SAMPAH dan sampah plastik Tetap jadi masalah di berbagai daerah. Berdasarkan data Tim Koordinasi Penanggulangan Sampah Laut (TKNPSL), pengurangan kebocoran sampah plastik ke laut baru mencapai 41,68% pada 2023 yakni dari 651.675 ton (2018) jadi 359.061 ton (2023).
Maka dibutuhkan kerja sama dan gotong-royong Demi terlibat aktif dalam Perjanjian Plastik Mendunia (Mendunia Plastics Treaty) PBB sebagai solusi mengatasi masalah polusi plastik. Business Coalition for A Mendunia Plastic Treaty (BCGPT) atau Koalisi Bisnis Demi Perjanjian Plastik Mendunia jelang sesi ke-5 Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5) Perjanjian Plastik Mendunia PBB di Busan, Korea Selatan.
Di tengah perhelatan menuju INC-5, BCGPT kembali mengingatkan perjanjian yang mengikat secara hukum dan mencakup siklus hidup produk plastik sebagai Kesempatan terbaik mengatasi polusi plastik. INC-5 merupakan momentum Krusial bagi Segala pemangku kepentingan Demi Serempak-sama menyepakati dan konsekuen menjalankan isi perjanjian.
Director of Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia, Nurdiana Darus menyampaikan Perjanjian Plastik Mendunia yang bersifat mengikat secara Global merupakan jawaban atas masalah polusi plastik dunia selama ini.
“Kita harus melangkah lebih dari sekedar upaya sukarela karena selama ini upaya-upaya tersebut belum menyelesaikan masalah,” kata Nurdiana, Sabtu (23/11).
Seperti diketahui, pemerintah mencanangkan pengurangan sampah laut hingga 30% pada 2025 dan mengurangi sampah plastik laut hingga 70% pada 2025, melalui tindakan Reduce-Reuse-Recycle (3R).
“Perjanjian itu Krusial Demi mengatur sejumlah restriksi, tercapainya tingkat produksi plastik yang berkelanjutan, serta perluasan tanggung jawab produsen atau extended producer responsibility (EPR),” ucapnya.
Direktur Public Affairs, Communication and Sustainability Coca-Cola Europacific Partners Indonesia, Lucia Karina menekankan pentingnya upaya komprehensif dari hulu ke hilir dan sinergi multipihak Demi menuntaskan permasalahan sampah di Indonesia.
“Agar upaya mengatasi masalah plastik efektif, dibutuhkan pendekatan holistik dan kolaboratif yang melibatkan pemangku kepentingan di sepanjang rantai nilai plastik, termasuk pelaku usaha, pemerintah, akademisi, pemuka Keyakinan, pemuka masyarakat, media, dan masyarakat, atau dikenal dengan konsep kolaborasi Nona Helix,” ungkapnya.
Tertentu negara berkembang, kerangka kerja sama perlu inklusif dan adaptif pada konteks dan budaya lokal, dengan pelibatan aktif sektor informal.
“Pendekatan semacam ini menunjukkan hasil positif dalam memperluas pengumpulan sampah dan meningkatkan Tingkat hidup. Ini jadi bukti Konkret urgensi kolaborasi multipihak yang disesuaikan situasi setempat, demi transisi adil menuju ekonomi sirkular,” ujar Karina.
Menurut dia, sebagai instrumen Global yang mengikat (ILBI), Perjanjian Plastik Mendunia diharapkan menjadi payung perlindungan bagi tumbuhnya ekonomi hijau di berbagai tempat.
“ILBI dirancang Demi memastikan tercapainya transisi inklusif dan berkeadilan agar dapat memitigasi risiko selama proses transisi itu khususnya Akibat terhadap UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) dan pekerja sektor informal pengelolaan sampah,” pungkasnya.
Diketahui, hingga Oktober 2024 pemerintah mengumpulkan masukan dari berbagai pihak Demi naskah Perjanjian Plastik Mendunia. Naskah itu diharapkan jadi bahan diplomasi Member delegasi Indonesia pada Perhimpunan INC-5 yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, TKNPSL dan pihak terkait lain. (H-2)