Geopolitik Kekuatan BRICS dan Dilema Barat

Geopolitik Energi: BRICS+ dan Dilema Barat
(Dok. Wikipedia)

KTT ke-16 BRICS+ (22-24 Oktober 2024) di Rusia, tepatnya di Kota Kazan, kian dekat. Isu energi menjadi sorotan dunia jelang momen itu. Dengan menguasai rantai pasok energi dari hulu ke hilir, BRICS+ muncul sebagai kekuatan ekonomi-politik mandiri baru. Ia menantang hegemoni Barat dengan memperjuangkan kesetaraan global. 

Bagaimana Indonesia harus bersiap menghadapi pergeseran lanskap energi global itu? KTT tersebut akan menjadi tonggak penting dalam membentuk tatanan energi global yang lebih multipolar dan multilateral.

Dengan berfokus pada demokratisasi sistem energi internasional, ekspansi BRICS+ akan membawa dampak signifikan pada dua sektor utama. Pertama, BRICS+ menjadi pusat gravitasi transisi energi global. Dengan Argentina, Tiongkok, dan Brasil sebagai produsen litium terbesar, blok itu siap memimpin revolusi kendaraan listrik dan energi baru terbarukan. Kedua, BRICS+ akan mendobrak dominasi OPEC+ dalam pasar minyak dan gas global.

Bergabungnya produsen minyak raksasa seperti Arab Saudi, Iran, dan UEA menyuntik kekuatan bagi BRICS+ untuk mengendalikan pasokan dan harga serta membentuk kebijakan energi yang lebih independen terhadap AS. Pengembangannya mengguncang hegemoni Barat dan memanaskan kontestasi geopolitik energi. ASEAN dan negara-negara Selatan Mendunia terjepit di tengah. Indonesia perlu bersikap jelas dan cermat. Apakah BRICS+ menjadi ‘mesias’ energi baru atau ancaman bagi stabilitas global? Keputusan Indonesia akan menentukan arah kebijakan energinya ke depan.

 

Ambivalensi transisi energi Barat

Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 tidak secara langsung memicu krisis pasokan energi global. Ia justru membongkar inti permasalahan lama Eropa, yaitu ketidakseimbangan bauran energi dan rantai pasok. Pasokan LNG AS hanya berhasil mengatasi krisis energi Eropa dalam jangka pendek akibat konflik Ukraina. Keputusan pemerintahan Biden untuk menunda pembangunan terminal baru LNG hingga 2025 tetap mengancam stabilitas energi masa depan Eropa sebab bauran energinya yang belum terdiversifikasi. 

Cek Artikel:  Etika Politik dan Mimpi Negara Maju

Lebih lanjut, sanksi dan pembatasan harga justru menjadi bumerang bagi Barat. Pasalnya, Rusia berhasil mengalihkan ekspor ke negara-negara ekonomi besar yang haus akan energi melalui aliansi BRICS+, seperti India dan Tiongkok. Betul bahwa Uni Eropa telah berupaya mengurangi ketergantungan pada gas alam Rusia melalui kebijakan REPowerEU. 

Kebijakan itu mendorong diversifikasi bauran energi dan mempercepat transisi menuju energi terbarukan dan nol karbon (termasuk nuklir dan surya). Sayangnya, kebijakan itu justru menciptakan ketergantungan baru pada Tiongkok untuk panel surya. Lebih parah, mereka menambah ketergantungan pada Rusia untuk uranium yang diperkaya sebagai bahan bakar nuklir. 

Hal itu menunjukkan bahwa suka atau tidak Uni Eropa masih membutuhkan Rusia dan BRICS+ untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Dengan demikian, rencana transisi energi Uni Eropa terkesan hanya menjadi wacana belaka. Praktiknya, kilang minyak ‘siluman’ sebagai perantara minyak Rusia justru menjadi solusi instan yang semakin marak. Meskipun Barat sedang menyiapkan sanksi khusus untuk praktik tersebut, keuntungan yang didapatkan Eropa dan negara-negara pengimpor serta pengolah minyak Rusia, seperti India, Turki, Tiongkok, dan Kazakhstan, tampaknya terlalu besar untuk ditolak.

Di sisi lain, BRICS+ berpotensi menjadi pusat gravitasi transisi energi global. Dengan bergabungnya Argentina, BRICS+ kini memiliki tiga dari lima produsen litium terbesar di dunia bersama Tiongkok dan Brasil. Sumber daya itu menempatkan BRICS+ pada posisi strategis untuk memimpin revolusi kendaraan listrik dan energi terbarukan. Ia memiliki potensi investasi besar dalam proyek-proyek di negara anggota seperti Iran yang memiliki cadangan mineral penting seperti zinc, tembaga, dan litium walaupun terkendala sanksi ekonomi.

Cek Artikel:  Syirik Sosial Pelaku Korupsi

 

BRICS+: dilema Barat di tengah multipolaritas

Dalam pidatonya pada pertemuan dengan staf senior Kemenlu Rusia di Moskow pada 14 Juni 2024, Vladimir Putin menegaskan empat landasan BRICS+ sebagai jembatan multilateralisme: kesetaraan kedaulatan, inklusivitas, konsensus, dan kolaborasi yang mutualistik. 

Hal itu menunjukkan bahwa BRICS+ tidak dirancang menjadi tandingan NATO atau Barat. Sebaliknya, ia menjadi platform alternatif bagi mereka yang memperjuangkan kesetaraan global dan menentang hegemoni unipolar. Meskipun BRICS+ saat ini bukan ancaman militer bagi NATO, ekspansi kelompok itu dapat mengikis dominasi global NATO yang selama ini ditopang oleh kontrol mereka terhadap produksi minyak dan gas melalui OPEC+.

Praktik bossism dan politisasi sanksi oleh G-7/NATO dalam pasar energi telah mendorong negara-negara OPEC+ mencari aliansi alternatif seperti BRICS+. Integrasi eksportir minyak dan gas besar seperti Arab Saudi, UEA, dan Iran (42% pasokan minyak global) bersama dengan importir raksasa Tiongkok dan India merupakan langkah strategis BRICS+ untuk menciptakan stabilitas rantai pasok dan mekanisme perdagangan komoditas yang independen. Langkah itu memungkinkan mereka beroperasi di luar jangkauan sektor keuangan G-7 sekaligus mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan Barat.

Mengingat besarnya volume perdagangan dalam jaringan BRICS+, upaya dedolarisasi menjadi opsi yang semakin memungkinkan dan menjadi langkah konkret untuk melemahkan pengaruh finansial Barat/NATO dan memperkuat otonomi ekonomi mereka. Laporan Boston Consulting Group menunjukkan bahwa institusi finansial BRICS+, New Development Bank (NDB), telah menerbitkan seperlima pinjamannya dalam mata uang yuan. Bilangan tersebut diprediksi akan terus bertumbuh. Hal itu mencerminkan komitmen BRICS+ dalam mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan menciptakan sistem keuangan yang lebih multipolar.

Cek Artikel:  Corak Kelam Pendidikan Indonesia

Meskipun upaya konfrontatif NATO dan Uni Eropa dalam membendung ekspansi BRICS+ sejauh ini masih terbatas pada sanksi terhadap Rusia, potensi perluasan sanksi terhadap anggota lain tetap terbuka, terutama jika negara tersebut dianggap berperan sebagai ‘negara satelit’ selama konflik Ukraina. Kecenderungan itu secara diam-diam disuarakan terhadap Tiongkok (pintu Rusia ke pasar energi Barat) pada KTT NATO 2023.

Tetapi, sanksi total terhadap produk energi Rusia dan turunannya bukanlah pilihan ideal bagi NATO dan Uni Eropa. Menghilangkan pasokan Rusia dari pasar global hanya akan memicu lonjakan harga. Mereka justru akan mendorong negara-negara nonblok untuk bergabung dengan BRICS+ dan menjadikannya bukan hanya kompetitor ekonomi, melainkan juga kekuatan keamanan regional yang mandiri dan mampu melawan pengaruh Barat dan NATO.

 

Keputusan stragndonesia

Kehadiran BRICS+ membuka peluang bagi Indonesia untuk mencapai stabilitas ekonomi berkelanjutan. Melalui institusi finansial BRICS+ seperti New Development Bank (NDB) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Indonesia dapat meningkatkan kerja sama alih teknologi dan riset serta pengembangan (R&D), mempercepat transisi energi terbarukan, dan mendiversifikasi bauran energi nasional. Tetapi, Indonesia mesti cermat menentukan langkahnya jika ingin maju tanpa tersandung bahaya keberpihakan dengan memainkan strategi ‘politik jalan tengah’. 

Kemitraan dengan BRICS+ jangan dipandang sebagai aliansi eksklusif, tapi kemitraan ‘strategis priorita. Pendekatan itu memungkinkan Indonesia mengakomodasi kepentingan intrablok sambil menyelaraskannya dengan kepentingan nasional. 

Sebagai pusat diplomasi regional, Indonesia dapat memanfaatkan kemitraan itu untuk memperkuat kerja sama intrablok dan menjadi corong kepentingan negara-negara berkembang (Mendunia South) dalam forum-forum BRICS+. Partisipasi aktif dalam forum-forum itu akan memungkinkan Indonesia mendorong reformasi institusi-institusi global menjadi lebih inklusif, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan dunia yang terus berkembang.

Mungkin Anda Menyukai