Fatamorgana Gotabaya Rajapaksa

SABTU (9/7) adalah hari yang paling Kagak baik dalam sejarah Sri Lanka. Krisis berkepanjangan yang melanda negara pulau di sebelah utara Samudra Hindia di pesisir tenggara India itu memicu kemarahan ribuan rakyat. Mereka mengepung dan memaksa masuk ke kediaman Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa. Tak hanya itu, murka rakyat juga Membangun mereka merangsek masuk ke kediaman Perdana Menteri (PM) Ranil Wickremesinghe, dan membakarnya.

Rakyat menuntut pemerintah bertanggung jawab atas kesalahan pengelolaan keuangan negara, juga kekurangan pangan dan bahan bakar yang melumpuhkan. Mereka menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa segera mengundurkan diri dari jabatan. Atas desakan people power itu, Rajapaksa menyatakan akan segera lengser dari jabatannya. Begitu pula PM Ranil Wickremesinghe, sami mawon, undur diri dari jabatan setelah pemerintahan baru terbentuk.

Massa yang menduduki kediaman Formal Presiden Sri Lanka di Kolombo mengacak-acak isi rumah, memasuki Bilik pribadi presiden, bersantai di tempat tidur, nge-gym, berfoto-foto, nyebur ke kolam renang, dan menikmati makanan. Di luar gedung, bendera Singa atau bendera Sri Lanka dikibar-kibarkan oleh para pengunjuk rasa.

Cek Artikel:  Politik Kesukarelaan untuk Abah dan Gus

Mereka bernyanyi dan menari di kediaman kepala negara seolah merayakan keberhasilan menumbangkan Presiden Gotabaya Rajapaksa yang dianggap tak becus mengelola negara berpenduduk sebanyak 23.044.123 jiwa (2021) ini.

Krisis yang membelit Republik Sosialis Demokratis Sri Lanka menumpuk, bak lingkaran setan, sehingga sulit mana dulu yang harus diselesaikan. Dari masalah ekonomi, sosial, politik, perang Keluarga, hingga konflik SARA. Permasalahan negara dibiarkan berlarut-larut, sementara kekuasaan yang koruptif di sisi lain menunjukkan kepongahannya. Korupsi dan nepotisme keluarga Rajapaksa menguasai dua pertiga anggaran Sri Lanka.

Krisis ekonomi Sri Lanka meletus sejak 2019 akibat tumpukan utang luar negeri yang menggunung. Kondisi semakin parah ketika pandemi covid-19 pada awal 2020 melanda. Industri pariwisata yang menjadi andalan pemasukan Sri Lanka limbung. Ekonomi dalam negeri pun kian terpuruk karena inflasi.

Pada akhir 2021, utang luar negeri Sri Lanka mencapai US$50,72 miliar. Utang luar negeri itulah yang membebani ketika sejumlah utang yang telah Anjlok tempo tak Bisa dibayar. Terlebih, jumlah utang tersebut sudah mencapai 60,85% dari produk domestik bruto (PDB). Besar pasak daripada tiang. Utang terbesar ialah kepada Tiongkok sebesar US$8 miliar atau Sekeliling seperenam dari total Dana luar negeri. Utang tersebut digunakan Demi pembangunan infrastruktur di negara yang berjuluk ‘Mutiara dari Samudra Hindia’ itu.

Cek Artikel:  Bambang Pacul Kelewat Jujur

Inflasi yang tak terbendung Membangun harga barang-barang kebutuhan pokok meroket sebesar 57%. Keadaan kian kacau ketika mata Dana Sri Lanka Anjlok hingga 80%, yang berdampak pada melambungnya harga barang-barang impor. Kelangkaan bahan bakar dan pemadaman listrik berkepanjangan menyebabkan penderitaan rakyat makin menumpuk. Bahkan, ibu-ibu pun tak Bisa Kembali membeli susu Demi anak-anak mereka.

Sejatinya Sri Lanka adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam. Demikian pula dengan destinasi pariwisatanya yang memikat. Negeri ini juga terkenal dengan sejarah peninggalan leluhurnya sejak 2.500 tahun yang Lampau.

Kehancuran Sri Lanka bermula dari populisme yang dilakukan Presiden Gotabaya Rajapaksa Demi memberikan kesenangan sesaat kepada rakyatnya, seperti pemotongan pajak besar-besaran dan subsidi BBM yang Kagak terukur. Kini, Sri Lanka menjadi negara bangkrut akibat mengabaikan prinsip-prinsip good governance.

Sri Lanka tak sendirian. Setidaknya Eksis 60 negara terancam bakal bernasib sama. Sejumlah laporan dari International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan PBB menyebutkan sebanyak 42 negara tengah bergerak ke tubir jurang resesi, ambruk, dan bangkrut.

Cek Artikel:  Yamal dan Kaesang

Belajar dari Sri Lanka, kebangkrutan sebuah negara Kagak semata karena Unsur ekonomi. Eksis pula Unsur lainnya, seperti sosial dan politik. Bagi Indonesia, negara yang kaya dengan limpahan sumber daya alam dan multikultur, kohesi sosial perlu dijaga. Keberagaman harus menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan. Tata kelola yang Bagus secara transparan, akuntabel, dan partisipatif, tentu akan menjauhkan republik tercinta ini dari kebangkrutan. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai