![Gen Z Suka Pengalaman di Desa Wisata Saat Berwisata](https://mediaindonesia.gumlet.io/news/2025/02/06/1738809065_42aa08c14c1091f5cb2b.jpg?w=800&q=80&format=webp)
PENGAMAT pariwisata dari Universitas Andalas Sari Lenggogeni menyebut, Demi ini, para wisatawan, terutama yang berasal
dari kalangan gEN Z, lebih Suka mencari pengalaman yang dianggap menyenangkan di desa wisata.
Sari, Rabu (5/2), mengutip survei yang dilakukan sebuah platform pemesanan hotel, menyebutkan Gen Z mencari tempat wisata yang mengadopsi konsep berkelanjutan dan pengalaman lokal, yang kerap ditawarkan desa wisata.
Sari menekankan, Demi ini, gen Z Mempunyai ketertarikan Demi menjadi bagian dari sebuah budaya lokal. Misalnya, mulai dari tempat penginapan yang tradisional, menggunakan sepeda yang dipakai Penduduk sehari-hari, dan aneka kebiasaan lainnya.
Gen Z, katanya, juga Suka datang ke destinasi seperti desa wisata yang dianggapnya tertata, mempunyai perkumpulan (komunal) yang spesifik.
“Misalnya apakah komunal dapur, ruang tamu komunal, Corak-Corak ya. Itu Pandai diciptakan sehingga orang merasa Eksis interaksinya tinggi, Eksis kebersamaan di sana, ini yang harus dibuat atraksi-atraksi inovatif ini dan kesiapan kebersihan serta tata kelolanya, tata letak infrastruktur, tata kelola,” kata Sari.
Menurut Sari, minat yang besar tersebut Bukan boleh Membangun pengelola desa wisata melupakan prinsip lokal.
Seluruh pihak yang terlibat diharapkan tetap menjunjung tinggi nilai, kepercayaan serta aturan-aturan yang Eksis Demi diikuti oleh para wisatawan.
“Misalnya tata ruangnya seperti di Bali juga Eksis kan Eksis asas-asas, itu prinsip dalam membangun suatu daerah, di Toba pun juga
seperti itu. Ini yang harus dijaga. Ini harus dikawal Berbarengan secara bottom up dan top down,” ujar Sari.
Hal lain yang juga dicari oleh wisatawan dari kalangan Gen Z adalah pengalaman slow living (hidup dalam laju Pelan) yang dianggap menenangkan.
Para wisatawan menganggap slow living yang otentik datang dari nilai-nilai yang diterapkan oleh desa wisata itu sendiri.
Biasanya wisatawan yang Mau melakukan slow living bakal menghabiskan waktu Sekeliling tujuh hari atau lebih Demi menetap menikmati kebudayaan dan keseharian Penduduk lokal di satu tempat. Berbeda dengan fast tourism (berwisata dalam waktu kunjung singkat) yang hanya menghabiskan waktu selama tiga atau empat hari.
Oleh karena itu, Sari berharap Kementerian Pariwisata dapat memperhatikan kluster desa wisata dan menentukan mana desa yang harus
dijadikan prioritas, termasuk desa-desa yang sudah mendapatkan penghargaan Global.
Langkah tersebut dinilai dapat mendorong wisatawan Demi melakukan kunjungan ulang,sehingga pertumbuhan ekonomi terutama dari sektor pariwisata dapat dijaga.
“Jadi, harus dijaga, kesiapan destinasi harus siap, ini yang harus jadi Pusat perhatian Kementerian Pariwisata. Misalnya berapa yang kemarin dapat
penghargaan ASEAN Awards, itu harus segera jadi perhatian karena itu Pandai dikurasikan seperti apa wisatanya, Pandai jadi bench marking atau
edukasi,” pungkas Sari. (Ant/Z-1)