PADA haul ke-14 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diadakan 16 Desember kemarin, tema yang diangkat ialah Meneladani etika demokrasi Gus Dur. Tampaknya keluarga Gus Dur ingin menghadirkan tema yang relevan dengan konstalasi politik menjelang Pemilihan Presiden pada 14 Februari 2024 mendatang.
Persoalannya, apakah yang dimaksud dengan etika demokrasi Gus Dur? Pertanyaan itu belum dijawab dalam perhelatan haul tersebut serta dalam berbagai wacana demokrasi Gus Dur pada ‘bulan Gus Dur’ kali ini.
Agar bisa menjawab pertanyaan itu dengan tepat, kita perlu memahami pemikiran Gus Dur tentang demokrasi secara utuh untuk menarik dimensi etis dari pemikiran tersebut.
Pemikiran Gus Dur tentang demokrasi berlatar kondisi ‘demokrasi seolah-olah’ pada era Orde Baru. Istilah ‘demokrasi seolah-olah’ diusung oleh Gus Dur untuk mengkritik kualitas demokrasi yang seolah-olah demokratis, padahal tidak demokratis. Bagaimana Gus Dur bisa sampai pada kesimpulan itu?
Demokrasi institusional
Kritik yang Gus Dur lancarkan tersebut berangkat dari premis bahwa yang terpenting dari demokrasi ialah pelaksanaan dari nilai-nilai demokrasi, bukan keberadaan lembaga-lembaga demokrasi. Ketegangan antara nilai-nilai demokrasi dan lembaga demokrasi itu penting untuk memahami etika demokrasi Gus Dur.
Yang dimaksud dengan nilai-nilai demokrasi menurut Gus Dur ialah demokrasi politik (syura), persamaan hukum (musawah), dan keadilan sosial (‘adalah). Ketiga nilai yang menyatu itulah yang Gus Dur sebut sebagai pandangan dunia Islam (Islamic weltanschauung). Hal itu perlu kita pahami secara mendalam.
Demokrasi politik mengacu pada pemenuhan negara atas hak-hak sipil dan politik meliputi hak berpikir, menyampaikan pendapat, mengkritik pemerintah, berorganisasi, serta memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Sementara itu, persamaan hukum ialah prinsip konstitusionalisme yang menempatkan rakyat sebagai warga negara yang setara di hadapan hukum, serta memiliki hak asasi manusia (HAM) yang wajib dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Berangkat dari nilai persamaan dan konstitusionalisme itulah Gus Dur lalu menjadi pembela kemajemukan bangsa.
Sementara itu, keadilan sosial ialah keadilan sosial ekonomi yang menjadi tujuan dari pembangunan sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila. Pada era Orde Baru, Gus Dur pernah mengembangkan wacana keadilan sosial ini sebagai kritik atas developmentalisme yang menjadi mazhab pembangunan negara. Ia lalu membawa diskursus teologi pembebasan (liberation theology) dari para pastur Amerika Latin untuk menempatkan Islam sebagai agama pembebasan melawan rezim developmentalistik. Pendirian Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) merupakan salah satu upaya Gus Dur dalam menempatkan pesantren sebagai katalisator pembangunan ekonomi kerakyatan berbasis tradisi Islam.
Kemampuan demokrasi dalam mewujudkan prinsip demokrasi politik, persamaan hukum, dan keadilan sosial inilah yang terpenting dalam proses demokratisasi. Perwujudan ketiga prinsip itu memuara pada upaya penciptaan kehidupan sosial manusiawi (human social life) yang merupakan cita kebudayaan Gus Dur.
Selain nilai-nilai demokrasi, terdapat lembaga-lembaga demokrasi, baik formal maupun nonformal. Lembaga formal demokrasi merujuk pada trias politika yang sayangnya pada era Orde Baru terbangun tidak berdasarkan garis batas konstitusional yang jelas. Pada era tersebut, eksekutif menguasai legislatif dan yudikatif, diperkuat dengan penguasaan atas militer dan partai politik. Hal itu yang memperlemah lembaga nonformal demokrasi, yakni pers dan lembaga swadaya masyarakat.
Pada era Orde Baru, lembaga formal demokrasi lalu menjadi penanda utama dari demokrasi. Kondisi inilah yang Gus Dur sebut sebagai ‘demokrasi institusional’ yang mana demokrasi hanya terdapat dalam kelembagaan negara tanpa pelaksanaan, baik dalam praktik kenegaraan, praktik politik, maupun praktik demokrasi itu sendiri. Dalam kualitas ‘demokrasi institusional’, lembaga demokrasi melikuidasi nilai-nilai demokrasi. Hal itu yang membuat Gus Dur melihat kualitas ‘seolah-seolah demokrasi’, padahal tidak demokratis dalam fakta politik.
Dalam konteks kontradiksi antara lembaga demokrasi dan nilai-nilai demokrasi inilah terdapat persoalan etis demokrasi. Persoalan tersebut mengacu pada ketidakmampuan lembaga demokrasi dalam mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, demokrasi kehilangan dimensi etisnya karena minus nilai-nilai yang menjadi landasan dan tujuan dari demokrasi itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi
Hanya, pemikiran Gus Dur tidak berhenti pada ktitik atas ‘institusionalisme demokrasi’. Melalui paparannya sebagai Ketua Perhimpunan Demokrasi (Fordem) pada 1991, Gus Dur menggagas urgensi pendirian Mahkamah Kontitusi (MK) sebagai mahkamah banding konstitusi. Bagaimana Gus Dur pada tahun itu sudah menggagas MK yang sejak 2003 didirikan di republik ini?
Gagasan tentang MK berangkat dari prinsip hubungan demokrasi dan hukum. Pada konteks ini, Gus Dur menilai bahwa hukum sangat penting dalam demokrasi sebab sebagai sistem politik, demokrasi dibangun di atas landasan hukum. Hal ini terlihat dalam berbagai perlindungan warga negara dalam konstitusi yang harus diwujudkan melalui demokrasi.
Hanya, alih-alih memenuhi hak warga negara melalui konstitusi, praktik politik justru sering menindas rakyat dengan menggunakan pranata hukum. Itulah yang membuat Gus Dur menggagas MK sebagai lembaga peradilan konstitusi yang membela warga negara dari kesewenangan negara atas nama hukum. Proses itu dilakukan MK melalui pengujian kembali undang-undang (UU) atas undang-undang dasar (UUD) atau judicial review. Manakala suatu UU dinilai menindas rakyat, UU tersebut mesti diuji kembali atas UUD sebab perlindungan warga negara terdapat dalam UUD 1945.
Dalam kerangka teori politik kontemporer, pemikiran Gus Dur itu masuk dalam teori demokrasi deliberatif (deliberative democracy) yang mana hukum dijadikan ‘engsel penyambung’ keterputusan negara dan masyarakat. Definisinya, ketika negara menindas rakyat, telah terjadi kolonisasi sistem (negara) atas dunia kehidupan (lebenswelt). Padahal, dunia kehidupan itulah rahim bagi negara. Oleh karena itu, untuk menghubungan kembali negara dan dunia kehidupan (masyarakat), dibutuhkan hukum.
Etika demokrasi
Berdasarkan penjelasan di atas, apakah yang dimaksud dengan etika demokrasi Gus Dur serta bagaimana relevansinya bagi kehidupan politik menuju Pilpres 2024?
Pertama, etika demokrasi Gus Dur ialah prinsip pengutamaan nilai-nilai demokrasi, melampaui keberadaan lembaga-lembaga demokrasi. Itu disebabkan berbagai lembaga demokrasi ialah alat bagi perwujudan nilai-nilai demokrasi demi membangun praktik politik kenegaraan yang benar-benar demokratis.
Kedua, etika demokrasi Gus Dur memuat nilai-nilai demokrasi yang komprehensif sejak di ranah politik (demokrasi politik), persamaan hukum (konstitusionalisme dan kewarganegaraan), serta keadilan sosial. Keseimbangan antara demokrasi politik dan keadilan sosial inilah yang disebut dengan ‘demokrasi sosial’ sebagaimana termaktub dalam Pancasila yang mana sila kerakyatan memuara pada sila keadilan sosial.
Ketiga, etika demokrasi Gus Dur memuara pada perjuangan membangun kualitas ‘demokrasi sosial’ tersebut berlandaskan supremasi hukum. Dengan demikian, kritik Gus Dur atas ‘demokrasi institusional’ dijawab oleh Gus Dur dengan mengagas suatu ‘demokrasi konstitusional’ melalui gagasan tentang MK. Gagasan tentang MK sebagai lembaga baru demokrasi ini Gus Dur letakkan dalam kerangka demokrasi deliberatif yang mana konstitusi dijadikan Gus Dur sebagai pembela rakyat dari penindasan negara yang dilakukan atas nama hukum.
Pertanyaannya, bagaimanakah kualitas demokrasi saat ini? Apakah sudah sesuai dengan etika demokrasi sebagaimana diidealkan dan diperjuangkan Gus Dur?
Di satu sisi, kita patut bersyukur bahwa nilai-nilai demokrasi mulai tumbuh pasca-Reformasi 1998, terutama dalam bidang demokrasi politik. Definisinya, kebebasan sipil dan politik telah dirayakan warga negara. Pilpres 2024 merupakan bukti dari kuatnya demokrasi politik tersebut.
Hanya, prinsip konstitusionalisme tengah mendapat ujian. Apalagi terjadi kecenderungan pemanfaatan MK, tidak sebagai mahkamah pembela warga negara dari kekuasaan, tetapi justru menjadi alat bagi kepentingan politik tertentu.
Kualitas demokrasi kita akhirnya mulai menjurus pada ‘demokrasi seolah-olah’ dalam kerangka ‘demokrasi elektoral’ tanpa pemisahan kekuasaan yang bersifat checks and balances antartiga lembaga trias politika. Pada saat bersamaan, kualitas budaya kewargaan (civic culture) juga masih lemah sehingga pilpres akan menghasilkan kontestasi politik minus pengadaban publik. Kagak heran jika dunia internasional, seperti survei Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2022, menempatkan demokrasi Indonesia sebagai ‘demokrasi cacat’ (flawed democracy) dengan skor 6,71.
Berdasarkan kenyataan itu, etos demokrasi Gus Dur perlu dikuatkan kembali sebab kontestasi pilpres telah menggeser budaya politik kita dari politik bernilai menjadi politik kekuasaan. Kalau seperti itu, sia-sialah para pendiri bangsa merumuskan nilai-nilai luhur sebagai dasar negara.