Fulus Kuliah Tersier

DRAMA meroketnya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN) berakhir antiklimaks dengan pembatalan naiknya UKT setelah Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, kemarin.

Pembatalan UKT, kata Mas Menteri, dilakukan setelah mendengarkan aspirasi para pemangku kepentingan. Dia menjamin tidak ada mahasiswa yang akan terdampak pada UKT tahun ini. Apabilapun ada penaikan UKT, hal itu berlaku pada tahun depan. Penaikan UKT, kata Nadiem, lagi-lagi harus berdasarkan prinsip keadilan dan kewajaran.

Masalah UKT yang selangit mendapat sorotan dari berbagai kalangan, termasuk presiden terpilih Prabowo Subianto. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta, Prabowo menyatakan perguruan tinggi yang dibiayai negara seharusnya menetapkan UKT yang rendah, bahkan kalau perlu digratiskan.

Setali tiga uang, Rakernas PDIP dalam salah satu rekomendasi meminta kepada pemerintah untuk menurunkan UKT dengan merevisi Permendikbud-Ristek Nomor 2 Mengertin 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbud-Ristek.

Sebelumnya, sejumlah PTN baik yang sudah berbadan hukum (PTN-BH) atau belum menaikkan UKT sesuka hati bak ‘kapal keruk’. Bahkan, penaikannya hingga lima kali lipat.

Cek Artikel:  Demokrasi tanpa Kontestasi

Dua kampus yang menjadi sorotan karena menaikkan UKT dan iuran pengembangan institusi (IPI) secara signifikan hingga memicu unjuk rasa ratusan mahasiswa ialah Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, dan Universitas Riau. Demontrasi juga terjadi di beberapa PTN lainnya, termasuk PTN di bawah Kementerian Keyakinan.

Dalam menyikapi penaikan UKT itu, pihak Kemendikbud-Ristek dan rektorat terkesan saling lempar tangan. Mereka merasa benar dengan posisi masing-masing. Demikian pula Komisi X DPR yang membawahkan bidang pendidikan bertindak seperti pemadam kebakaran. Mereka baru memanggil Menteri Nadiem Makarim setelah ada gonjang-ganjing UKT.

Padahal, permasalahan biaya kuliah selangit itu terjadi setiap tahun sejak PTN-BH diberlakukan pada 2012 seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Mengertin 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Di tengah maraknya demonstrasi mahasiswa di sejumlah kampus, Plt Sekretaris Ditjen Dikti Kemendikbud-Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie bikin heboh. Dia menyatakan kuliah sebagai pendidikan tersier alias pilihan atau tidak wajib. Argumennya, kata dia, pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun, yakni dari SD, SMP, hingga SMA.

Cek Artikel:  IwanBuleOut

Kas saja pernyataan pejabat yang menangani pendidikan tinggi itu mendapat kecaman dari berbagai pihak karena dianggap tidak memiliki empati terhadap mencuatnya UKT yang meresahkan mahasiswa baru.

Pernyataan itu dinilai ‘buang badan’ dari ketidakmampuan Kemendikbud-Ristek mengatasi kekisruhan UKT yang selalu berulang. Padahal, berdasarkan Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No 12 Mengertin 2012 tentang Dikti, mendikbud-ristek bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi meliputi pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi.

Penaikan UKT dan IPI yang ugal-ugalan sangat paradoks dengan keinginan pemerintahan kedua Jokowi yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia setelah pada periode pertama Jokowi memusatkan programnya pada pembangunan infrastruktur.

Terlebih pemerintah mencanangkan Indonesia emas pada 2045. Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara maju dan sejajar dengan negara adidaya dalam usia 100 tahun alias seabad tersebut. Kemajuan Indonesia harus dicapai dengan sumber daya manusia yang unggul, berkualitas, dan berkarakter.

Pendidikan ialah amanat konstitusi. Para pendiri bangsa menyatakan pendidikan merupakan kewajiban negara, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Cek Artikel:  Dedolarisasi

Kini, sebanyak 21 kampus berstatus PTN-BH. Mereka harus benar-benar memenuhi kualifikasi sesuai Pasal 2 ayat 1 Permendikbud Nomor 4 Mengertin 2020 tentang Perubahan PTN Menjadi PTN Badan Hukum, di antaranya memenuhi standar minimun kelayakan finansial.

Mendapatkan sumber pendanaan dengan jurus ‘berburu di kebun binatang’ seperti menaikkan UKT dan IPI siapa pun bisa tanpa perlu bergelar doktor plus guru besar.

Status PTN-BH sebenarnya memperoleh banyak keistimewaan untuk menciptakan diversifikasi sumber pendapatan, seperti Universitas Harvard. Dengan demikian, PTN-BH kampus memiliki kemandirian baik akademis ataupun nonakademis.

Kuncinya ialah kepemimpinan kampus harus autentik. Pemimpin kampus seharusnya sosok ‘orang besar’ yang memiliki kemampuan dan tekad yang besar, out of the box, rekam jejak yang baik, demokratis, berintegritas, dan menginspirasi. Dia bukan sosok ‘pembesar’ yang meraih jabatan di kampus karena ‘ordal’ alias koneksi politik, menyuap, atau dropping pejabat tinggi. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai