PARTAI Golkar resmi menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto. Hal itu menjadi keputusan dari Rapimnas II Partai Golkar.
“Menetapkan, mendukung, mengusung, Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres dari Partai Golkar periode 2024-2029,” kata Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily. (mediaindonesia.com 21/10).
Begitulah salah satu kemeriahan jagad politik Tanah Air pada akhir pekan ini. Nama putra sulung Presiden Joko Widodo itu pun tinggal menunggu pengumuman resmi Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang digawangi Gerindra, Golkar, dan PAN.
Bila akhirnya Wali Kota Solo tersebut benar-benar mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024, itu artinya sudah resmi ada tiga pasang yang bakal berkontestasi setelah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Bila akhirnya sang pengusaha tersebut benar-benar tampil, artinya publik mendapat jawaban ‘resmi’ terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru.
Dalam laman republika.co.id (17/10) disebutkan, MK memutuskan mengabulkan sebagian uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Almas memilih Arif Absahudi, Utomo Kurniawan, dkk sebagai kuasa hukum. Permohonan ini diterima MK pada 3 Agustus 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Tetapi, hal tersebut dinilai janggal oleh Hakim MK Saldi Isra. Dengan lugas ia menyebutkan dalam Putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023), Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
Itu artinya gugatan Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan Wagub Jatim Emil Dardak tak berhasil. Tapi hal itu tak berlaku buat Almas Tsaqibbirru. Gugatannya justru sukses sekaligus bisa menjadi pintu masuk buat keponakan Ketua MK Anwar Usman tersebut, berkontestasi di Pilpres 2024.
Kalau ditelaah bukan hanya Gibran yang diuntungkan karena ada 21 kepala daerah yang usianya di bawah 40 tahun, di antaranya Wali Kota Medan Bobby Nasution (32), Bupati Dharmasraya, Sumbar, Sutan Riska Uzurnku Kerajaan (34), Wagub Jatim Emil Dardak (32), Bupati Gowa, Sulsel, Adnan Purichta Ichsan (37), Bupati Nunukan, Kaltara, Asmin Laura Hafid (38), atau Bupati Kendal, Jateng, Dico Mahtado Ganinduto (33).
Sowan
Hanya saja, Gibran jelas lebih diuntungkan dari beragam sudut pandang. Enggak mungkinlah KIM melirik salah satu dari 21 kepala daerah tersebut sebagai pendamping Prabowo Subianto.
Penunjukan cawapres dari KIM ini bukan tanpa risiko mengingat Gibran masih merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Definisinya, KIM harus sowan ke Ketua Lumrah PDIP Megawati Soekarnoputri untuk meminang Gibran.
Terdapatlah hal mustahil Mega mengizinkan kadernya itu mendampingi Prabowo. Terlebih Gibran dan juga Bobby Nasution, sudah ditunjuk sebagai salah satu juru kampanye nasional untuk pasangan Ganjar-Mahfud.
Bila Gibran ngeyel memutuskan untuk hengkang dari PDIP, artinya sudah ada sinyal bahwa ‘perang Bubat’ sudah hampir terjadi. Rasanya tak mungkin kalau Gibran merapat ke KIM tanpa sepengetahuan sang ayah. Meskipun di kartu keluarga mereka sudah pisah, tapi mustahil tak ada pembicaraan tentang konstestasi Pilpres 2024.
Label ‘anak muda pengkhianat’ pun bukan mustahil bakal disandang Gibran. Dampaknya sudah pasti akan mengena juga ke Presiden Joko Widodo. Tapi Jokowi pasti sudah berhitung masalah tersebut.
PDIP selaku partai besar dan bermartabat sudah seyogianya menjaga marwah harga diri partai, semisal memecat mereka yang dianggap tak lagi sejalan dengan kebijakan partai. Itu pun kalau PDIP memang berani mengambil sikap. Pasalnya, memecat Gibran atau bahkan Jokowi, sama artinya PDIP mesti memosisikan secara tegas sebagai bukan bagian Kabinet Indonesia Maju lagi.
Dalam bahasa peneliti CSIS Arya Fernandes, keretakan hubungan Jokowi dan Megawati tak bisa disembunyikan. Jokowi sudah memperlihatkan sikap keberpihakan sejak awal yang membuat hubungan mereka retak. (Liputanindo.id 18/10)
Bahkan dalam pandangan pengamat politik Universitas Al-Azhar Jakarta Ujang Komarudin, gestur Jokowi ketika ada di tengah-tengah acara PDIP seperti tidak terlalu nyaman, tidak bagus, tidak baik-baik saja. Beda ketika Jokowi hadir di partai-partai lain itu nyaman tetapi dengan PDIP sendiri tidak. (republika.co.id, 5/6)
Atau mungkin ada skenario lain terkait pemilihan Gibran sebagai pendamping Prabowo. Dapat jadi ada pandangan (atau harapan) bahwa ini adalah langkah brilian PDIP (Megawati dan Jokowi) untuk bermain politik dua kaki. Bila duet Ganjar-Mahfud menang, PDIP dapat presiden. Begitu juga bila Prabowo-Gibran yang menang, PDIP lumayanlah mendapatkan posisi wapres. Ciamik.
Terlepas dari itu semua, siapapun berhak mencalonkan diri sebagai kandidat pemimpin bangsa. Berjuanglah dengan elegan dan tanpa nggondeli kekuasaan yang ada. Kalau memang Jokowi tak ingin mencampuri suksesi 2024, tunjukkan dengan sikap negarawan; satu kata dan satu perbuatan. (Z-7)