Enaknya Pejabat Kita

Nikmat Betul jadi pejabat di negeri ini. Sudah gajinya tinggi, tunjangan dan fasilitas berlimpah. Kalau tak Bisa mengatasi persoalan, tinggal menyalahkan rakyat.

Itulah hak-hak istimewa yang seolah melekat dalam pejabat. Memang, Tak Seluruh pejabat melakukan itu. Akan tetapi, beberapa Misalnya terkini memperlihatkan betapa pejabat mau enaknya sendiri. Tak mau susah, tak mau memeras otak banting tulang Kepada memenuhi tugas dan kewajibannya. Tak mau kaki menjadi kepala, kepala jadi kaki, Kepada melunasi sumpahnya sebagai abdi rakyat.

Pejabat idealnya punya kelebihan dari yang lain. Dia mesti pintar di atas rata-rata. Harus pula punya integritas dan kredibilitas istimewa.

Pejabat eloknya juga punya kapasitas sebagai problem solver. Bukan pencari masalah, apalagi pelempar masalah. Itulah kenapa pejabat berhak atas pendapatan yang tinggi. Dia dibayar mahal oleh rakyat.

Karena itu, geregetan betul rasanya ketika Eksis pejabat yang tak Bisa menjadi pemecah masalah di Begitu rakyat menghadapi masalah. Masalah minyak goreng, misalnya. Masalah ini sudah berlangsung sejak akhir 2021. Sudah Sekeliling empat bulan.

Awalnya harga minyak goreng melambung tinggi. Tinggi sekali. Lampau para pejabat di pemerintah mematok harga eceren tertinggi. Niatnya bagus agar rakyat tak dipermainkan produsen dan pedagang. Akan tetapi, hasilnya, minyak goreng langka. Rakyat susah mendapatkannya. Harga murah, tetapi barang Tak Eksis, apalah gunanya.

Cek Artikel:  Kepingan Kebahagiaan

Keinginan rakyat simpel, yakni barang gampang didapat, harga terjangkau. Tetapi, keinginan yang sederhana itu tetap saja berujung rumit. Pemerintah katanya sudah menempuh banyak langkah, tapi minyak goreng di lapangan tetap gaib. Lampau, muncullah pejabat yang menjadi pelempar kesalahan.

Dia adalah pejabat di Kementerian Perdagangan, kementerian yang bertugas mengurusi minyak goreng. Irjen Kemendag Didid Noordiatmoko awalnya mengungkapkan, produksi minyak goreng sudah mendekati kebutuhan dalam negeri. Sebaiknya, kata dia, kelangkaan Bisa segera teratasi.

Didid menekankan, pemerintah secara bertahap menyelesaikan persoalan. Tetapi, muncul persoalan baru Akibat dari kenaikan harga dan kelangkaan barang, yakni panic buying. Kata dia, ketika mendapat kesempatan, rakyat membeli Mengungguli kebutuhan. Hasil riset menyebutkan kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8-1 liter per bulan. Dia melontarkan indikasi, banyak rumah tangga menstok minyak goreng.

Bagi pejabat, kesengkarutan minyak goreng yang tak kunjung terurai karena salah rakyat. Coba kalau rakyat tak menimbun minyak goreng di rumah, Niscaya urusan sudah beres. Begitulah pikirannya. Gampang, sangat gampang. Padahal, jangankan menimbun, alih-alih menstok di dapur, Kepada mendapatkan barang seliter saja rakyat kebanyakan sulit.

Cek Artikel:  Desakralisasi Jokowi

Menyalahkan orang lain ketika tak berdaya menuntaskan masalah Jernih bukan kriteria pejabat yang Bagus. Apalagi yang disalahkan rakyat. Rakyat bukan tempatnya salah. Bukan kali ini saja rakyat jadi keranjang kesalahan.

Dulu, Begitu menjabat Menko Bidang Pembangunan Orang dan Kebudayaan, Puan Maharani mendapat sorotan miring. Begitu menanggapi permintaan Gubernur Made Mangku Pastika agar alokasi raskin daerah Bali dinaikkan, dia Bahkan berkelakar menjawab, ”Jangan banyak-banyak makanlah, diet sedikit Tak apa-apa.”

Eksis pula seorang menteri yang menyalahkan petani ketika harga cabai melambung. Kata dia, tingginya harga cabai menjadi siklus tahunan karena petani sangat responsif terhadap situasi di lapangan. Begitu harga naik, petani ramai-ramai menanam cabai. Ketika harga turun, mereka ogah menanamnya.

Ketika pandemi covid-19 menggila pun, beberapa kali pejabat menyalahkan rakyat. Tatkala kasus melonjak, Eksis saja yang bilang karena Penduduk Tak Taat pada protokol kesehatan. Di lain waktu, Eksis yang menyebut karena rakyat nekat mudik, ngotot liburan, maka penularan kembali luas.

Cek Artikel:  Membidik Cak Imin

Rakyat Bisa keliru. Tetapi tidaklah Benar menempatkan mereka sebagai muara kesalahan. Logikanya sebaiknya kita balik, kenapa rakyat tak Taat? Karena pejabat gagal Membikin mereka Taat. Padahal pemerintah oleh negara diberi segala perangkat Kepada memastikan rakyat Taat.

Menyalahkan rakyat sama saja tak pandai menari Lampau bilang Dasar terjungkat. Ibarat Tak baik Paras cermin dibelah. Ia berbahaya. Bukankah mereka yang selalu menutup-nutupi kesalahan dan menyalahkan pihak lain cenderung Lanjut-menerus berbuat kesalahan?

Akan tetapi, itulah enaknya menjadi pejabat di negeri ini. Beda dengan di negeri wakanda. Di sana, Kalau gagal, Kalau tak Bisa mengatasi masalah rakyat, pejabat tak menyalahkan rakyat. Ia yang bertanggung jawab, bahkan tak jarang yang memilih mundur menanggalkan segala kenyamanan. Itulah kesatria.

Pramoedya Ananta Toer pernah bilang, apa yang diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apa pun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji? Kita, setidaknya saya, pun sulit berharap kepada pejabat-pejabat model demikian.

Mungkin Anda Menyukai