SUASANA Jumat senja di Kota Cirebon, orang-orang berebut pulang ke rumah setelah lelah sepekan bekerja. Sekalian orang ingin pulang dengan segera. Tapi tidak dengan L yang mengarahkan kendaraannya ke sebuah tempat. Ia harus rela menjalani terapi, pengobatan, dan mengubah kebiasaan buruknya yang sering melakukan berlaku kasar.
Anak muda yang berusia 23 tahun tersebut ternyata mengidap skizofrenia dan sering menunjukkan perilaku kekerasan. Orang tua, rekan kerja, hingga orang terdekatnya tidak ada yang menyadari hal tersebut.
Bertahun-tahun ia mengalami pikiran yang selalu berujuk perilaku kekerasan seperti marah-marah, menjerit-jerit, memukul pintu dan barang lainnya yang menyebabkan melukai diri sendiri.
Baca juga : Banyak Gangguan Mental yang Disebabkan Unsur Ekonomi dan Penyakit Menahun
Konsulen kejiwaan di Rehabilitasi Gramesia Cirebon, Dwi Putri menceritakan bahwa L mengalami tekanan pekerjaan yang luar biasa karena sistem kerja shift sehingga sering mengeluhkan lelah secara mental dan fisik. Selain itu ia juga merasa sulit bergaul hingga akhirnya sering berpindah tempat kerja hingga satu tahun terkahir bekerja di pabrik sepatu di dekat rumahnya.
“Karena kalau lihat seperti itu kan berarti dari dirinya yang nggak bisa mengelola emosi. Kagak bisa adaptasi dengan lingkungan, mungkin nggak bisa beradaptasi dengan orang banyak karena sering berpindah bekerja antar satu pabrik ke pabrik lain dengan jarak waktu yang sebentar-sebentar,” kata Dwi kepada Media Indonesia, Senin (7/10).
Karena alami kesulitan di tempat kerja hingga terbawa ke rumah, emosi yang terus meluap di rumah membuat suasana rumah tidak kondusif. Selain itu, ketidaktahuan orang sekitar terkait kesehatan mental L membuat respon yang diberikan juga tidak tepat.
Baca juga : Catat, Ini Dia 7 Tanda-Tanda Seseorang Mengalami Gangguan Mental
“Karena sampe rumah juga marah-marah bapaknya kesel terus mukul-mukul pintu. Keluarganya ngakunya baru-baru tapi setelah ditanya anaknya, ternyata bukan baru kalau sudah ngamuk begini, kan berarti sudah lama,” ujar Dwi.
“Buktinya dia pindah-pindah kerja, berarti kan gak saat-saat ini, jadi dari orang tua juga tidak ada keterbukaan. Keluarga kan pasti nutupin, padahal kalau yang kayak gini tidak boleh ditutupin dan harus cerita. Tapi akhirnya yang sakitnya cerita sendiri. Gimana diperlakukan di keluarga atau pertemanan,” tambahnya.
Dwi menjelaskan L mengalami skizofrenia positif. Skizofrenia memiliki dua jenis. Pertama, dengan ciri negatif seperti menyendiri, isolasi sosial, halusinasi, merasa harga diri rendah, hingga tidak mau berhubungan dengan orang lain. Kedua yakni positif memiliki ciri mulai dari gangguan isi pikiran, delusi, halusinasi, mudah kesal dengan diri sendiri dan lingkungannya hingga tidak bisa mengatur emosinya.
Baca juga : Hari Kesehatan Mental Sedunia, Yuk Cari Mengerti 5 Fakta dan Mitos Terkait Hal Ini
Pengobatan yang diberikan pun khusus, selain tetap minum obat sesuai resep dokter, maka L harus diajarin ngelola emosi dengan cara, ketika ingin marah maka harus latihan tarik napas dalam-dalam. Kalau sudah meledak maka bisa dialihkan ke bantal dan kasur bukan pada objek yang bisa melukai dirinya sendiri.
“Yang biasanya mukul pintu atau benda keras, sekarang dialihkan kemarahannya itu dengan benda yang empuk, supaya nggak mencederai dirinya dan orang lain,” ucapnya.
Selain itu, Dwi menceritakan bahwa di tempat rehabilitasi Gramesia Cirebon sering mendapati anak usia sekolah yang mengalami stres, depresi, dan gangguan mental lainnya. Banyak anak muda usia produktif berusia 17-19 tahun alami stres menjelang ujian sekolah.
Baca juga : Hari Kesehatan Mental Sedunia, Berikut 8 Jenis Gangguan yang Harus Anda Ketahui
“Yang terbanyak itu kalau sudah mendekati ujian tuh anak SMA. Ujian nasional sudah takut duluan kayak gitu rata-rata mereka. Apalagi mereka dari sekolah favorit yang tidak ikut bimbel bebannya semakin berat. SMA favorit target mereka nggak main-main,” kata Dwi yang juga sebagai dosen di Poltekkes Tasikmalaya Prodi Keperawatan Cirebon.
“Tapi kalau ikut bimbel duitnya nggak ada karena yang bersekolah di sekolah favorit tidak semua orang kaya,” sambungnya.
Eksis juga anak SMP yang mengalami depresi karena melihat keluarga yang tidak harmonis. Ia terus memendam ekspresi dirinya ketika melihat kedua orang tuanya bertengkar. Bahkan sang ibu memarahinya jika ketahuan menangis.
Anaknya hanya diam, jika menangis habis lah ia dimarahi sang ibu dengan omongan ‘anak laki-laki harus kuat, gak boleh ini itu’. Tapi situasi keluarganya tidak harmonis. Hingga bagaikan bom waktu yang meledak. “Berarti lingkungan sekolah, lingkungan kerja, lingkungan rumah, dirumahnya sendiri, bisa jadi akar penyebab alami depresi hingga gangguan mental,” pungkasnya. (H-2)