Genderang Menkeu

KEINGINAN luhur bangsa ini agar Pemilu 2024 berkualitas, penuh riang gembira, dan mampu mengonsolidasi demokrasi yang bermartabat masih jauh panggang dari api. Penyebabnya ialah elite politik yang memaksakan kehendak dengan mengangkangi hukum dan etika.

Seperti petuah orang tua, awal yang buruk akan berakhir buruk. Pasalnya, keburukan di awal akan ditutupi keburukan-keburukan berikutnya. Hal itu terjadi karena keburukan ialah sebuah tabiat.

Alhasil, tabiat yang buruk akan terwujud dalam praksis politik machevellian, politik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, seperti tertuang dalam Prince (1512), karya Nichollo Machiavelli. Sang Raja, kata Machiavelli, memiliki kewenangan untuk mempertahankan singgasana, tanpa melibatkan moral dan etika politik.

Menjelang pesta demokrasi 14 Februari, langit mendung menggelayuti republik ini. Periode pertama berkuasa, Presiden Joko Widodo ialah tokoh yang dicintai masyarakat. Hingga di ujung jabatan periode pertama, Jokowi-JK masih berada di hati rakyat.

Para periode kedua, Jokowi menggandeng KH Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Hasilnya, perolehan suara Jokowi-Ma’ruf mencapai 85.607.362 (55,50%), sedangkan suara Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 (44,50%). Selisih suara kedua pasangan sebanyak 16.957.123 (11%).

Pada periode kedua alih-alih menjadikan rivalnya, Prabowo, tetap sebagai oposisi, mantan Wali Kota Surakarta itu malah merangkulnya sebagai menteri pertahanan. Gayung bersambut, Prabowo menerima dengan sukacita. Para pendukung mantan Danjen Kopassus itu pun kecele.

Cek Artikel:  Kemerdekaan Hakim Eman

Jurus Jokowi merangkul Prabowo tak sekadar ‘menjaga persatuan’, tetapi juga kemudian menjadikannya berpasangan dengan anak sulungnya yang masih menjabat Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka.

Kegaduhan pada tahun politik tidak saja disebabkan duet Prabowo-Gibran yang ‘dibantu’ putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga sebelumnya soal perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Tetapi, sejumlah pihak menolak gagasan tersebut karena inkonstitusional.

Di tengah silang pendapat wacana perpanjangan jabatan Jokowi, sejumlah pihak berada di garis depan menyokong wacana perpanjangan masa jabatan presiden (tiga periode), yakni Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia yang menggelar deklarasi dukungan terhadap wacana tersebut di Istora Senayan, Selasa (29/3/2022). Pendukung berikutnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.

Kini, duet Prabowo-Gibran melenggang. Segala lembaga survei menjagokannya sebagai pemenang pilpres mengempaskan dua pasangan calon lainnya, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar.

Presiden Jokowi yang awalnya maju mundur terkait dengan netralitasnya dalam Pilpres 2024 pada akhirnya tak kuasa menutupi kegalauannya setelah melihat hasil sigi yang tidak mencapai 50%. Pergerakan paslon 02 terpaku pada angka 45%-47% sehingga target untuk memenangi kontestasi dalam satu putaran bakal nihil. Padahal, approval rating Jokowi menembus 82%.

Cek Artikel:  Ampun Enggan, Mundur tak Hendak

Jokowi pun mulai berani angkat bicara terkait dengan sikapnya karena hal itu sesuai dengan Pasal 299 UU No 7 Pahamn 2017 tentang Pemilu. “Itu hak demokrasi setiap orang, setiap menteri sama saja, presiden itu boleh, lo, kampanye. Presiden boleh, lo, memihak,” kata Jokowi di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1).

Kendatipun protes dari segala penjuru menguar, mantan Gubernur DKI itu pantang mundur dengan sikapnya di atas meski masih malu-malu untuk menggendong sang anak dalam pilpres.

Para tokoh bangsa mengkhawatirkan, jika Jokowi berpihak ke 02, seluruh aparaturnya, TNI, Polri, dan ASN, bisa mengikuti jejaknya. Bahkan, KPU dan Bawaslu pun akan gamang menyikapinya jika ada masalah.

Demi ini saja, kasus-kasus dugaan ketidaknetralan aparatur sudah bermunculan. Belum lagi praktik lancung politisasi bansos untuk paslon tertentu. Sebaiknya Jokowi memang tampil sebagai seorang negarawan. Pemimpin yang mendahului kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan keluarga dan kelompok politiknya.

Cek Artikel:  Jalan Mundur Manufaktur

Kini suara perlawanan muncul dari dalam kabinet. Sosok yang jauh dari ingar bingar kontestasi Pilpres. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan kepada jajaran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk menjaga netralitas dalam Pemilu 2024.

“Pahamn pemilu jaga sikap kita, netralitas itu adalah sesuatu yang sudah menjadi keharusan. Anda bisa punya preferensi apa saja lakukan pada saat Anda di kotak suara. Itu adalah value yang menunjukkan bahwa kita sebagai manusia diatur oleh undang-undang dan diatur oleh tata krama,” tutur Menkeu pada Rapat Kerja Pimpinan DJBC, di Sentul, Bogor, Rabu (24/1).

Pernyataan Mba Ani, sapaan akrabnya, seperti oase di tengah kegersangan kontestasi politik yang menelenggelamkan etika. Politik yang berorientasi elektoral, mengumpulkan pundi-pundi suara, tanpa menjaga kepantasan dan kepatutan berpolitik.

Siraman moral dari menteri ekonomi terbaik se-Asia itu sejatinya ialah high politics, tak hanya untuk anak buahnya, tetapi juga bonum commune untuk tetap merawat kebangsaan dan keadaban sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Apakah pernyataan Menkeu sebagai ‘hilal’ sayonara dari Kabinet Indonesia Maju? Wallahu a’lam. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai