Etika Lingkungan

DALAM suatu obrolan yang hangat selepas isya di Masjid Tajug Gede Cilodong, Purwakarta, Jawa Barat, kala itu Dedi Mulyadi yang berstatus mantan Bupati Purwakarta banyak bercerita tentang pembangunan masjid megah nan Istimewa itu.

Menurut Dedi, masjid Tak perlu penyejuk udara (air conditioner). “Biarkan angin yang merupakan bagian dari kehidupan kita masuk ke masjid dengan leluasa. Jangan dibatasi dengan tembok. Supaya jemaah Pandai merasakan angin yang masuk secara alami,” tuturnya.

Tak mengherankan dinding masjid itu di sebelah kiri dan kanannya diwarnai ukiran-ukiran rancak yang memberikan akses kepada angin Kepada masuk masjid.

Kepada meminimalkan debu masuk masjid, lanjutnya, sebelah kanan dan kiri masjid ditanami rerimbunan pepohonan. “Saya Tak suka AC makanya di rumah pun saya Tak memasang AC. Saya Ingin bersahabat dengan alam,” pungkasnya.

Banjir besar yang melanda Distrik kekuasaan Dedi Mulyadi yang kini menjabat Gubernur Jawa Barat, Bekasi dan beberapa daerah lainnya, mengusik tokoh yang kerap mengenakan busana putih itu Kepada melakukan sidak ke sumber penyebab banjir, yakni kawasan Puncak, Kabupaten Bogor.

Dedi kaget, bahkan sempat menangis karena kawasan wisata alam itu telah beralih fungsi dari kawasan hijau yang dilindungi menjadi kawasan ‘hutan beton’ akibat bisnis wisata secara masif.

Banyak bangunan Berkualitas itu vila, hotel, restoran, kafe, maupun wahana wisata lainnya berdiri diduga melanggar sejumlah ketentuan di Puncak.

Dia pun memerintahkan anak buahnya Kepada merobohkan bangunan di wahana wisata Hibisc Fantasy Park, Bogor. Selain itu, Serempak pemerintah pusat, Dedi menyegel empat Letak wisata lainnya karena diduga merusak kondisi Puncak sebagai daerah resapan air.

Cek Artikel:  The Military Way

Gubernur yang selalu tampil dengan ikat kepala Sunda itu bertekad menjadikan Puncak sebagai kawasan hutan dan perkebunan guna mengembalikan fungsinya sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Kawasan itu Mempunyai peran signifikan dalam menyerap dan menyimpan air hujan, serta mencegah banjir di Distrik hilir.

Puncak ialah hulu dari empat daerah Kategori sungai (DAS) besar, yakni Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum. Tak hanya itu, Puncak menjadi penyedia air Istimewa Kepada ketiga DAS tersebut.

Watak Kategori air seiring dengan gaya gravitasi bumi, bergerak dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Itu hukum alam yang mesti disadari Mahluk sebagai hayawanun natiq (hewan yang berpikir). Maksud Al Ghazali kata ‘hewan’ di sini bukan bermakna binatang, melainkan mahkluk yang Pandai berpikir.

Karena itu, kerusakan kawasan Puncak yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dengan pembangunan fisik yang ugal-ugalan menyebabkan kawasan itu tak Pandai menyimpan air dengan Berkualitas. Alhasil, air dari Puncak sebagai hulu tumpah ruah ke hilir, Jakarta dan sekitarnya.

Petaka banjir tak terbendung Kembali. Air menyerbu Ibu Kota pada pekan Lewat. Banjir juga melanda Mal Mega Bekasi di Jalan Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat. Air mengalir begitu Segera ke mal tersebut bak tsunami menyapu Sekeliling 700 konter di Alas Rendah mal tersebut.

Cek Artikel:  Mengeluhkan Demokrasi

Kawasan Puncak selalu menjadi isu lingkungan setiap berganti pemerintahan di kala banjir mengamuk di Jakarta dan sekitarnya. Sayangnya penataan kawasan yang menjadi Letak favorit Kaum Kepada rehat dan ‘cuci mata’ selalu hangat-hangat tahi ayam. Layu sebelum berkembang.

Pemerintah pusat dan daerah (Pemprov Jabar dan Pemkab Bogor) Tak tegas menindak para pelanggar hukum di kawasan ikon wisata alam di Tanah Air itu. Destinasi favorit Kepada liburan itu terkenal dengan keindahan alam, udara Asem, Hidangan, dan Berbagai Corak aktivitas rekreasi lainnya.

Meskipun negara Mempunyai wewenang, aparatur, dan regulasi Kepada menegakkan hukum di kawasan Puncak, penertiban bangunan liar, bangunan ‘aspal’ alias Asal tapi Bajakan karena menyiasati sejumlah regulasi, Tak semudah membalikkan telapak tangan.

Penyebab hukum loyo dan tebang pilih sehingga membiarkan kerusakan di kawasan itu ialah banyak pemilik bangunan ilegal diduga bukan ‘orang sembarangan’. Mereka ialah orang berpangkat tinggi, pengusaha tajir, atau pesohor yang Mempunyai Rekanan ke pusat kekuasaan sehingga aparat di tingkat kabupaten/provinsi Tak berkutik Kepada menghadapinya.

Di sisi lain, Terdapat pula oknum aparat pemerintah ‘bermain mata’ sehingga mengizinkan bangunan-bangunan yang Tak semestinya berdiri di kawasan tersebut.

Kesulitan pemerintah daerah dan pusat menertibkan bangunan di Distrik konservasi juga dirasakan Media Indonesia Ketika melakukan Penyelidikan beberapa tahun silam terkait dengan merebaknya bangunan liar di kawasan wisata Gunung Salak Endah, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.

Cek Artikel:  Sumpah Bajakan

Kawasan yang terletak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak tak luput dari penjarahan orang-orang berpangkat, berpengaruh, dan berduit.

Dari sisi regulasi, sudah banyak aturan dibuat di tingkat pusat dan daerah Kepada menjaga Distrik Puncak dari kerusakan. Salah satunya Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).

Krisis lingkungan, seperti di kawasan Puncak, bermula dari krisis etika terhadap lingkungan. Etika lingkungan ialah disiplin ilmu yang berbicara tentang Kebiasaan dan kaidah moral yang mengatur perilaku Mahluk dalam berinteraksi dengan alam, serta nilai dan prinsip Kebiasaan yang menjiwai perilaku tersebut (Sonny Keraf, 2002).

Betapa bahayanya Kalau Mahluk Angkuh, merasa di atas alam semesta, karena merasa sebagai subjek. Akibatnya, mereka bebas mengendalikan alam karena alam hanyalah objek yang Pandai diperlakukan seenak jidatnya (antroposentrisme).

Sebaiknya Langkah pandang terhadap alam harus diubah. Mahluk ialah bagian dari komunitas ekologis, Berkualitas yang biotik (mahkhluk hidup) atau abiotik (benda Wafat). Mahluk ialah bagian integral dari alam semesta. Mahluk harus Mempunyai tanggung jawab moral Kepada menjaga keseimbangan ekosistem kehidupan. Mahluk dengan alam saling melengkapi, bersimbiosis mutualisme (ekosentrisme).

Sikap KDM, sapaan akrab Dedi Mulyadi, menganggap angin ialah bagian dari kehidupan patut diapresiasi. Sejatinya, sikap nan mulia itu sebagai kepala daerah harus diwujudkan dalam berbagai kebijakan selain pro-growth (pertumbuhan) dan pro-environment (lingkungan).

Bumi ini, kata Mahatma Gandhi, Pandai Kepada memenuhi kebutuhan seluruh umat Mahluk, tetapi Tak Kepada mencukupi keserakahan Mahluk. Tabik!

 

Mungkin Anda Menyukai