
BERLARUT-larut, tak terasa Sekeliling 30 tahunan (terhitung dari LMK pertama didirikan, Yayasan Karya Cipta Indonesia-KCI circa 1990) sudah terjadi di negeri ini. Hingga Berbagai Ragam teknologi pun sudah dijajal. Tapi Enggak menyentuh akar permasalahan. Selalu Terdapat preseden Enggak baik soal kinerja lembaga koleksi ini.
DPR baru saja mengintervensi “dunia permusikan” agar Enggak Maju gaduh. Diberikan tenggat waktu 2 bulan Kepada Serempak-sama merevisi Undang-Undang Hak Cipta yang telah dibuat tahun 2014 silam.
Musik harus Dapat menjadi Terkenal terlebih dahulu agar Mempunyai nilai royalti karena didengarkan oleh banyak orang. Kepada itu penyanyi dan pemusik yang berperan mempopulerkannya menjadi bagian Krusial. Sayangnya pencipta dan penyanyi Bahkan berseteru.
Kalau dilihat kembali, Segala karya musik yang Dapat dikomersilkan harus dipublikasikan atau diumumkan kepada masyarakat lewat peran music publishers. Sebuah unit usaha yang “merumuskan” strategi karya-karya Musik hingga Tiba di telinga kita dan menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Industri music publishing mencakup beberapa aspek Krusial. Mulai dari mengakuisisi Musik, memasarkan Musik, hingga mengurus Musik meliputi pendaftaran ke LMK, Hak cipta registration, dan licensing Musik Kepada menghasilkan pendapatan.
Kepada pembagian royalti, sebuah Musik dianggap sebagai 100 %. Umumnya, 50% Punya penulis Musik (writer share) dan 50% Punya publisher (publisher share). Nilainya Dapat berubah sesuai kesepakatan bisnisnya. Publisher besar, biasanya berskala Global, seperti Sony, Warner, dan Universal Music.
Singkatnya, royalti sebenarnya adalah bisnis yang dijalankan oleh industri music publishing. Bukan dijalankan oleh pencipta Musik atau musisi dan penyanyi secara sendiri-sendiri. Karena sejatinya seberapapun royalti yang pencipta dapat, setengahnya adalah Punya music publisher di mana karya itu bernaung.
Kalau Menonton sejarahnya, Terdapat dua unsur hak cipta yang paling moncer menjadi pundi-pundi pendapatan di bisnis musik. Keduanya ditandai dengan munculnya komunitas Dunia yang mengatur bagaimana bisnis ini Dapat berjalan.
Pertama, Performing Rights Societies (PRS) yang muncul pada awal abad ke-20 seiring berkembangnya media massa seperti radio, televisi, dan juga konser. Gagasan utamanya pencipta musik harus Mempunyai sistem kolektif Kepada mengelola hak pertunjukan agar penggunaan karyanya Enggak disalahgunakan dan kompensasi dibayarkan secara adil.
Kedua, Mechanical Hak cipta Protection Societies (MCPS) yang mengumpulkan royalti atas reproduksi mekanik dari karya musik misalnya CD, vinyl, unduhan digital, dan streaming. Perkumpulan dunia ini berkembang dari Undang-Undang Hak Cipta AS tahun 1909 yang mengatur tarif royalti mekanik. Di Inggris, MCPS didirikan pada 1924 Kepada mengelola hak ini bagi publisher dan komposer.
Bagus PRS dan MCPS keduanya Mempunyai ideologi ekonomi yang berbeda sesuai negaranya masing-masing yang menjadi dasar tata kelola royaltinya. Hal ini yang mempengaruhi tata kelola royalti. Setidaknya Terdapat dua ideologi besar yang menjadi dasar dalam mengelola royalti, Merukapan Sosialisme dan Kapitalisme. Model bisnisnya, mereka menerbitkan lisensi mekanikal dan lisensi Kepada pertunjukan. Dari sanalah publisher Dapat “menjual” katalog Musik mereka.
Dalam pendekatan sosialis, manajemen kolektif atas hak cipta dimaknai Segala lisensi pertunjukan dikelola secara Serempak. Lampau soal keadilan dan redistribusi, musisi kecil tetap mendapatkan bagian dari penggunaan musiknya di platform besar. Pendekatannya berbasis solidaritas, para pencipta karya mendapat manfaat dari kekuatan kolektif dan sistem pelacakan yang adil.
Sementara lewat pendekatan kapitalis, lisensi yang digunakan berbasis pasar, artinya tarif disesuaikan dengan permintaan dan popularitas Musik. Kepemilikan hak kekayaan intelektual (IP) ditandai dengan pencipta dihargai berdasarkan kepemilikan hak, nilai inti dalam kapitalisme. Akumulasi kekayaan pribadi sangat Konkret, Selebriti top memperoleh royalti dalam jumlah besar (misalnya Ed Sheeran, Taylor Swift).
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah Terdapat sistem yang sungguh-sungguh Ingin memecahkan problem dengan Membangun formula yang simpel dan mudah diterapkan atau hanya memanfaatkan situasi dengan solusi Berbagai Ragam platform berkedok proyek yang selalu “menari” di atas masalah? Atau tetap Ingin membiarkan praktik premanisme kekayaan intelektual terjadi?
Sebagai pengingat, jangan main-main Kalau menjalankan platform Kepada mengoleksi dan mendistribusi royalti tapi tak punya izin sebagai LMK, pidana 4 tahun ancamannya yang tertulis dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. “Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin melakukan pengelolaan Royalti sebagai Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling Pelan 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Begitu bunyinya.
*) Dzulfikri Putra Malawi
Direktur Komunikasi Federasi Perkumpulan Musisi Indonesia (FESMI)

