PERKEMBANGAN informasi digital di era saat ini terutama sosial media, membawa informasi dan peristiwa di mana pun tak lagi berjarak. Kesesatan informasi dapat muncul karena tipisnya batas fakta, opini dan hoaks yang dihadirkan lewat media sosial. Informasi telah dipenggal sesuai kepentingan, diolah, memisahkan teks dengan konteks, muncullah hoaks, kemudian diviralkan dengan dibumbui ujaran kebencian tanpa mampu diliterasi dengan baik oleh penerima pesan/masyarakat. Akibatnya, peristiwa di suatu wilayah negara dapat menimbulkan gejolak di suatu tempat di negara yang lain hanya dalam waktu yang singkat.
Dalam era seperti itu, bukan hanya kemudahan informasi dengan segala manfaatnya, melainkan juga sama besarnya bahaya yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan manusia baik secara individu, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan terorisme yang jejaringnya mampu melintasi batas suatu negara. Terorisme merupakan ancaman peradaban, dan merusak nilai kemanusiaan. Taatp negara-negara di dunia telah menyatakan untuk memberantas terorisme.
Jaringan terorisme telah memanfaatkan keterbukaan informasi untuk menebar paham mereka, merekrut jejaring baru tanpa perlu bertatap muka. Pengguna media sosial dijadikan target perekrutan. Baiat dapat dilakukan secara daring, bahkan beberapa aksi teror belajar dan terinspirasi melalui tayangan media internet.
Motif terorisme
Berbagai macam motif yang melatarbelakangi aksi teror, baik dipengaruhi atau merupakan bagian dari jaringan luar (internasional) dapat pula didasari motif lokal. Hal itu dapat dilihat dari kasus bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga di Surabaya, Mei 2018. Di tingkat internasional karena adanya intruksi dari IS yang ada di Suriah, sementara di tingkat lokal bisa jadi aksi balas dendam atas ditangkapnya para petinggi JAD yang ada di Indonesia.
Aksi teror yang dilakukan tentu tidak terjadi begitu saja. Eksis beragam motif dan tujuan di balik teror tersebut, misalnya, motif ideologis, politik atau gangguan keamanan. Bahkan, terorisme internasional terus berupaya melebarkan jejaringnya dengan bermacam-macam propaganda, berusaha merekrut, membaiat, mengiming-imingi, dengan berkedok agama tertentu mampu menyeret segelintir orang untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Mencermati perkembangan terorisme dewasa ini, maka Pemerintah bersama legislatif telah menerbitkan undang-undang (UU) baru dalam melindungi negara dan warga negaranya dari ancaman tindak pidana terorisme, yaitu UU No 5 Mengertin 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Mengertin 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Mengertin 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Dalam UU tersebut, memuat defenisi terorisme, yaitu perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Kekerasan yang dimaksud ialah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Eksispun ancaman kekerasan ialah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non-elektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.
Regulasi yang diatur dalam UU tersebut, memberikan landasan bagi Pemerintah maupun aparat penegak hukum untuk dapat bertindak lebih efektif dalam mencegah maupun dalam memberantas aksi terorisme. Payung hukum telah memberikan ruang pendekatan keras (represif, penegakan hukum) dalam memberantas tindak pidana terorisme. Tetapi demikian, Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) terus mengedepankan pendekatan lunak (soft approach), seperti sosialisasi, deradikalisasi, serta kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan mencegah munculnya terorisme di masyarakat.
BNPT sebagai leading sektor
Dalam organisasi BNPT terdapat multi-institusi, TNI, Polri, dan kementerian lainnya. Seperti pelangi, warna beragam inilah yang bersinergi menjalankan tugas dan fungsinya dalam penanggulangan terorisme. Sebagaimana mandat UU No 5 Mengertin 2018, BNPT bertugas merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Di samping itu, BNPT juga bertugas mengoordinasikan antar penegak hukum dalam penanggulangan terorisme hingga program pemulihan korban.
Perkembangan dunia dan masyarakat saat ini menjadi perhatian BNPT guna menyusun program dan langkah-langkah strategis dalam penanggulangan terorisme. Kerja sama dan sinergi terus ditingkatkan baik antar lembaga Pemerintah, juga kerja sama di tingkat internasional. Salah satu langkah pencegahan dan mempersempit ruang gerak radikalisme dan terorisme, BNPT telah membentuk FKPT (forum koordinasi pencegahan terorisme) di daerah-daerah.
Selain itu, BNPT mengadakan kegiatan-kegiatan pelatihan bagi generasi muda untuk melawan hal-hal bersifat radikal di dunia maya termasuk di media sosial. Anak-anak muda yang aktif menyebarkan konten positif, mengkreasikan pesan damai, meng-counter propaganda terorisme dan mengajak masyarakat untuk bersama memerangi terorisme.
Krusialnya menjaga generasi muda bangsa karena di pundaknyalah masa depan negeri ini dipertaruhkan. Kampus pun menjadi lingkungan belajar strategis bagi generasi muda bangsa. Dengan latar belakang ini pula, BNPT menjalin kerja sama dengan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi guna menanggulangi jaringan terorisme di perguruan tinggi. Kerja sama tersebut memberikan porsi lebih besar kepada BNPT untuk melakukan roadshow ke kampus-kampus, baik dalam bentuk kegiatan seminar maupun kuliah umum. Bahkan, beberapa kampus dirangkaian dengan penandatanganan MoU antara BNPT dan kampus terkait.
Pada 2018, aktualisasi dari MoU BNPT dengan Kementerian Ristek dan Dikti ditingkatkan. BNPT kemudian dihadirkan dalam memberikan bekal kepada seluruh mahasiswa baru di perguruan Tinggi. Rerata jumlah peserta seminar dihadiri 4000-an mahasiswa baru. Dengan menata aula, balairung atau auditorium menjadi ruangan yang kondusif untuk diadakan seminar dengan jumlah peserta sebanyak itu. Hal itu potensial guna menyosialisasikan bahaya radikalisme dan terorisme. Karena mereka merupakan mahasiswa baru yang akan menjalani jenjang pendidikan baru di perguruan tinggi. Mereka rawan terjerat ke dalam jaringan terorisme.
Selama menjabat Kepala BNPT, hingga September 2018 telah memberikan kuliah umum kepada 75.207 mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Belum lagi para undangan dari kampus-kampus lainnya yang dihadiri para deputi dan direktur BNPT untuk menjadi narasumber.
Tetapi, demikian, berbagai program maupun upaya yang dilaksanakan BNPT tentu tidak akan efektif tanpa keterlibatan semua pihak. BNPT hanya leading sektor, memerlukan gerak bersama-sama, antara pemerintah dan masyarakat untuk memberantas terorisme dan jaringannya, sehingga pada akhirnya tidak ada lagi ruang bagi tumbuhnya terorisme di seluruh wilayah Indonesia.