Fenomena Pelacuran Intelektual dan Mafia Akademik

Fenomena Pelacuran Intelektual dan Mafia Akademik
(Dok. Pribadi)

SEBAGAI dosen, bercita-cita menjadi guru besar atau profesor merupakan hal yang mulia. Hanya saja, dalam meraih cita-cita tersebut menjadi Bukan mulia Kalau mempergunakan segala Langkah, termasuk Langkah-Langkah yang ‘mempergunakan’ Donasi setan. Yakni, meminta Donasi makhluk terkutuk dengan Langkah-Langkah yang sesungguhnya dilarang oleh Religi apa saja.

Fenomena lahirnya para guru besar yang ‘bermasalah’ di hadapan kita merupakan tamparan telak pada etika akademik. Etika yang menjadi fondasi Esensial dan terakhir para pendidik, Rupanya dihantam begitu saja hanya karena Mau menjadi profesor atau guru besar. Kita mengajarkan etika kepada mahasiswa, tetapi Bukan sedikit para dosennya, termasuk profesor bahkan melanggar dengan sengaja. Dikatakan sengaja, karena sesungguhnya sudah mengerti apa yang dilakukan dengan ‘mempergunakan’ Donasi setan merupakan perbuatan dilarang, tapi tetap dilakukan, bahkan dengan bangganya.

MI/Seno

 

Hasrat keangkuhan

Agaknya, hasrat yang demikian tinggi Buat menjadi guru besar, karena dorongan meraih Martabat dan penghormatan yang berlebihan di hadapan para kolega, sesama dosen, mahasiswa, atasan, ataupun memang dengan keangkuhan Mau mengatakan bahwa saya juga dengan mudah dapat menjadi guru besar di hadapan banyak orang di kampusnya, atau di mata banyak pihak di luar kampus sekalipun.

Demi meraih hasrat keangkuhan tersebut, seperti dikatakan Michel Focault, merupakan hasrat kuasa yang tak terbantahkan dan senantiasa hinggap pada setiap orang. Mereka yang tak sanggup menahan hasrat kuasa itulah yang akan mempergunakan segala Langkah Buat memperolehnya. Alasan, setelah mendapatkan apa yang diinginkan, orang tersebut akan berjalan congkak, mempertontonkan kepada yang lain bahwa apa yang dicita-citakan banyak orang akhirnya diraihnya. Bahkan, dapat diraihnya sebelum orang lain Bisa meraih.

Fenomena memperoleh hasrat keangkuhan seperti ini muncul sejak dikatakan bahwa Indonesia, mulai 2004-2009, kekurangan guru besar, sehingga membutuhkan gelontoran profesor agar Bukan terlampau kalah dengan negara-negara seperti Malaysia dan Thailand, apalagi Singapura. Sejak tahun tersebut, program 5.000 guru besar menjadi program unggulan berbagai universitas di Indonesia. Hanya, Bukan memperhitungkan Dampak bagaimana Langkah memperoleh guru besar itu hingga mempergunakan Langkah-Langkah Bukan beretika dan Langkah mulia. Hanyalah kebanggaan bahkan keangkuhan akademik yang menjadi Realita setelah memperoleh gelar guru besar.

 

Melacurkan profesi intelektual

Harkat Harkat gelar guru besar, yang semestinya menjadi derajat terakhir seseorang menempati posisi jabatan akademik tertinggi hingga semakin mulia perbuatan, ucapan, dan sikapnya, sering kali Bukan berbanding lurus. Bahkan Bukan jarang seorang yang Mempunyai gelar guru besar, karena hasrat keangkuhannya, maka terbiasa melakukan tindakan yang sudah sangat Jernih melanggar aturan profesi akademik seperti melacurkan dirinya. Tanpa Mempunyai rasa malu, bahkan bangga melakukan perbuatan yang melanggar etika akademik, sekalipun telah diperingatkan orang lain.

Guru besar melacurkan diri, tentu saja merendahkan Harkat dan harkat jabatan akademik yang menjadi Cita-cita setiap dosen. Guru besar melacurkan diri Dapat jadi karena demi mendapatkan limpahan gelimang harta yang Mau diraihnya sebelum menjadi guru besar. Melacurkan profesi intelektual sebagai guru besar Dapat juga dilakukan seseorang karena jabatan yang didapatkan, dapat dimanfaatkan Buat ‘menindas’ dan memaksa orang lain tunduk kepadanya. Bahkan, melacurkan diri demi jabatan yang Mau diperolehnya.

Cek Artikel:  Asa ke Pemimpin Bangsa di Hari Paru Sedunia 2024

Melacurkan profesi guru besar Dapat juga dilakukan oleh seseorang demi popularitas yang diinginkan, sehingga merasa paling berjasa pada kampusnya karena dianggap sebagai sosok yang paling dapat ‘membantu’ dosen-dosen di kampusnya atau kampus lainnya yang Mau menjadi guru besar. Orang yang merasa dibantu atau kampus yang ‘dibantu’ menjadi tunduk dan Taat pada permintaan sang ‘pembantu di jalan gelap’ sehingga apa pun permintaan dikabulkan. Bahkan, Kalau ‘pembantu di jalan gelap’ melakukan kejahatan dan kesalahan pun akan tetap dibela, demi menjaga agar Bukan terbuka rahasia perbuatan kotornya.

Berbagai jalan melacurkan diri sebagai guru besar, misalnya menjadi ghost writer calon guru besar di kampusnya atau kampus lain di mana terdapat ‘mangsa’ yang Mau segera meraih gelar guru besar. Seseorang yang bernafsu menjadi guru besar demikian menggebu Bukan akan malu dan bergeming memakai jasa ghost writer asalkan gelar guru besar dapat diraih. Dengan demikian, dapat dikatakan antara ‘pembantu’ sebagai ghost writer dan calon guru besar sama-sama andil dalam kejahatan akademik, sama-sama sebagai ‘pelacur akademik’. Satu sebagai penjaja jasa dan satunya pengguna jasa.

Selain sebagai ghost writer, pelacuran profesi guru besar dilakukan dengan menjadi tim percepatan guru besar yang bertugas menjadi ketua atau meminta orang lain Buat segera menuliskan artikel yang harus dikirimkan ke jurnal Dunia bereputasi, sebagai syarat Tertentu seorang dosen yang hendak mengajukan dirinya menjadi guru besar. Oleh karena belum Mempunyai syarat Tertentu, dibentuklah tim percepatan guru besar Buat menuliskan artikel dengan Dalih karena ‘perintah’ atasan seperti rektor, sehingga siapa yang diminta menjadi tim harus melalukan tanpa harus bertanya mengapa harus melakukannya.

Bentuk lain dari pelacuran profesi ialah mengambil, mencuri, dan membegal karya orang lain Lewat diakui sebagai karya sendiri. Dapat saja dilakukan dengan mengganti nama penulis Asli menjadi namanya, dengan memberikan imbalan material, asalkan jangan ‘buka mulut’ bahwa artikelnya telah diganti nama orang lain.

Hal semacam ini Jernih menjadi perbuatan yang berlawanan dengan etika akademik. Tetapi, tanpa Mempunyai rasa bersalah dan rasa malu, tetap Eksis saja guru besar yang melakukannya. Melacurkan profesi dilakukan demi mendapatkan banyak keuntungan dari berbagai pihak, sehingga tanpa tedeng aling-aling, seakan-akan Bukan akan Eksis yang mengetahui, apalagi dengan dalih ‘membantu dosen’, maka Lanjut dilakukan.

Bentuk-bentuk ‘pelacuran profesi’ tersebut Jernih merusak etika akademik. Tetapi, agaknya di beberapa kampus, menjadi ghost writer, menjadi tim penulis siluman atas calon guru besar, bahkan menjadi idola dan dianggap sebagai ‘juru selamat’ kampus dan Kawan sejawat. Oleh karena itu, sama sekali Bukan akan pernah dianggap sebagai bentuk ‘pelacuran profesi’ dan pelanggaran etika akademik. Bahkan, Dapat saja dosen atau kolega yang mempersoalkan akan dianggap sebagai ‘penghalang’ yang harus dilenyapkan.

 

Mafia akademik

Hasrat alias nafsu menjadi guru besar yang demikian menggebu pada akhirnya melahirkan apa yang saya sebut sebagai mafia akademik. Mereka bergentayangan di dunia kampus, di mana para dosen Mau menjadi guru besar. Kampus dipengaruhi dan dijadikan sasaran. Kampus menjadi ‘pasien’ akademik para mafia. Berbagai model mafia akademik dilakukan dengan dalih ‘membantu dosen’ agar menjadi guru besar.

Cek Artikel:  Japan Mobility Show 2023, Setelah Bersalin Nama dan Pusat perhatian

Para mafia meloloskan usulan calon guru besar yang belum memenuhi syarat Tertentu jurnal Dunia bereputasi karena bertindak sebagai penilai calon guru besar. Patut diduga mafia akademik ini mendapatkan ‘imbalan’ dari kampus atau dari seseorang yang mengusulkan guru besar, sehingga sekalipun belum memenuhi syarat Tertentu tetap diloloskan. Tentu saja hal ini mencederai etika akademik pengusulan guru besar. Tetapi, sebagai ‘pasien’ Bukan akan Acuh dengan etika akademik.

Selain meloloskan pengusulan guru besar yang Bukan memenuhi syarat jurnal, Dapat juga menjadi mafia dengan menempatkan orang-orangnya sebagai tim penilai atau sebagai penilai sendiri atas usulan guru besar yang akan ‘bermasalah’ di kemudian hari. Tim penilai atau reviewer atas usulan guru besar, karena telah dikendalikan oleh ‘tim mafia’, maka dengan mudah diloloskan sekalipun syarat Tertentu Bukan dimiliki atau Bukan sesuai. Hal ini terjadi karena telah adanya ‘kesepakatan antarsesama mafia’ Buat meloloskan sang calon guru besar. Sangat mengerikan dan berbahaya bagi dunia kampus.

Kondisi semacam itu, Kalau Lanjut berlangsung di dunia akademik (dunia kampus), maka Bukan mengherankan Kalau kasus-kasus guru besar bermasalah Lanjut bermunculan di hadapan kita. Oleh Alasan itu, sudah saatnya dunia akademik Cocok-Cocok mengembalikan muruah guru besar dengan memberantas ‘pelacur akademik/intelektual’ dan ‘mafia akademik’. Alasan, Kalau Bukan diberantas, akan Lanjut berulang kejahatan demi kejahatan atas nama ‘membantu’ bergentayangan tiada akhir. Semoga Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain, dan Teknologi Kabinet Merah Putih dapat mengembalikan muruah akademik dan muruah guru besar. Dengan begitu, ke depan Bukan Tengah kita dengar Eksis guru besar yang bermasalah secara etika akademik.

 

Skandal akademik

Dalam dua bulan, antara Juli dan Agustus 2024, dunia akademik kita Cocok-Cocok terguncang hebat bagai terkena gempa bumi tektonik. Setelah liputan Majalah Tempo edisi Juli dan Bocor Alus yang menyelisik adanya jejaring para ‘pembuat profesor’, maka layak dikatakan sebagai skandal akademik alias sebagai bentuk patronase akademik mereka yang kebelet menjadi guru besar. Dengan berbagai Langkah, seseorang yang Mau segera menjadi guru besar alias profesor, apa pun jalannya dilakukan dengan menyewa para begundal akademik pun dilakukan.

Skandal akademik ini, setali tiga Fulus dengan apa yang dikatakan sebagai patronase akademik, yakni ketergantungan seseorang kepada orang lain Buat mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang dikejar ialah gelar mercusuar akademik profesor alias guru besar. Sayangnya, para guru besar sering kali mendapatkannya dengan Langkah yang Bukan etis dan melibatkan skandal antara para pencari gelar dan pemerika atau bahkan pemberi gelar. Inilah dunia hukum mafia akademik menjadi Bukan terhindarkan.

 

Rezim scopus

Rezim scopus ibarat kehidupan yang sangat ‘gelap’ dan penuh dengan ‘kekerasan’ sehingga istilah ‘kepiting Meksiko’ menjadi suatu yang Dapat dijadikan analog dalam hal ini. Apa itu ‘kepiting Meksiko’? Kepiting Meksiko merupakan binatang yang berperilaku menghendaki adanya kebersamaan dalam ‘kegelapan’ dan kesusahan.

Kepiting Meksiko ibarat dalam sebuah ember yang telah tertangkap oleh para pencari kepiting. Kalau Eksis satu kepiting yang hendak melarikan diri dari ember karena telah tertangkap maka si kepiting tersebut akan berusaha dengan berbagai Langkah menjadikan kepiting itu Bukan dapat keluar dari ember. Inilah ketam (kepiting) yang sangat ganas atas lainnya. Kepeting yang berusaha keluar ditarik kakinya dari Rendah, diinjak kepalanya dan diseret dari samping kanan kiri sehingga Bukan Tengah dapat keluar dari ember. Dengan demikian, akan Lanjut selamanya dalam ember oleh karena Bukan dapat keluar dari jebakan dan tempat yang sengaja dibuat Buat menyimpan kepiting tersebut.

Cek Artikel:  Akar Persoalan KDRT, Bisakah Diatasi

Rezim scopus yang telah menjadi rezim akademik di Indonesia dengan berbagai akrobat telah menjadikan sebagian para calon guru besar terjebak dalam perangkap para penangkap kepiting Meksiko. Seseorang yang Bukan layak menjadi guru besar karena mendapatkan ‘rumah Serempak’ para kepiting maka dia akan Lanjut menjadi komunitas yang yang terjebak dalam perangkap rezim scopus, yang belakangan ini di dunia kampus Cocok-Cocok bagaikan dewa maut Buat para dosen yang hendak menjadi guru besar.

Menulis atau memublikasikan hasil penelitian oleh seorang dosen tentu saja merupakan kewajiban akademik. Tetapi, memublikasikan hasil riset karena terkena jebakan ‘kepiting Meksiko’ Bukan Eksis bedanya dengan menjadi jurnal terindeks scopus menjadi ‘dewa maut’ karena seakan-akan Bukan menjadi seorang dosen yang hebat dan diakui sebagai profesor atau malah sebagai Spesialis, sekalipun tulisan yang terbit dalam sebuah jurnal teridenks scopus juga karena buah karya skandal akademik perbuatan para ‘kepiting Meksiko’.

Dunia akademik kita, Kalau Lanjut terjebak dalam patronase akademik, maka Bukan akan pernah mendapatkan penghormatan oleh dunia yang menjunjung etika dan integritas akademik. Hendaknya, kita Serempak-sama berani secara tegas menghentikan praktik-praktik patronase akademik yang dilakukan oleh jaringan ‘kepiting Meksiko’ dalam kampus.

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi harus Cocok-Cocok menindak tegas para pelaku patronase akademik dan jejaring ‘kepting Meksiko’ yang bergentanyangan menunggu mangsa yang Mau menjadi guru besar. Kalau dibiarkan praktik-praktik patronase akademik dan jejaring ‘kepiting Meksiko’, maka akan Lanjut melahirkan adanya para guru besar gadungan alias  guru besar abal-abal, yang dipanggil dengan ‘Pret’.

 

Peran Muhammadiyah

Dalam kaitan yang sungguh mengerikan semacam itu, maka sebagai gerakan keagamaan, Muhammadiyah sudah saatnya pula merambah pada dakwah yang dikatakan jihad intelektual Buat mencegah terjadi dan munculnya pelacur-pelacur intelektual yang menghilangkan muruah akademik perguruan tinggi, khususnya guru besar (profesor).

Muhammadiyah, khususnya perguruan tinggi Muhammadiyah, sudah semestinya menjadi teladan dalam mengawal muruah akademik sehingga dunia pendidikan kita Bukan penuh sesak dengan lahirnya guru besar yang rakus kekuasaan, Dahaga pujian, serta meninggalkan etika akademik.

Perguruan tinggi Muhammadiyah harus berani mencegah dengan serius lahirnya guru besar di perguruan tinggi tuna-etika dan hanya Mau gagah-gagahan dengan gelar yang disandangnya sebagai jabatan fungsional tertinggi di dunia kampus. Kalau perguruan tinggi Muhammadiyah turut serta dalam melahirkan guru besar yang tuna-etika, maka masa depan perguruan tinggi Muhammadiyah hanya akan mendapatkan nilai minus sekalipun Mempunyai segudang guru besar.

Oleh Alasan guru besar yang dihasilkan perguruan tinggi Muhammadiyah pada akhirnya Bukan berbeda dengan guru besar yang rakus pujian dan gila penghormatan, karena Bukan Eksis bedanya dengan para pelacur intelektual yang Bukan Mempunyai muruah akademik. Kita tentu saja Bukan Mau dipanggil sebagai ‘Pret’ karena menjadi guru besar tapi tanpa muruah.

Mungkin Anda Menyukai