KUNJUNGAN Paus Fransiskus ke Indonesia (3-6 September 2024) menjadi peristiwa berharga untuk merenungkan kembali keindonesiaan kita. Kehadiran Paus Fransiskus sebagai pemimpin spiritual yang mengedepankan dialog, kasih, dan keadilan sosial memberikan dorongan moral yang kuat bagi bangsa ini untuk meneguhkan komitmen pada nilai-nilai luhur keindonesiaan. Kunjungan itu bukan sekadar peristiwa simbolis, melainkan sebuah panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk kembali kepada prinsip-prinsip awal (fitrah) yang telah mengikat kita sebagai satu kesatuan ‘bangsa-negara’ Indonesia.
Momentum itu juga berkenaan dengan tapak perjalanan bangsa kita yang baru memasuki usia ke-79. Di titik itu, memoria komunal kita terhubung pada iktikad dan prinsip awal melahirkan bangsa ini. Di titik itu, kita dihadapkan pada kesempatan merenungkan kembali fitrah keindonesiaan. Fitrah keindonesiaan bukan sekadar jargon politik. Keindonesiaan niscaya merujuk pada konsensus luhur kita dalam mengakui keragaman budaya, membangun keadilan sosial-ekonomi, dan memperkuat politik kerakyatan (demokrasi). Tetapi, dalam bentangan perjalanan sejarah ini, Indonesia telah mengalami berbagai bentuk dinamika kebudayaan, politik, dan sosial. Keluhuran ‘titik mula’ keindonesiaan menghadapi banyak keguncangan. Dengan itu, kita perlu menghirup kembali nilai-nilai fundamental awal keindonesiaan.
Baca juga : Paus Fransiskus dan Teologi Pembebasan
Mozaik keberagaman
Keberagaman budaya ialah salah satu keutamaan keindonesiaan. Indonesia ialah rumah besar bagi ribuan suku dan bahasa. Dalam terang studi klasik Geertz (1973), keberagaman mencerminkan sejarah panjang interaksi dan integrasi sosial di Indonesia. Studi Geertz mengafirmasi kekuatan utama Indonesia yang terletak pada kemampuan awal menyatukan berbagai identitas sosial-budaya ke dalam kesatuan nasional. Kesatuan nasional menjadi mozaik keberagaman. Hal itu tidak hanya memperkaya masyarakat, tetapi juga memberikan landasan yang kukuh untuk membangun toleransi dan mutual understanding antarruang sosial di Indonesia.
Tetapi, keindonesiaan juga menerima berbagai macam hantaman. Pertama, bangsa ini acap kali menghadapi ‘kisruh-konflik’ sosial dan politik serius. Pertentangan semacam itu merenggangkan simpul-simpul kebersamaan sosial. Kedua, globalisasi dan arus informasi mengikis identitas kita. Tantangan terbesar saat ini ialah bagaimana bangsa ini mempertahankan keseimbangan antara identitas keindonesiaan dan penetrasi pengaruh global. Pada aras persoalan ini, kita memerlukan pendekatan berkelanjutan untuk mengembangkan legasi keberagaman budaya.
Baca juga : Kedatangan Paus Fransiskus ke Tanah Air Ditunggu Segala Keyakinan
Kunjungan Paus Fransiskus mengingatkan kita akan urgensi merawat mozaik keberagaman Indonesia. Sebagai sosok global yang senantiasa mendorong dialog lintas budaya dan antaragama, Paus Fransiskus menginspirasi kita untuk terus menghidupkan semangat persatuan dalam keragaman di bumi Indonesia. Dalam konteks globalisasi, Paus Fransiskus senantiasa memunculkan alarm yang menjadi pengingat akan pentingnya mempertahankan identitas nasional sembari membuka diri terhadap dunia.
Visi keadilan
Baca juga : Kunjungan Paus Fransiskus Momentum Tumbuhkan Kepedulian Pada Grup Marginal
Visi sosial-ekonomi dari fitrah keindonesiaan menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam distribusi sumber daya, kesempatan, dan kesejahteraan sosial. Indonesia memang telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, tetapi ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah serius.
Situasi itu menumpulkan daya saing Indonesia dalam konstelasi global sembari memunculkan kecemburuan sosial antarwarga. Bangsa ini perlu membumikan visi keadilan sosial dengan memperkecil kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.
Memang, telah banyak paket program pemerintah meluncur dengan tekad mengikis kemiskinan yang saban waktu menyelimuti masyarakat. Tetapi, bangsa ini masih harus menempuh jalan-jalan progresif untuk memastikan setiap warga negara mendapatkan akses yang adil terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi.
Baca juga : Organisasi Anak Muda Antusias Sambut Kedatangan Paus Fransiskus
Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus dikenal secara internasional sebagai sosok yang berusaha memenangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dalam suara kegembalaannya. Dengan itu, kunjungan Paus Fransiskus menjadi inspirasi bagi kita untuk meneguhkan visi keadilan sosial. Terutama, Paus Fransiskus menekankan pentingnya perhatian terhadap yang lemah dan terpinggirkan, yang selaras dengan upaya Indonesia untuk mengurangi ketimpangan.
Pilar politik
Demokrasi dianggap sebagai instrumen politik dalam menggaransi keberlanjutan keberagaman budaya dan manifestasi keadilan sosial. Di kekinian, sejak reformasi 1998, demokrasi kita memang mengalami perkembangan signifikan.
Urgensi reformasi politik yang mendalam berpeluang menjamin efikasi demokrasi. Dua aspek yang saling mengandaikan amat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ini. Pertama, pendidikan politik dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses politik dapat menjadi solusi untuk masalah itu. Dengan meningkatkan partisipasi politik, Indonesia dapat memperkuat demokrasi dan merawat kedaulatan rakyat. Kedua, hukum yang berlaku adil dan berada di atas semua kepentingan faksionalistik dapat mendorong budaya politik yang sehat. Pembangunan politik yang bertumbuh di atas dua aspek itu akan menjadi pilar penting bagi manifestasi berlekanjutan fitrah keindonesiaan.
Kehadiran Paus Fransiskus menginspirasi kita untuk memperkuat pilar politik melalui demokrasi yang inklusif dan partisipatif. Paus Fransiskus senantiasa menekankan pentingnya partisipasi aktif setiap individu dalam kehidupan publik yang selaras dengan kebutuhan Indonesia untuk memperdalam reformasi politik. Dengan demikian, kita dapat membangun budaya politik yang sehat dan adil bagi semua.