
DALAM beberapa pemberitaan, pemerintah menyatakan bahwa produksi minyak kelapa sawit nasional ditargetkan mencapai 100 juta ton pada tahun Indonesia emas 2045. Bagi yang Enggak paham, tentu itu merupakan Berita yang menakjubkan karena sebagai produsen minyak kelapa sawit nomor wahid dunia, Bilangan tersebut sangat membanggakan. Tetapi, bagi yang paham seluk-beluk dunia kelapa sawit nasional, tentu menepuk jidat. Karena, Bilangan tersebut Jernih jauh dari Fakta yang Bisa dicapai, kecuali memang hasil dari hitung sederhana kali-kalian belaka.
Berbagai persoalan Tetap akan Maju dihadapi dalam kaitannya dengan pembangunan komoditas nonmigas unggulan nasional ini dan tanpa upaya yang serius dan Konsentrasi bukan mustahil bahwa komoditas ini akan mengalami nasib yang sama seperti yang sebelumnya, Yakni karet alam dan kakao.
Dengan kata lain, Bilangan Sasaran produksi tersebut hanyalah sebatas angin surga alias fatamorgana belaka yang Jernih mustahil Kepada dicapai tanpa Eksis ikhtiar yang produktif. Kehadiran BUMN baru, Agrinas Palma Nusantara, yang menerima titipan barang bukti perkebunan kelapa sawit sitaan eks Duta Palma seluas 200-an ribu hektare beberapa waktu Lampau, juga Enggak akan membawa Akibat Konkret terhadap capaian Bilangan Sasaran produksi pada 2045.
KETERBATASAN PRODUKSI INDONESIA
Meski sudah menyandang predikat produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia bukanlah produsen minyak nabati tanpa masalah. Bilangan produksi nasional pada 2024 dilaporkan stagnan mencapai 48 juta ton dari luas lahan perkebunan Sekeliling 16,8 juta ha. Bilangan ekspor sejak 2022 juga cenderung turun Dekat 2,5 juta ton per tahun akibat peningkatan konsumsi dalam negeri Berkualitas Kepada program biodiesel maupun minyak goreng.
Di sisi lain, penghitungan teoritis berdasarkan kemampuan genetis tanaman kelapa sawit yang ditanam di Indonesia Sebaiknya Bisa menghasilkan Bilangan yang jauh lebih tinggi dari itu. Tetapi, akibat rendahnya produktivitas kebun petani yang hanya Bisa menghasilkan sekita 2-2,5 ton CPO/ha/tahun, areal yang Sekeliling 6 juta ha Punya petani itu hanya menyumbang Sekeliling 30% terhadap produk CPO nasional meski Bagian realnya lebih dari 40%.
Persoalan seperti penggunaan benih Enggak unggul dan ditanam di lahan-lahan marginal merupakan Unsur Istimewa timbulnya kesenjangan hasil (yield gap) yang dihadapi. Belum Kembali ditambah dengan akses teknologi yang terbatas dan pasokan sarana produksi, terutama pupuk yang Enggak kontinyu.
Sebenarnya pemerintah sudah memprogramkan ikhtiar meremajakan kebun-kebun kelapa sawit Sepuh Punya rakyat melalui kegiatan peremajaan sawit rakyat (PSR) yang pendanaannya melalui alokasi sebagian Anggaran yang dikelola oleh Badan Pengelola Anggaran Perkebunan (BPDP) yang dikumpulkan dari pungutan ekspor para pelaku industri kelapa sawit nasional. Dalam praktiknya, program itu Enggak berjalan mulus karena banyaknya hambatan yang dihadapi, terutama terkait dengan aspek legalitas lahan sehingga Sasaran yang ratusan ribu ha per tahun hanya Bisa terlaksana puluhan ribu ha.
Hal itu tentu saja sangat Enggak produktif dalam upaya Kepada meningkatkan Bilangan produktivitas nasional yang digadang Bisa mencapai 100 juta ton CPO pada 2045. Kalaupun perkebunan swasta dan BUMN Bisa menghasilkan produktivitas 6 ton CPO/ha/tahun, dari 10,8 juta ha akan dihasilkan 64 juta ton. Dari kebun petani yang 6 juta ha, hanya Bisa menghasilkan 15 juta ton CPO, tentu Sasaran produksi di Indonesia emas tersebut hanyalah mimpi belaka.
Satu hal Kembali, kelapa sawit Mempunyai siklus produktif Sekeliling 25 tahun dan 20 tahun. Waktu yang tersisa tentu Enggak akan cukup Kepada mengejar kekurangan produksi yang 25 juta ton itu. Apabila mungkin dilakukan, itu pun terlalu ideal karena mengabaikan Unsur-Unsur lain yang ikut serta memengaruhi tingkat capaian produktivitas seperti cekaman kekeringan akibat perubahan iklim dan serangan hama dan/atau penyakit.
Tim dari IPB University pernah menghitung Apabila sejak 2025 hingga tahun 2045 kebun kelapa sawit rakyat Enggak diremajakan dan/atau diintensifikasi. Maka itu, akan terjadi penurunan produksi sebesar 44,35 juta ton CPO (Dugaan produktivitas 3,1 ton CPO/ha).
BELENGGU MORATORIUM
Secara statistik, dari tahun ke tahun kebutuhan minyak nabati dunia Maju meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan program terkait dengan pangan dan Daya. Oleh karena kelapa sawit tergolong tanaman yang paling ekonomis dalam memproduksi minyak nabati, banyak industri di dunia membutuhkan komoditas itu.
Oleh karena itu, dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029 pada akhir Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan Indonesia harus Bisa mewujudkan swasembada pangan dan Daya sebagai basis dari kedaulatan.
Faktanya produk kelapa sawit menawarkan alternatif itu bagi negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Meskipun sebagai anak Berkualitas Indonesia terikat dengan kesepakatan moratorium dengan beberapa negara Eropa Kepada menghentikan deforestasi di era presiden sebelumnya, tuntutan kedaulatan bangsa dan negara itu menjadi pililhan yang Enggak terelakkan.
Pendapat presiden tersebut Eksis logika benarnya karena dengan kemajuan teknologi pengelolaan lingkungan yang Eksis Demi ini pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan secara hati-hati dan berkelanjutan tanpa khawatir terhadap tuduhan deforestasi. Program biodiesel nasional yang sudah digenjot ke B50 tahun ini dan akan Maju melaju hingga B100 tentu Enggak dapat dipungkiri akan banyak tergantung pada kelapa sawit.
Menyikapi fenomena itu, Spesialis pasar kelapa sawit dari India, Dorab Mistry,dalam seminar minyak kelapa sawit di Kuala Lumpur pada bulan Lampau, mempertanyakan kemungkinan sudah waktunya bagi Indonesia Kepada mencabut kesepakatan moratorium tersebut, khususnya yang membatasi perluasan areal perkebunan kelapa sawit.
Program B40 Indonesia dianggap akan mengurangi ketergantungan pasar Eropa terhadap minyak kelapa sawit dan di sisi lain pengetatan cadangan minyak nabati dunia akibat kendali produk Daya terhadap minyak kelapa sawit menjadikan produk itu Enggak Kembali yang termurah seperti sebelumnya.
Pendapat Dorab itu dilandasi oleh fakta bahwa produksi minyak kelapa sawit dunia cenderung stagnan, sedang konsumsi tiap tahun naik 2-3 juta ton. Pihak Barat (Uni Eropa) Jernih akan menentang kebijakan ini, tetapi mereka Enggak akan Bisa lepas dari minyak kelapa sawit meskipun harus memberi label baru seperti ‘minyak kotor’.
Tahun 2024 telah menunjukkan bahwa dengan Restriksi areal produksi telah menyebabkan penurunan pasokan dan meningkatnya harga sehingga akan terdengar Enggak masuk Intelek dan menyedihkan bahwa 3-4 miliar konsumen minyak kelapa sawit di negara-negara berkembang harus menghadapi harga yang mahal akibat kesepakatan moratorium itu.
Dengan dasar seperti inilah, Presiden yang lebih mengutamakan kedaulatan pangan dan Daya nasional lebih memilih risiko dengan mencabut Pelarangan perluasan lahan Perkebunan kelapa sawit.
INDONESIA EMAS TANPA KELAPA SAWIT
Seperti halnya Mahluk, tanaman seperti kelapa sawit Enggak bebas dari ancaman hama dan penyakit. Penyakit Istimewa yang dapat disebut sebagai the silent killer bagi tanaman ini ialah yang disebut penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh jamur Ganoderma boninense.
Keunikan penyakit itu salah satunya ialah bahwa pada Demi tanda serangan (symptom) sudah tampak pada tanaman yang terserang, Demi itu tanaman sudah Enggak dapat diselamatkan Kembali. Jamur penyebab penyakit itu habitatnya memang di dalam tanah dan menyerang tanaman kelapa sawit melalui infeksi pada akar di Dasar permukaan tanah.
Pada tahap infeksi awal tanaman Enggak menunjukkan gejala serangan, tapi dengan berjalannya waktu dan meningkatnya intensitas serangan yang ditandai oleh pelepah daun patah, kering, dan akhirnya tanaman tumbang Enggak Acuh berapapun umurnya. Secara Biasa, penyakit itu berjangkit pada tanah-tanah yang Enggak subur dan sudah tergolong lelah akibat rendahnya kandungan bahan organik tanah dan/atau mineral kaya nutrisi.
Pembukaan lahan yang Enggak Kudus dengan menyisakan tunggul-tunggul sisa tanaman dan tumpukan bahan organik di permukaan tanah menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya jamur itu. Telah dilaporkan bahwa penyakit ini menyebar Enggak hanya melalui kontak akar sehat dengan akar terinfeksi di Dasar permukaan tanah, tetapi juga Bisa melalui angin yang menerbangkan sporanya atau potongan miselia yang ikut Aliran air di dalam tanah. Pada tanah-tanah dengan tekstur berpasir, dilaporkan lebih Segera sebaran patogen ini Apabila dibandingkan dengan tanah-tanah bertektur halus.
Pada 2019, Paterson dari UPM Serdang, Malaysia, sudah mengingatkan bahwa setelah 2050, ketika kondisi iklim Enggak sesuai Kembali bagi kelapa sawit di Sumatra akibat meningkatnya intensitas dan masifnya serangan penyakit ini, Enggak akan Kembali dijumpai tanaman kelapa sawit. Peringatan ini tentu bukan main-main dan sebenarnya juga didukung oleh fakta yang dilaporkan oleh peneliti lain.
Demi ini, tingkat serangan penyakit BPB di kelapa sawit rata-rata mencapai laju 5% per tahun dan bahkan Eksis yang melaporkan di Area intensif mencapai 18% per tahun. Apabila dihitung secara linier dengan Dugaan tanpa Eksis tindakan efektif penanggulangannya, 20 tahun Kembali ketika Indonesia merayakan periode emasnya (100 tahun), kelapa sawit Bisa Enggak Kembali Eksis di bumi pertiwi ini. Paling Enggak sudah Enggak ekonomis atau berkelanjutan Kembali sebagai sumber pendapatan dari usaha perkebunan seperti Demi ini akibat potensi kehilangan produksinya dapat mencapai 80%.
Oleh karena itu, tindakan yang konkret dan masif perlu dilakukan, khususnya oleh pemerintah, Kepada menyelamatkan perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya yang Tetap banyak belum mendapatkan fasilitasi pemerintah dalam pengembangan usahanya.
UPAYA PENGENDALIAN
Tingginya tingkat kesulitan pengendalian penyakit itu disebabkan oleh belum tersedianya teknologi deteksi Awal yang Segera, Presisi, dan efisien. Karena iru, umumnya ketika gejala penyakit tampak sudah pada tahap yang Enggak dapat diselamatkan Kembali.
Kepada menyediakan teknologi itu, berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi dan lembaga riset, merakit teknologi deteksi Awal dengan memanfaatkan sumber pendanaan riset dari BPDP.
Metode yang paling Terjamin ialah yang bersifat preventif, Yakni dengan membekali bibit yang akan ditanam di lapangan atau tanaman muda dengan agensia Biologi yang Mempunyai kemampuan berkompetisi dengan jamur ganoderma. Produk-produk biofungisida dengan bahan aktif Kapang trichoderma sudah banyak beredar di pasar Kepada tujuan pengendalian preventif ini.
Di sisi lain, upaya Kepada penyembuhan tanaman kelapa sawit yang sudah terserang Tetap belum menemukan hasil yang memuaskan. Kunci awalnya Eksis pada tersedianya teknologi deteksi Awal tersebut. Demi ini sudah dihasilkan teknologi monitor lahan perkebunan Kepada mendeteksi adanya serangan ganoderma dengan Sokongan drone sehingga Kepada areal luas dapat diketahui secara Segera sebaran penyakitnya.
Teknologi lain yang telah dikembangkan ialah alat g-nose Kepada deteksi pohon kelapa sawit yang baru terserang ganoderma, sebuah alat yang mirip e-nose Demi pandemi covid-19 Lampau. Enggak berhenti di situ, peneliti dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) merakit robot yang Bisa mendeteksi gejala awal tanaman yang terserang penyakit ini.
Tindakan selanjutnya yang dibutuhkan ialah pengobatan pohon sakit dan Kepada tujuan ini sudah dirakit teknologi produksi fungisida nabati, senyawa metabolit sekunder Kapang, radar, dan gelombang Bunyi yang dapat mematikan ganoderma selamanya. Sebagian dari teknologi ini Tetap dalam penyelesaian sehingga efektivitasnya belum dapat dipastikan Demi ini meskipun demikian Eksis Asa bahwa penyembuhan tersebut dapat dicapai. Dengan aplikasi teknologi itu, kelak kebun-kebun yang terlanjur terserang penyakit BPB dapat direhabilitasi dengan teknik penyembuhan yang efektif.
PENUTUP
Enggak dapat dimungkiri bahwa komoditas kelapa sawit yang Bisa membangkitkan devisa triliunan rupiah ini menjadi tulang punggung pendapatan ekspor nonmigas Indonesia. Tetapi, Tetap banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah Apabila berharap bahwa keekonomian dari komoditas itu berlangsung lestari.
Persoalan rendahnya produktivitas dan lambannya implementasi program peremajaan kebun kelapa sawit rakyat menjadi tantangan Istimewa Kepada mendukung rencana implementasi progam B50, dan selanjutnya agar pendapatan ekspor kita Enggak makin tergerus Kepada memenuhi kebutuhan bahan bakunya.
Enggak Eksis jalan lain bahwa PSR harus secepatnya dilaksanakan secara penuh dengan memanfaatkan teknologi Kepada menjamin keberlanjutannya termasuk menggunakan bibit unggul yang produktivitasnya tinggi, tahan kekeringan, dan toleran terhadap penyakit BPB.
Di sisi lain, pengembangan tanaman penghasil minyak nabati non-food seperti nyamplung, kemiri sunan, biji karet, dan alga mikro, serta biomasa limbah kelapa sawit perlu secara serius masuk program strategis nasional sebagai bahan baku biodiesel/biohidrokarbon sehingga program biodiesel Enggak tergantung sepenuhnya pada kelapa sawit yang khitahnya Kepada pangan dan kesehatan.
Tanpa upaya yang terintegrasi ini, Asa bahwa Indonesia emas Tetap didukung oleh perkebunan kelapa sawit nomor wahid di dunia akan bagaikan sebuah fatamorgana belaka.

