NAMANYA Gendari. Dia seorang istri yang sangat setia kepada suami, tetapi sakit hati dan dendam kelewat tinggi dalam dirinya membuat arah kehidupan salah jalan. Kasih sayang berlebihan kepada putra-putranya pun memicu ontran-ontran dalam suksesi kekuasaan.
Gendari bukan orang beneran. Ia hanya bagian dari wicarita kuno India bertajuk Mahabharata. Penggemar kisah Mahabharata kiranya paham siapa dia karena sekuelnya pernah ditayangkan salah satu televisi swasta secara berseri. Di sini, di negeri ini, Gendari dikenal sebagai salah satu tokoh pewayangan.
Gendari ialah putri Prabu Suwala, raja negara Gandaradesa atau dalam dunia pedalangan Jawa disebut Plasajenar. Dia mempunyai empat saudara, yakni Gendara, Sakhuni atau Sengkuni, Surabasata, dan Gajaksa.
Gendari menikah dengan Prabu Drestarastra, raja Astina putra Begawan Abiyasa. Sekilas, perjalanan hidup Gendari biasa saja. Mantappa dengan putri-putri raja lainnya yang biasanya juga mendapatkan pasangan hidup dari kalangan bangsawan.
Tetapi, soal jodoh itulah sebenarnya awal kekacauan, asal dendam kesumat, mulainya sakit hati, yang berujung konflik besar dalam perebutan kekuasaan. Gendari benci setengah mati kepada Pandu Dewanata. Pandu ialah raja agung Astina, adik Drestarastra.
Alkisah, suatu ketika Pandu memenangi sayembara pilih Dewi Kunti, putri Mandura, dengan mengalahkan Narasoma dari Mandaraka. Bahkan, Narasoma kemudian juga memberikan adiknya yang cantik, Madrim.
Di tengah perjalanan pulang, Pandu bertemu rombongan dari Gandaradesa, yakni raja muda Gendara, Gendari, dan Sengkuni. Mereka juga ingin mengikuti sayembara di Mandura, tetapi sudah terlambat. Meski begitu, Pandu yang bijak memberikan kesempatan kepada Gendara untuk menghadapinya jika ingin mendapatkan Kunti. Singkat cerita, Gendara kalah, bahkan tewas.
Sengkuni atau Suman atau Trigantalpati yang juga kepincut Kunti pun menantang Pandu. Tetapi, kesaktiannya tak ada apa-apanya. Dia menyerah, malah kemudian mengabdi dengan janji setia kepada Pandu. Gendari yang terpikat oleh Pandu diboyong pula ke Astina.
Gendari tentu bersukacita. Hati wanita mana, coba, yang tak berbunga-bunga jika diperistri Pandu, raja besar sakti mandraguna yang kaloka ing jagat, terkenal di seluruh jagat. Akan tetapi, kegembiraan Gendari berubah menjadi kekecewaan yang amat sangat. Dia murka karena oleh Pandu justru diberikan kepada kakaknya, Drestarastra.
Drestarastra memang keturunan raja, tetapi fisiknya tak sempurna. Dia cacat mata, tunanetra, tak bisa melihat. Karena itulah, takhta Astina diserahkan kepada sang adik, Pandu.
Sebagai seorang putri raja, Gendari merasa dipermainkan, dipermalukan. Sejak itulah, dia memendam dendam kepada Pandu. Dendam yang celakanya diturunkan kepada keturunannya. Dari situ pula perseteruan antara Pandawa, trah Pandu hasil perkawinannya dengan Dewi Kunti, dan Kurawa, anak-anak Drestarastra dengan Gendari bermula.
Dengan hati berkarat dendam, Gendari tiada henti berupaya agar anak-anaknya yang berjumlah 100 dengan si sulung Duryudana menjadi penguasa Astina. Ketika Pandu meninggal dan Drestarastra menjadi raja sementara, dia bersemangat meracuni sang suami untuk menyerahkan takhta kepada anaknya. Padahal, kursi Astina-1 merupakan hak Puntadewa.
Gendari tak sendirian. Sang adik, Sengkuni, juga gigih menghasut kakak iparnya untuk mewariskan kekuasaan kepada Duryudana. Sebagai seorang paman, dia agih-agih kungkung, kelewat baik, sangat murah hati.
Saking baiknya kepada keponakan, Sengkuni tak segan berlaku licik, tak jarang bertindak curang. Dia pintar akal-akalan, gemar merusak paugeran, tak ragu mengutak-atik tatanan, agar kekuasaan Astina menjadi milik Duryudana dan adik-adiknya. Agar dinasti politik kakak perempuannya, Gendari, berkelanjutan.
Berkat hasutan Gendari dan Sengkuni, Drestarastra akhirnya menyerah. Dia pasrah meski memendam rasa bersalah kepada mendiang adiknya, juga para keponakannya. Perebutan kekuasaan itu harus diselesaikan dengan perang habis-habisan Baratayuda di Padang Kurusetra. Perang tak terhindarkan sebab Kurawa yang didukung penuh ibu dan paman mereka berkukuh mengangkangi Astina.
Konon, wayang menggambarkan dinamika dunia nyata. Katanya, pakeliran mewakili pergelaran hidup manusia. Tak sekadar tontonan, wayang juga tuntunan. Terdapat pelajaran baik di sana, ada contoh buruk dalam cerita-ceritanya.
Dalam banyak versi dan lakon wayang, Gendari dan Sengkuni ialah contoh buruk. Lantaran dendam, sakit hati, ambisi akan kekuasaan, dan kasih sayang yang kelewat batas kepada anak dan keponakan, mereka melakukan hal-hal yang merusak. Jangan-jangan orang bertabiat seperti itu juga ada di antara kita.