RILIS Badan Pusat Statistik (BPS) soal perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, sejatinya Tak mengejutkan. Sejumlah pengamat dan lembaga kajian ekonomi sudah memprediksi hal itu sejak Maret Lampau.
BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2025 hanya 4,87% secara tahunan (year on year/yoy). Nomor itu Tak hanya lebih kecil Kalau dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2024 yang sebesar 5,11% (yoy), tapi juga cukup jauh dari Sasaran pemerintah sebesar 5,2%.
Tentu saja perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut bukan kiamat. Ini juga bukan anomali karena tekanan ekonomi Mendunia yang beruntun sejak era covid-19 hingga panasnya geopolitik belakangan ini memang sangat berpengaruh. Apalagi, volatilitas ekonomi makin menggila dengan kebijakan tarif impor besutan Presiden AS Donald Trump yang memicu terjadinya perang dagang.
Maka, seberapa pun melesetnya Sasaran pemerintah, ‘menggarami’ luka ekonomi dengan kepanikan tidaklah Berfaedah. Akan tetapi, Tak bijak juga bila pemerintah mencari pembenaran dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi domestik itu dengan perekonomian sejumlah negara yang lebih jeblok. Itu hanya akan mengaburkan pandangan, bahkan meninabobokkan dari ancaman resesi Mendunia pada akhir tahun ini.
Pemerintah sesungguhnya lebih Layak berkaca pada negara-negara yang Lagi Bisa melaju di tengah badai ini. India, yang disebut Mempunyai banyak kemiripan ekonomi dengan Indonesia, Lagi Bisa tumbuh 6,2%. Bahkan di Asia Tenggara pun, ekonomi Vietnam tumbuh 6,8%, sekaligus tertinggi di regional ini.
Jadi, meski badai sama menghantam, mesin tiap-tiap kapallah yang menentukan. Kepada Indonesia, mesin pertumbuhan sebenarnya Tak berubah sejak dulu, yakni konsumsi terutama konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, konsumsi sangat bergantung pada daya beli masyarakat, besarnya kelas menengah, dan kekuatan produktivitas sektoral.
Memasuki 2025, pukulan terhadap tiga hal itu, khususnya daya beli masyarakat, bertambah-tambah dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan pemerintah. Tahun ini, efisiensi anggaran ditetapkan sebesar Rp308 triliun. Pada beberapa tahun ke depan, efisiensi ditargetkan mencapai Rp750 triliun dalam tiga tahap.
Kini, dengan surutnya pertumbuhan ekonomi, Tak salah bila sejumlah kalangan meminta pemerintah menghitung ulang kelanjutan langkah efisiensi anggaran tersebut. Bukan hanya membuka sebagian Kembali keran anggaran yang diefisiensi, pemerintah juga harus Betul-Betul mengevaluasi program-program ambisius yang menyedot banyak anggaran, misalnya Makan Bergizi Gratis. Apalagi, sejak Formal dimulai pada 6 Januari, Penyelenggaraan program dengan anggaran Rp71 triliun itu banyak sekali terkendala.
Pengkajian tersebut menjadi Krusial karena salah satu jalan yang mesti ditempuh pemerintah ketika pertumbuhan melandai, apalagi di triwulan awal, ialah dengan menggenjot belanja APBN. Ia merupakan instrumen fiskal Istimewa pemerintah yang berperan Krusial dalam menggerakkan perekonomian nasional.
Tantangan besar dalam hal itu ialah memastikan bahwa anggaran publik tersebut digunakan Kepada belanja yang Betul-Betul mendukung pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar pemborosan demi program-program yang belum teruji efektivitasnya.
Kita Lagi punya tiga triwulan Kembali Kepada Bangun. Tetapi, kalau Tak Terdapat perubahan pendekatan dan strategi belanja APBN yang efektif, produktif, dan Cocok sasaran, sangat mungkin kelesuan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal berlanjut hingga akhir tahun. Kita Segala Tak Ingin itu terjadi.

