Etika Mengelola Lingkungan

Etika Mengelola Lingkungan
(MI/Seno)

PESAN keberlanjutan sumber daya alam termasuk pulau kecil bukan tiba tiba hadir ke dalam menu pembangunan kita. Sejak 14 abad yang Lampau, bahkan jauh sebelumnya, sebelum hadirnya gagasan SDG (Sustainable Development Goal).

Dalam Islam, kalau disimak secara saksama, sebenarnya sudah diingatkan sejak penciptaan Orang. Era Nabi Adam, pesan berkelanjutan dijelaskan melalui pesan kepada anak-anaknya agar berpikir sebelum bertindak. Arti pesan ini adalah sebelum melakukan sesuatu, milikilah ilmunya, ketahui mudaratnya dan manfaatnya. Tamat kemudian masa Nabi Muhammad SAW, tertuang rambu-rambu yang Jernih bagi Orang Demi senantiasa memperhatikan keberlanjutan alam yang dapat diikuti Tamat kini.

Salah satu narasi keberlanjutan dijelaskan dalam Surat Al-Mulk (15) bahwa kepada Orang bumi dijadikan Demi dimanfaatkan. Kemudian jelajahilah penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya. Banyak tafsir menyebutkan, sebagian rezkinya Dapat bermakna sebagai rezeki yang diterima langsung oleh Orang secara personal. Tafsir lain kalimat tersebut dapat bermakna sebagai rezeki yang Allah tebarkan di bumi pada eranya Orang. Konsep yang mudah dipahami dan Jernih bahwa segala sesuatu yang Eksis di bumi Demi dimanfaatkan dengan batasan yang Jernih.

Arti dengan mengambil setengahnya merupakan batasan agar generasi mendatang dapat menikmati rezeki yang Eksis sekarang. Selain itu, juga termaktub Arti agar Eksis sumber daya yang disisakan sehingga Bisa kembali pulih dan mendukung keberlanjutan hidup Orang. Pulih menuju recovery atau resilience guna mengimbangi keinginan Orang yang Bukan terbatas.

Kalau diperhatikan dengan saksama, kenapa Allah Membangun batasan Demi Orang. Setidaknya dalam pandangan awam penulis Eksis beberapa pelajaran yang dapat kita ambil. Pertama, Orang merupakan makhluk yang punya kebiasaan merusak. Kedua, Orang termasuk makhluk yang suka berlebih-lebihan dan melampaui batas termasuk dalam memanfaatkan sumber daya. Ketiga, Orang Mempunyai sifat yang Bukan pernah puas dan serakah dalam urusan dunia. Keempat, Orang sebagai pribadi yang sering alpa dan larut dalam kemewahan serta ditutupi kebodohan.

Cek Artikel:  Merdeka Belajar Episode 26 Permendikbudristek 532023 Jadi Angin Segar bagi Pendidikan Vokasi

 

FAKTA EMPIRIS

Kalau kita Memperhatikan beberapa fakta kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan, menurut FWI (2024) selama 2017-2021 luas hutan turun rata-rata 2,4 juta hektare (ha) per tahun. Area hutan terbuka karena pertambangan emas, batu bara, nikel, bauksit Lalu meluas. Kejadian banjir bandang, kerusakan pesisir karena tambang terjadi di berbagai Daerah Indonesia. Penambangan di Pulau Gag, Pulau Wawoni, Pulau Gebe, Pulau Bangka-Belitung menampilkan sifat-sifat ketidakcukupan mengambil sumber daya alam oleh Orang.

Luasan ekosistem mangrove juga turun dan tersisa 1,7 juta ha dari sebelumnya 3,4 juta ha yang terdata. Terumbu karang yang sehat tersisa hanya 32% dari luasan terumbu yang kita punyai. Begitu juga jumlah ikan tangkapan tereksploitasi yang sudah mencapai lebih dari 50% sediaan stok ikan. Lampau, biodiversity mengalami penurunan karena habis dan punah Berkualitas didarat maupun di laut.

Sikap berlebihan dalam mengambil dan memanfaatkan sumber daya juga terlihat Konkret di laut. Sumber daya ikan sebagian sudah berada pada kondisi overfishing. Praktik pengavelingan laut juga terjadi hanya Demi pemuasan kepentingan pribadi. Selain itu, sikap mengambil harta rakyat secara berlebih dalam bentuk korupsi menjadi menu harian yang menghiasi dinding Siaran negeri ini.

Cek Artikel:  Aksi Demokrasi Mengawal Pemilu 2024

Jurang kemiskinan Lalu menganga, di mana orang sangat kaya dapat berpenghasilan lebih 400 miliar per bulan, orang kaya dapat berpenghasilan di atas Rp10 juta per bulan, dan orang miskin Rp599 ribu per bulan. Data BPS 2023 menunjukkan jumlah penduduk miskin mencapai 25 juta jiwa (9,3%) dan penduduk kaya Sekeliling 10 juta jiwa dengan Pendapatan di atas Rp23 juta per bulan.

Sikap Bukan pernah puas tecermin dari banyak gaya baru dalam okupasi aset negara. Praktik pagar laut, pengalihan aset negara terjadi atas nama investasi. Lebih parahnya aset diokupasi, kerusakan tercecer Demi masyarakat. Sikap Bukan puas ini kemudian berbahaya, yang melahirkan korupsi, invasi ekonomi, serta sikap Bukan Acuh dan hilang empati sesama anak bangsa.

Seiring dengan itu, upaya pemberantasan kebodohan Bukan dilakukan serius. Data Goodstat (2024) mencatat 23,3% dari 284 penduduk Bukan/belum sekolah. Masyarakat yang bodoh kemudian jadi komoditas politik dan sering dipolitisasi terutama Ketika pemilu. Membiarkan masyarakat terjebak dalam kebodohan, selain menyebabkan negara makin lemah, juga menyebabkan sumber daya alam dan lingkungan menjadi semakin rusak.

Al-Quran menjelaskan dalam Surat An-Nisa’ (9): “Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (Wafat) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang Betul (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).”

 

Cek Artikel:  Ruang Sempit Pemerintahan Prabowo

ALARM ALAM

Alarm keberlanjutan sudah sangat Jernih dan harus dijadikan rambu-rambu serta perhatian bagi Orang. Orang diingatkan Demi menjadi makhluk yang bersyukur, berpikir agar Bukan larut dalam kebodohan dan kemiskinan, serta Bukan melampaui batas sebagai standar etika menjaga lingkungan.

Bersyukur karena kita Eksis di negara kaya sumber daya alam, kaya biodiversity, dan kaya sociodiversity. Tetapi, kekayaan juga dapat melahirkan kesombongan, menimbulkan kemungkaran. Arogan karena merasa kaya dapat melahirkan kemalasan, dan mungkar dapat melahirkan kerusakan. Pesan agar menjadi orang berpikir juga dijelaskan secara tegas. Negara kaya dengan masyarakat yang bodoh dan miskin Dapat berisiko terhadap keberlanjutan bangsa.

Potensi bonus demografi Dapat berubah menjadi bencana demografi. Berpikir menetapkan nilai batas yang kemampuan alam yang diterjemahkan sebagai daya dukung. Dengan proses begini kita kemudian Bukan akan memproduksi nikel, timah, pasir laut dalam jumlah yang melampaui batas. Memproduksi dalam batas Demi pemenuhan kebutuhan kita, bukan orang lain. Memproduksi sumber daya alam kita Demi orang lain, sama seperti menabur garam ke laut, yang Bukan akan berdampak terhadap kita sendiri.

Mundur, duduk, dan menadaburi apa yang diberikan Tuhan dan menghitung yang akan digunakan lebih Berkualitas daripada Lalu maju mengeksploitasi sumber daya tersebut yang Bukan terlihat titik ujungnya. Mengatur kembali tempo waktu Pendayagunaan lebih Berkualitas daripada sekadar mengejar pertumbuhan semata tanpa etika yang Berkualitas terhadap lingkungan.

 

Mungkin Anda Menyukai