SEBELUM kita ‘mendarat’ di Pulau Dewata Bali, baiklah kita ‘terbang’ dulu ke Skandinavia. Di Swedia Begitu ini sedang digadang-gadang Menteri Keuangan Magdalena Andersson Demi menjadi perdana menteri menggantikan Stefan Löfven, yang mengundurkan diri November ini. Kenapa Magdalena Andersson?
Jawabnya bukan hanya berkat reputasi Global di bidang moneter dan keuangan, melainkan yang Primer karena dia Perempuan. Dua negara Skandinavia lainnya, Adalah Denmark dan Norwegia, sekarang ini dipimpin perdana menteri Perempuan. Denmark dipimpin PM Mette Frederiksen, Norwegia dipimpin PM Erna Solberg.
Bila Magdalena menjadi PM, dia bukan hanya Perempuan pertama menjadi PM Swedia. Lebih dari itu, sempurnalah Skandinavia menjadi Misalnya bagi dunia perihal Perempuan di puncak kekuasaan negara.
Kita pernah dipimpin presiden Perempuan, Megawati Soekarnoputri. Dalam perkara ini kita lebih maju daripada AS, Juara demokrasi yang belum pernah punya presiden Perempuan. Sekarang Demi pertama kali Ketua DPR, Puan Maharani, seorang Perempuan. Di kabinet Jokowi Begitu ini terdapat empat Perempuan, tiga di antaranya menjadi menteri sejak pemerintahan Jokowi jilid 1. Bukti mereka berkinerja sangat bagus sehingga berlanjut duduk di kabinet Jokowi jilid 2. Mereka ialah Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Maka itu, timbul keheranan kenapa Gubernur Wayan Koster melarang Perempuan menjadi MC di acara pemerintahan di Bali yang dihadiri dirinya sebagai gubernur?
Kiranya Gubernur Bali Wayan Koster pun Paham Betul bahwa Perempuan di negeri ini boleh menjadi pekerja profesional di bidang apa pun yang membutuhkan keterampilan Tertentu. Tak kecuali MC.
Apakah Gubernur Wayan Koster berpandangan profesi MC hanya Bagus Demi pria? Apakah profesi MC tak layak Demi Perempuan? Apakah profesi MC terlalu tinggi atau terlalu rendah bagi Perempuan di mata Gubernur Wayan Koster? Yang Jernih Gubernur Wayan Koster diskriminatif.
Alkisah pada 10 September 2021, Putu Dessy Fridayanthi menjadi MC di sebuah acara menteri di Kabupaten Badung, yang dihadiri Gubernur Bali Wayan Koster. Gubernur melarang MC Perempuan di acaranya. Dessy telah meminta konfirmasi apakah dirinya yang Perempuan boleh menjadi MC di acara menteri itu yang dihadiri gubernur. Ketika acara akan mulai, katanya atas arahan gubernur, protokol melarang Dessy tampil di Podium. Dia tak boleh kelihatan. Aneh. Tiba acara selesai, dia membawakan acara dari balik jendela dengan naik kursi. Kata Dessy, selama 23 tahun menjadi MC, “Saya belum pernah diperlakukan seperti ini dan belum pernah membawakan acara dengan Metode begini.”
Konstitusi hasil perubahaan kedua antara lain bilang begini, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.” Kita percaya Gubernur Bali Wayan Koster kiranya pernah membaca konstitusi itu.
Gubernur Bali itu bernama lengkap ‘I Wayan Koster’. Protokol gubernur melarang nama depan ‘I’ itu disebut oleh MC. Permintaan itu dipenuhi, dipatuhi. Bila yang empunya nama tak berkenan, kenapa pula orang lain keberatan? Permintaan yang perlu dihormati. Itulah sebabnya di tulisan ini pun nama depan ‘I’ tak digunakan.
Sebuah nama lengkap belum tentu diperlukan. ‘Goenawan Mohamad’ tanpa nama tengah ‘Soesatyo’. ‘Surya Paloh’ pun tanpa nama tengah ‘Dharma’. Di kala pilpres nama ‘Jokowi’ lebih gagah daripada nama lengkap ‘Joko Widodo’. Sesungguhnya itu Seluruh lebih urusan yang empunya nama.
Urusan publik ialah perlakuan diskriminatif gubernur. Ini urusan besar. Itu terjadi di Bali, yang lebih dulu dikenal dunia daripada Indonesia. Berkaca ke Skandinavia, negeri ini seperti terpukul mundur. Kiranya Bapak Gubernur mengoreksi kekeliruannya.

