisa Menyaksikan dengan kacamata yang lebih lebar, dan takut Kepada berubah. Hal itu akan menyebabkan mereka hanya Bisa Menyaksikan kekurangan dari perkembangan teknologi.
Menurut Catherine Cote (2022), seseorang dengan pola pikir tetap (fix mindset) menunjukkan kecenderungan sifat yang sulit diubah dan ketidakmauan diri Kepada berubah menjadi lebih Berkualitas.
Guru dengan pola pikir tetap hanya akan menyalahkan siswa mereka malas belajar karena lebih suka bermain gawai, menganggap gawai sebagai musuh yang menyebabkan ‘kebodohan’ anak didik. Kagak Eksis kebaikan yang Dapat dilihat guru dengan pola pikir yang kaku terhadap kecanggihan teknologi. Padahal, diri mereka sendiri tanpa sadar mulai terikat dengan kecanggihan yang merambah Segala aspek kehidupan.
Bagi guru dengan pola pikir tetap, gaya mengajar mereka sudah baku dan Kagak perlu diperbarui, apalagi mengikuti dan memanfaatkan kemudahan teknologi dan kecerdasan buatan yang berkembang Begitu ini. Mereka akan menganggap bahwa diri mereka Kagak butuh teknologi sehingga tetap Dapat mengajar dengan style Lamban, berdalih dulu siswa mereka Dapat pintar maka sekarang pun akan tetap Dapat pintar. Dengan begitu, Kagak perlu berubah, apalagi dibutuhkan usaha Kepada belajar agar Bisa meningkatkan kapasitas mereka.
Pola pikir bertumbuh
Berbeda dengan orang-orang yang Mempunyai pola pikir tetap, orang-orang dengan pola pikir bertumbuh (growth mindset) lebih terbuka atas perkembangan teknologi yang terjadi dan berusaha Kepada bersinergi dengan perubahan tersebut. Menurut Catherine Cote (2022), orang dengan pola pikir bertumbuh menunjukkan kemauan belajar dan keinginan Kepada berubah menjadi lebih Berkualitas Kembali.
Guru dengan pola pikir bertumbuh akan Memperhatikan perkembangan kecerdasan buatan sebagai tantangan agar diri mereka Lanjut berinovasi dan berkarya. Mereka juga akan lebih tertarik Kepada belajar dan memanfaatkan kecanggihan yang sudah Eksis Kepada memudahkan pekerjaan mereka, alih-alih mengutuk. Mereka juga Mengerti bahwa teknologi dapat membantu mereka dalam menyiapkan pembelajaran yang lebih menyenangkan, memberikan tugas yang lebih diminati siswa, dan Bisa memperkaya diri dan wawasan mereka sebagai individu dan sebagai guru.
Kekuatan berpikir
Kecerdasan buatan memang penemuan yang luar Biasa. Tetapi, menurut Elisa et all, (2023), teks yang dihasilkan dari mesin pintar itu sebagian besar dangkal, hambar, kering, dan Kagak punya keunikan. Dengan begitu, kecerdasan buatan seperti Chat-GPT Kagak dapat digunakan Kepada penulisan yang bersifat akademik, terlebih yang dipublikasikan.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu Segera dan keterkaitan antara berbagai disiplin ilmu selalu akan menghasilkan Penemuan baru. Hal itu Kagak dapat disentuh kecerdasan buatan karena perangkat tersebut belum Bisa berpikir kritis tingkat tinggi.
Kemampuan berpikir kritis tingkat tinggi hanya Dapat dilakukan otak Mahluk. Itu disebabkan otak kita dirancang Kepada Bisa memberikan pendapat yang jauh lebih spesifik berdasarkan pengalaman yang sifatnya Spesial dan berbeda dengan pendapat orang lain, mengaitkan berbagai bidang keilmuan, serta menemukan Penemuan-Penemuan baru melalui uji coba hingga penelitian.
Anak-anak yang dibiasakan Kepada berpikir kritis akan Bisa membangun Gambaran diri, Menyaksikan lebih jernih, dan lebih siap Kepada menjadi bagian dunia Dunia (John Kehoe & Nancy Fischer; 2020). Dengan kekuatan berpikir, mereka akan lebih Mempunyai kesadaran dalam melakukan setiap aktivitas dan rutinitas, memilih Bakat dan minat mereka, memilih jurusan pendidikan mereka, menjaga kesehatan diri dan mentalmereka, dan memilih pertemanan dan lingkungan sosial yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal itu hanya Dapat didapat dengan Donasi orang dewasa di Sekeliling mereka.
Guru Bisa menyeimbangkan kecerdasan buatan dengan lebih banyak melakukan proyek-proyek pembelajaran, melakukan praktikum dan uji laboratorium, dan meneliti ilmiah Berbarengan siswa. Kegiatan itu akan menggiring siswa ke proses pembiasaan dan peningkatan kemampuan berpikir kritis tingkat tinggi.
Meskipun kecerdasan buatan berkembang dengan pesat, guru dan siswa tetap Bisa menyaingi kecerdasan yang digunakan robot. Sejatinya, kecerdasan buatan diciptakan dari rasa penasaran bagaimana otak Mahluk bekerja dengan luar Biasa dan kita ialah pemilik asalnya! Wallahu a’lam bi al-shawab.