PAUS Fransiskus telah meninggalkan Indonesia, kemarin, setelah melakukan kunjungan selama tiga hari, dari Selasa (3/9) sampai Jumat (6/9). Pemimpin Gereja Katolik dunia itu melanjutkan perjalanan apostoliknya ke Papua Nugini.
Meski Paus Fransiskus telah meninggalkan Indonesia, pesan-pesan keteladanan dan kesederhanaan darinya masih terus bergema. Bahkan, pesan-pesan tersebut penting untuk jadi bahan renungan dan ditindaklanjuti pemimpin bangsa ini. Terutama terkait dengan situasi demokrasi dan politik di Tanah Air saat ini, yang dalam berbagai survei, indeks demokrasi kian memburuk belakangan ini.
Pernyataan Paus soal adanya ketegangan lantaran pihak berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka merupakan sentilan buat politisi dan penguasa negeri ini. Upaya untuk melanggengkan kekuasaan yang dilakukan dengan memorak-porandakan demokrasi, apa pun mesti diakhiri.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Dalam beberapa bulan terakhir, rakyat negeri ini seperti disajikan riuh rendah upaya elite pemegang kekuasaan untuk memperpanjang pengaruh kekuasaan dengan melakukan manuver melalui berbagai cara. Termasuk dengan meluncurkan undang-undang kontroversial untuk mempertahankan cengkeraman kekuasaan, seperti rencana meluncurkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk menghindari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Upaya untuk memukul mundur demokrasi juga terlihat secara kasatmata dengan melakukan berbagai prakondisi agar partai politik satu suara untuk menentukan calon-calon kepala daerah. Akibatnya, hanya ada satu kelompok koalisi yang berkuasa sehingga mudah menentukan segalanya.
Kedatangan Paus ke Indonesia juga secara sangat kebetulan bertepatan menjelang digelarnya pesta besar Pilkada Serentak 2024 yang akan digelar pada 27 November nanti.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Maka, bukan tidak kebetulan juga jika Paus mengingatkan bangsa Indonesia untuk senantiasa menjaga keragaman. Eksis lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa, yang harus dijaga. Karena itu, tidak salah Paus sangat mengagumi semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Paus sangat tidak menginginkan terjadinya pertikaian bahkan pertumpahan darah di antara suku-suku tersebut, seperti yang banyak terjadi di sejumlah negara. Paus pun dengan tegas menyatakan mendoakan kedamaian Indonesia.
Kehadiran Paus kembali mengingatkan bangsa kita untuk kembali ke demokrasi sesungguhnya. Bahwa dalam tubuh demokrasi, kekuasaan ada di tangan rakyat. Penguasa adalah pelayan rakyat. Bukan penguasa rakyat. Apalagi, menjadi penekan atau penindas rakyat.
Pesan Paus agar setiap konflik dan perselisihan diselesaikan lewat dialog juga perlu direnungkan oleh para elite dan pemimpin negeri ini. Banyak peristiwa konflik penguasa dengan rakyat berujung pertumpahan darah. Kasus Rempang, contohnya.
Dengan kedatangan Paus, kita berharap para elite, penguasa, partai politik, dan rakyat di negeri ini bisa mengambil hikmah dan meresapi pesan-pesannya, juga meneladani aksi nyata dari pemimpin tertinggi umat Katolik itu. Tentu juga menerapkannya dalam kehidupan berdemokrasi menuju Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.