Generasi Digital Harus Melakukan Detoksifikasi Teknologi

Generasi Digital Harus Melakukan Detoksifikasi Teknologi
Marcel Yap(Dok pribadi)

TEKNOLOGI kini telah berkembang pesat. Internet yang dulunya Lamban, kini bahkan lebih Segera bila dibandingkan kecepatan kita menghabiskan makanan Segera saji. Media sosial (medsos) yang dulunya hanya platform Demi berbagi momen, kini telah menjadi arena pertempuran ide, sarana pendidikan, dan bahkan lahan bisnis.

Tapi apa yang terjadi ketika garis antara dunia digital dan realitas mulai kabur? Generasi muda yang sering disebut sebagai digital natives, tumbuh dalam lingkungan yang mana keberadaan dunia daring (online) adalah Kebiasaan, bukan pengecualian. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, notifikasi smartphone tak henti-hentinya mengalir. Bagi banyak orang, rasa cemas mulai muncul Begitu baterai ponsel menunjukkan Nomor di Dasar 20% atau Begitu sinyal wi-fi tiba-tiba menghilang.

Pada dasarnya ketergantungan kita terhadap teknologi telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Tetapi pernahkah kita bertanya mengapa merasa perlu Demi memeriksa ponsel setiap beberapa menit? Mengapa kita merasa Tak nyaman Begitu berada di tempat yang Tak Mempunyai akses internet? Jawabannya sederhana, karena kita telah menjadi tergantung.

Generasi muda yang hidupnya tumpang tindih dengan munculnya teknologi canggih, menjadi Grup yang paling rentan terhadap ketergantungan digital ini. Bagi mereka, dunia digital bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga menjadi identitas. Tetapi, siapkah generasi ini membayar harganya?

 

Digital overload

Terdapat sebuah fenomena yang disebut sebagai digital overload. Demi memudahkan pemahaman, bayangkan diri kita sebagai sebuah smartphone. Seiring dengan waktu dan penggunaan yang intensif, baterai kita mulai terkuras dan membutuhkan waktu Demi diisi ulang. Waktu isi ulang ini yang kita sebut sebagai momen recharge dari hiruk-pikuk dunia digital. 

Sebaliknya, apa yang terjadi Apabila kita Lanjut-menerus ‘terhubung’ tanpa henti? Pertama, masalah pada kesehatan mental. Gelombang notifikasi yang tak pernah berhenti, tekanan Demi selalu terlihat sempurna di media sosial, atau rasa FOMO (fear of missing out) dapat mempengaruhi kesehatan mental kita. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan risiko kecemasan dan depresi. 

Cek Artikel:  Akuntabilitas Kepolisian dalam Penegakan HAM

Bayangkan, Begitu kita terlalu Pusat perhatian pada apa yang orang lain lakukan dan miliki, kita mulai merasa tak cukup dengan diri sendiri. Selain itu, layar smartphone atau laptop yang menyala secara Lanjut-menerus sebelum tidur dapat mengganggu pola tidur kita karena tidur menjadi kurang berkualitas. Sering kita mendengar anak muda yang mengalami sulit tidur Tiba lewat tengah malam karena scrolling tak berujung.

 

Kedua, masalah pada kehidupan sosial. Ketika komunikasi lebih sering dilakukan melalui chat daripada percakapan tatap muka, kemampuan kita Demi berinteraksi dan membangun Interaksi yang mendalam Pandai terkikis. Kita mungkin Mempunyai ribuan Sahabat di medsos, tetapi berapa banyak di antara mereka yang kita kenal dengan Berkualitas.

Ketiga, penurunan produktivitas dan kualitas kerja. Mungkin kita merasa produktif dengan banyak tab yang terbuka di browser kita, multitasking antara chat, pekerjaan, dan medsos. Tetapi kenyataannya, kita hanya mengalihkan perhatian kita dan memperlambat proses kerja. Kualitas pekerjaan kita juga menurun karena kita Tak Pusat perhatian sepenuhnya.

 

Teknologi dalam kurikulum

Di era digital Begitu ini, program studi (prodi) sistem informasi memainkan peran yang sangat kritikal. Artinya mengajarkan mahasiswa bagaimana mendesain, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem yang memudahkan kehidupan Insan. Tetapi ironisnya, lulusan dari prodi ini juga bertanggung jawab atas meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap teknologi. Jadi, bagaimana prodi sistem informasi menjembatani hal ini?

Pertama, pemahaman tentang digital detoks memberi kesadaran bagi mahasiswa prodi studi informasi mengenai Pengaruh psikologis dan sosial dari solusi yang mereka ciptakan. Meskipun aplikasi dan platform yang mereka kembangkan mungkin memberikan kemudahan dan efisiensi, mereka juga harus mempertimbangkan bagaimana teknologi tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental penggunanya.

Kedua, prodi sistem informasi dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip desain yang mendorong penggunaan teknologi yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Contohnya, desain antarmuka yang Tak memicu kecanduan atau memberikan notifikasi yang berlebihan, atau mengembangkan aplikasi yang membantu pengguna Demi mengatur waktu layar mereka dan memberikan peringatan ketika mereka telah menghabiskan banyak waktu di depan layar. Kita menyebutnya sebagai human-centered design.

Ketiga, dengan memahami kebutuhan akan digital detox, mahasiswa prodi sistem informasi dapat menjadi inovator dalam menciptakan solusi teknologi yang mendukung kesehatan mental dan fisik pengguna. Bayangkan aplikasi yang bukan hanya berfokus pada produktivitas, tetapi juga pada mindfulness, atau bahkan menyarankan aktivitas non-digital sebagai alternatif.

Cek Artikel:  Bagaimana NU Bisa Mengurai Sejarah Kelam Tragedi 1965

Dengan kata lain, wawasan tentang digital detox menjadi bagian integral dari kurikulum prodi sistem informasi. Hal ini bukan hanya tentang mengembangkan teknologi, tetapi juga memahami Pengaruh kepada Insan sehubungan dengan penggunaan teknologi tersebut. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip digital detoks ke dalam kurikulum, lulusan prodi sistem informasi dapat berkontribusi dalam menciptakan dunia digital yang lebih sehat dan berkelanjutan.

 

Apa dan mengapa digital detox?

Digital detox dapat didefinisikan sebagai periode seseorang dengan sengaja menjauhkan diri dari perangkat elektronik seperti smartphone, komputer, atau televisi. Tujuannya? Terang Demi mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan memperdalam Interaksi interpersonal. Konsep ini bukanlah konsep yang baru, karena konsep ini mirip dengan Begitu kita memilih Demi berpuasa makanan Demi ‘membersihkan’ tubuh kita.

Mengapa kita perlu ‘membersihkan’ diri dari dunia digital? Pertama, Demi meningkatkan kualitas tidur. Mengurangi paparan Sinar biru dari layar sebelum tidur dapat membantu meningkatkan kualitas tidur. Kedua, ketika kualitas tidur membaik, kita Mempunyai Daya dan clarity Demi mendapatkan perspektif yang lebih jernih tentang realitas dan meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan Sekeliling. Ketiga, dalam rangka meningkatkan produktivitas, tanpa gangguan dari notifikasi yang Lanjut-menerus, kita dapat Benar-Benar Pusat perhatian pada tugas yang Terdapat di depan mata.

 

Di tengah banyaknya ulasan tentang Pengaruh negatif teknologi, Tak sedikit yang lupa bahwa teknologi juga Mempunyai potensi besar Demi menjadi solusi, bukan hanya sumber masalah. Bagaimana kita dapat menggunakan teknologi Demi mengatasi teknologi. Berikut adalah beberapa Teladan bagaimana teknologi dapat membantu kita Demi mengatasi teknologi; 

Cek Artikel:  Sekolah dan Perubahan Iklim

1. Aplikasi dan platform yang mendukung kesehatan mental

Dalam beberapa tahun terakhir, aplikasi meditasi, seperti headspace dan calm mendapatkan popularitas karena membantu banyak orang menemukan ketenangan di tengah kesibukan. Aplikasi semacam daily haloha atau daylio dapat membantu pengguna melakukan self-reflection, melacak mood mereka, memberikan insight mengenai pola emosi, dan memberi saran tindakan yang dapat diambil Demi meningkatkan kesehatan mental.

 

2. Prinsip-prinsip desain yang mendukung penggunaan teknologi yang bertanggung jawab

Desainer produk digital kini semakin sadar tentang tanggung jawab etika mereka, mulai dari pengaturan notifikasi yang kurang mengganggu, mode ‘tidur’ yang menenangkan pikiran sebelum tidur, hingga fitur pengingat Demi mengambil Jarak dari layar. Prinsip desain yang bertanggung jawab ini mendorong kita Demi menggunakan teknologi dengan Langkah yang lebih sehat dan sadar.

 

3. Teknologi yang mendorong interaksi sosial yang sehat

Tak Seluruh teknologi mengarahkan kita pada isolasi. Aplikasi dan platform, seperti meetup atau eventbrite, memungkinkan orang-orang Demi Bersua dan berpartisipasi dalam acara atau kegiatan di dunia Konkret berdasarkan minat mereka. Teknologi VR (virtual reality) dan AR (augmented reality) kini juga digunakan Demi mendorong interaksi sosial melalui game atau simulasi yang mengharuskan kerja sama dan komunikasi antarpemain.

 

Sangat Krusial Demi diingat bahwa teknologi adalah alat, dan bagaimana kita menggunakannya yang menentukan dampaknya terhadap kita. Dengan memilih teknologi yang mendukung keseimbangan dan kesejahteraan, kita dapat memastikan bahwa kita mendapatkan manfaat maksimal dari Hasil karya, tanpa mengorbankan kesehatan mental dan Interaksi sosial. 

Akhirnya, anak muda harus mengingat bahwa mereka Mempunyai kekuatan Demi memilih, mengendalikan, dan memanfaatkan teknologi dengan Langkah yang paling sesuai Demi mereka. Teknologi Pandai menjadi Sahabat, bukan musuh, Apabila kita memahami bagaimana Langkah menggunakannya dengan bijak.

Mungkin Anda Menyukai