GUBERNUR Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tak lama kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Ia disangka dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Pahamn 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Pahamn 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pembangunan pasal di atas, tentu saja ialah pasal tentang suap. Apabila dirujuk, dalam kasus Nurdin Abdullah, yang terjadi ialah adanya proses suap-menyuap yang dilakukan, dan itu diketahui dengan detail oleh KPK.
Sangat jarang terjadi OTT semacam itu tidak didahului dengan penyadapan. Artinya, dalam sadapan, konstruksi perkaranya akan kelihatan tentang siapa yang meminta, siapa yang menjadi penghubung dan kapan, serta di mana dilaksanakan pemberian dan hal lainnya. Itu sebabnya, sulit menolak tatkala Nurdin Abdullah dibawa ke kantor KPK untuk pemeriksaan, hampir dipastikan ia menjadi tersangka dengan konstruksi yang kemudian dijelaskan KPK.
Membaca korupsinya
Dalam suatu perkara korupsi yang melibatkan aparat pemerintahan, seperti yang terjadi atas Gubernur Sulsel, biasanya punya faktor umum dan faktor khusus dalam konteks korupsinya. Yang khusus, bisa dilihat dalam peta korupsi yang terjadi pada Nurdin Abdullah. Awalnya, ketika memimpin Kabupaten Bantaeng, ia relatif mendapatkan peta politik yang lebih sederhana dan lebih mudah ia kontrol.
Sebagai tokoh yang kuat di Bantaeng, hampir tidak memiliki saingan figur politik yang berarti sehingga dengan mudah ia menguasai Kabupaten Bantaeng. Kabupaten itu kemudian dengan mudah ia atur mau menuju perbaikan atau keburukan. Ketika ia membawa ke beberapa konstruksi kebaikan, dengan mudah angka-angka indeks keberhasilan pemerintahannya melonjak drastis.
Mulai program dan kegiatan pemerintah daerah yang ia canangkan, dengan mudah mendapatkan dukungan masyarakat, dan itu menjadi parameter termudah untuk memberikan dampak keberhasilan.
Apakah ada kasus buruk, bisa jadi ada. Akan tetapi, tanpa lawan politik yang berarti dan penguasaan yang kuat atas Bantaeng, ia mudah untuk mengontrol, bahkan menutup semua lubang bermasalah, -baik menutup dalam artian memang menyelesaikan maupun menutup dalam artian tidak berlanjutnya rumor-rumor tersebut sehingga berbagai penghargaan ia dapatkan.
Apabila dihitung, ada puluhan penghargaan dengan spektrum yang beragam ia peroleh, dengan metode dan standar pemberian penghargaan yang juga beragam. Mengglorifikasi itu juga mudah, karena ia tidak memiliki lawan berarti dalam konteks di Bantaeng yang benar-benar paham peta dan berbagai hal di kabupaten tersebut.
Hal itu berbeda betul ketika ia harus hijrah ke Sulawesi Selatan melalui pilgub. Ia tidak punya kekuatan yang cukup memadai untuk berada di level provinsi. Belum lagi, karena Sulsel sudah punya peta elitenya sendiri dan sudah berlangsung cukup lama. Bahkan, sudah mengurat-mengakar di level provinsi, khususnya pemerintahan daerah di sana. Makanya, ketika ia masuk ia menghadapi begitu banyak kondisi yang harus dia hadapi, dengan cara berbeda dengan ketika ia berada di Bantaeng.
Terbukti, hanya beberapa saat setelah menjabat ia mendapatkan cobaan besar dalam konteks upaya penggulingan melalui Angket DPRD Sulsel (Juli 2019). Apabila dilihat dalam konteks itu, kita semua paham bagaimana akhirnya upaya angket tersebut berakhir, yakni melalui proses rekonsiliasi politik, jika dibandingkan dengan penyelesaian secara baik oleh hukum.
Dalam proses rekonsiliasi itu, pilihan Nurdin Abdullah sebenarnya tidak sederhana. Ia dipaksa meninggalkan gaya bawaan dia di Bantaeng dan harus beradaptasi dengan gaya yang sudah sekian lama ada di pemerintahan daerah Sulsel. Itu yang memperlihatkan juga kenapa dalam tahun-tahun terakhir amat berbeda dengan berbagai prestasi yang ia capai. Tetapi, kali ini sama sekali miskin dan nyaris tanpa torehan prestasi yang kuat dalam pemerintahan.
Sementara itu, sebagai faktor umum, selayaknya seperti pemerintahan daerah di mana pun di Indonesia. Dimulai dari pemilihan kepala daerah yang berbiaya mahal, lalu dilanjutkan dengan kewajiban untuk mengembalikannya melalui proyek-proyek pemerintahan. Makanya, hampir semua pendukung ketika pemilihan kepala daerah itu mulai mendekat dan meminta imbalan atas jasa pemenangan pilkada.
Hal itu mau tidak mau harus dipenuhi Nurdin Abdullah, oleh karena sistem yang terbangun memang ialah hal yang serupa itu. Di tengah kemampuan kuasa yang minim, dia tidak bisa lagi berdiri lebih gagah di hadapan pemilik kepentingan, seperti ketika ia melakukan di Bantaeng.
Unsur umum lainnya, memang karena kita masih punya masalah di tingkat pengawasan atas pelaksanaan proyek, dan program pemerintahan daerah. Nyaris tidak ada konsep pengawasan yang jelas dan kuat di daerah yang dianggap mampu untuk menekan praktik korupsi. Bahkan, inisiatif untuk membuat itu juga nyaris tidak dapat berjalan karena kekuasaan tidak penuh ia pegang di daerah. Sekalian pemain proyek-proyek di pemerintah daerah Sulsel, bukan lagi keseluruhan atas kuasa Nurdin Abdullah, melainkan sudah menjadi tersebar dan berbagi dengan kuasa-kuasa lain di pemerintah daerah Sulsel.
Memang menjadi catatan besar dalam proses ini, ialah kita tidak hanya sekadar bicara tentang posisi personal seseorang, tetapi juga kita bisa lihat dalam relasi kuasa, dan kemampuan mengontrol daerah.
Apabila kita lihat pelaku penyuapan terhadap Gubernur, yang memang sudah sekian lama menjadi partner Nurdin Abdullah, dapat dibaca dalam kerangka di atas, melihat mudahnya ia menguasai Bantaeng dan membungkus semua kegiatannya dengan warna yang ia kehendaki. Tetapi, ketika memasuki Sulsel dengan peta yang jauh berbeda, ia tidak punya kuasa penuh atas apa yang ia ingin lakukan. Artinya, memang ini menjadi bom waktu yang hanya tinggal tunggu ‘detonator’ tertentu untuk meledakkannya.
Praktis, dalam beberapa bulan belakangan, Sulsel memang cukup banyak dikritisi, dengan proyek-proyek pembangunan yang sudah mendapatkan catatan miring, dari berbagai aktivis antikorupsi maupun aktivis lingkungan. Catatan kritis itu sudah tersebar di berbagai media, dan akhirnya Nurdin Abdullah ditetapkan menjadi tersangka dalam dugaan salah satu proyek-proyek yang dibicarakan tersebut.
Pekerjaan rumah
Setidaknya, dalam fenomena ini ada begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Pertama, dalam kaitan dengan penghargaan-penghargaan yang ia terima selama memimpin Bantaeng. Salah satunya Bung Hatta Anti Corruption Award yang ia terima.
Ia memang layak ketika menerima pada 2017 dengan kepemimpinan Bantaeng yang mengungguli kepala daerah yang lain saat itu, tetapi semuanya menjadi berbeda ketika di Sulsel. Ciptaan program, dampak atas masyarakat, kemampuan menggerakkan masyarakat, dan mengagregasi perbaikan sebagai beberapa di antara parameter pemberian penghargaan itu sudah nyaris tidak ada.
Barangkali mirip dengan Aung San Suu Kyi yang mendapatkan begitu banyak penghargaan termasuk dalam konteks perdamaian, kebebasan dan hak asasi manusia, tetapi malah dianggap tidak pas dalam penanganan muslim Rohingya. Artinya, tetap saja harus ada parameter yang jelas ketika hal tersebut harus dicabut.
Seperti penganugerahannya, yang merupakan simbol bagi pelaksanaan pemerintah daerah yang dianggap unggulan. Maka, pencabutannya juga harus dapat menjadi simbol, bahwa praktik korupsinya ialah sesuatu yang menghianati nilai baik yang diharapkan dan karenanya menjadi keniscayaan untuk dilakukan.
Kedua, secara umum, memang ada yang belum selesai dalam konsep pengawasan maupun perbaikan atas proses pemilihan kepala daerah berbiaya mahal, yang sampai sekarang masih menjadi penyebab dalam berbagai kejadian korupsi di Indonesia.
Resep-resep perbaikan kembali harus dilakukan, walau saya tetap cenderung menolak resep perbaikan yang bersifat resentralisasi dan meninggalkan inisiatif daerah. Makanya, perbaikan pengawasan yang sebenarnya harus diagregasi dan bukan dengan tiba-tiba mendorong adanya sentralisasi atas berbagai kejadian korupsi di daerah.
Hal ini sekadar melengkapi berbagai resep perbaikan penting di daerah. Termasuk, memperbaiki partai, dan pendanaan partai sehingga meminimalkan kuatnya ketergantungan calon kepala daerah kepada oligarki lokal atau elite lokal yang mampu membiayai keterpilihan, dan berikutnya menyandera kepala daerah terpilih dan pemerintahannya.
Penetapan tersangka ini harus menjadi pintu masuk untuk perbaikan. Oleh karena itu, faktor-faktor yang di atas itu semakin terang dan nyata, serta dapat mengancam pemerintahan di daerah mana pun.