IBARAT pertandingan silat, para jawara sudah sibuk adu jurus di pentas Pilkada 2024, mempertontonkan kepiawaiannya masing masing. Mereka tidak hanya mempertaruhkan kekuatan dan kelihaiannya sendiri. Di belakang berdiri para pelatih yang merancang strategi, dan petaruh yang menghitung untung rugi.
Jakarta menjadi salah satu panggung Pilkada akbar yang paling banyak disorot. Maklum banyak kamera media mengarah ke situ. Penontonnya publik se-Indonesia. Biarpun tidak akan lagi jadi ibu kota negara, tetap saja jadi pusat bisnis, dengan anggaran pemerintah daerah terbesar di antara semua provinsi yang ada. Tetap akan jadi gula, dan banyak semut yang memperebutkannya.
Para aktornya mulai mengembangkan jurusnya. Ridwal Kamil membuka dengan gerak ‘on the way’ (OTW) ke Jakarta. Awalnya Syahroni Partai NasDem menyambut, dalam bahasa Betawi, “lu jual, ane beli”. Kemudian panggung jadi riuh rendah ketika jawara Jakarta Anies Baswedan naik panggung, ditambah lagi ada Ahok Basuki Tjahaja Purnama. Juga muncul Kaesang Pangarep.
Baca juga : PDIP Formal Usung Tri Adhianto sebagai Bakal Calon Wali Kota Bekasi
Di belakang panggung, para suhu jauh-jauh hari sudah bekerja, mulai dari mengatur lawan, dan membuat prakondisi agar jagoannya unggul. Para pelatih, yang kepentingannya bisa jauh lebih besar dari para pendekarnya, memberikan kode-kode instruksi pada para petarungnya.
Spesialnya keputusan akhir, jurus apa yang akan dimainkan, siapa akan melawan siapa tidak akan ditentukan di lapangan. Para “kingmaker” bahkan bisa saja me-remote dari jauh, dan dari balik tirai. Eksis yang kelihatan, atau hanya bayang-bayangnya yang terbaca. Tak terlihat tapi terasa pengaruhnya.
Biarpun para aktor tampak perkasa, dan bisa saling sesumbar satu sama lain. Tetapi ibarat wayang, di belakangnya ada para dalang yang sesungguhnya. Apakah para aktor tersebut sedang bermain, sedang dimainkan, atau sekadar jadi obyek yang dipermainkan.
Baca juga : Biaya Pilkada 2024 di Jayapura Lelah Rp97 Miliar
Dengan berbagai regulasi, Pilkada, walaupun namanya pemilihan kepala daerah, sesungguhnya yang mengambil keputusan bukan orang daerah. Pemilih tinggal menyantap menu yang disodorkan oleh pusat. Pusat artinya di pimpinan pusat partai, dan di balik itu ada tokoh yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi partai-partai.
Kode Jokowi
Pertama, “kingmaker” Pilkada pasti Presiden Jokowi. Dengan pengalamannya sebagai walikota, gubernur, dan presiden pasti sangat paham kriteria seorang kepala daerah yang ideal. Sangat masuk akal kalau mempunyai keinginan seluruh kepala daerah di Indonesia, diisi oleh figur yang seperti pola idealnya.
Selain punya idealisme politik yang ingin diwujudkan, powernya sangat memungkinkan untuk mwengendorse para kandidat, setidkanya di wilayah strategis. Bagi kesatria Jawa berlaku ungkapan “dhupak bujang, esem mantri, semu bupati”. Maksudnya kalau untuk pemain tingkat bawah diberi tahu dengan cara ditendang, pemain tengahan cukup dengan senyum, kalau sudah canggih raut muka sudah bisa dibaca. Mungkin ini salah satu gaya cawe-cawe Jokowi. Mirip gaya Pak Harto, cukup “senyumin saja”.
Baca juga : KPU Koordinasi dengan BMKG soal Ancaman Hujan saat Pilkada 2024
Seorang gubernur pernah bercerita membawa seorang walikota yang habis masa jabatannya menghadap Pak Harto. Hanya dengan bertanya apakah walikota tersebut tidak bisa menjabat dua kali, pesan presiden sudah ditangkap. Maksudnya gubernur harus membantu agar walikota tersebut bisa menjabat lagi.
Maka banyak gaya berpolitik Jokowi dalam bentuk kode kode. Ketika bertemu seorang relawan di sebuah mal di Solo, dan menyiratkan adanya dukungan pada Kapolda Luthfi untuk maju di Pilgub Jawa Tengah, cukup jadi amplifikasi media yang ampuh.
Hal yang sama pernah terjadi menjelang Pilpres, seringnya kunjungan di Jawa Tengah diterima sebagai kode bahwa calon yang didukungnya harus menang di provinsi ini. Juga ketika sering berkunjung di Sumatera Utara, ditafsirkan sebagai kode penggalangan dukungan untuk Bobby Nasution sebagai calon gubernur.
Baca juga : Demokrat Persilakan Nagita Slavina Diusulkan Jadi Bacalon Wagub Sumut
Kesan ada pengaruh di Jakarta, terlihat dari pernyataan Ketua Standar DPP PAN Zulkifli Hasan setelah bertemu Jokowi mengusulkan Ridwan Kamil sebagai Gubernur dan Kaesang Pangarep sebagai Wakil Gubernur. Hal seperti ini biasa terjadi. Begitu Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden, Partai Demokrat menang di Pileg, dan kadernya menjadi kepala daerah di mana mana.
Keikhlasan Prabowo
Gaya Prabowo tak kalah unik. Sebagai jenderal pasti menghayati kultur disiplin, memegang prinsip, namun juga luwes dalam berpolitik. Setelah melewati gelombang ketegangan politik reformasi 1998, dan Megawati menjadi simbol perlawanan pada rezim Soeharto, Prabowo bisa bergabung menjadi pasangan pada Pilpres 2009.
Juga setelah kalah dua kali dalam Pilpres 2014 dan 2019, bersedia bergabung dalam pemerintahan Jokowi. Berusaha melupakan masa lalu demi masa depan yang lebih baik, banyak yang merumuskan sebagai keikhlasan Prabowo. Gaya merangkul semua pihak itu mewarnai gayanya dalam menyikapi Pilkada.
Implementasinya pasti ingin memastikan sebanyak-banyaknya kader yang bisa memenangkan kontestasi Pilkada. Tetapi sebagai simbol kepemimpinan yang menoleransi perbedaan demi kebersamaan, bisa saja mengalahkan kadernya sendiri. Misalnya demi kekompakan Koalisi Indonesia Maju dan mengakomodasi endorse Jokowi ke Luthfi di Jawa Tengah, akan meminta kadernya untuk mengalah. Sudaryono Ketua DPD Gerindra Jawa Tengah, calon kuat Gubernur, akhirnya ditarik menjadi Wakil Menteri Pertanian.
Gerindra juga mendukung Ridwal Kamil, Wakil Ketua Standar Partai Golkar untuk maju di Jakarta, agar kader Gerindra Dedi Mulyadi bisa tampil di Jawa Barat. Juga mengakomodasi Bobby Nasution di Sumatera Utara, sebagai simbol kedekatannya dengan Jokowi.
Disiplin, tegas, tapi luwes dan simbol kepemimpinan nasional, Prabowo bukan saja akan tampil akomodatif, tetapi juga ikhlas kalau perlu berkorban demi kepentingan yang lebih besar.
Tegak lurus Megawati
Ketua Standar DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri pasti punya pengaruh yang sangat besar. Pertama karena fakta menjadi pemenang Pileg 2024. Ini sukses ketiga kalinya, walaupun akumulasi kursi menurun, baik di DPR RI maupun di DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Kedua karena disiplin dan loyalitas tinggi di internal Partai Banteng. Bukan hanya loyalitas pada partai, tetapi pada Megawati pribadi sebagai pemegang hak prerogratif yang diberikan Kongres. Dalam bahasa internalnya, tegak lurus pada perintah Ibu.
Gaya PDIP ini memberi kesan kaku dan kurang gesit mengantisipasi perubahan yang cepat. Misalnya perubahan dominasi elektoral, membutuhkan keputusan cepat. Sementara PDIP sering mengambil keputusan pada detik detik terakhir. Ini menyebabkan para jagoan di lapangan kehilangan waktu untuk bermanuver.
Posisinya yang tidak lagi menjadi “market leader”, membutuhkan penyesuaian, bahkan langkah kompromi yang tak terhindarkan. “Style” Megawati ini memang sering memberi kesan gaya berpolitik yang kokoh, percaya diri, sekaligus juga dingin dan kaku.
Mungkin jika dikombinasikan dengan gaya Puan maharani-Taufik Kiemas, gaya komunikasi politik PDIP akan lebih luwes, untuk pada akhirnya memenangkan perang. Bukan hanya fokus apa pertempuran yang terikat waktu dan tempat.
Jurus Surya Paloh
Surya Paloh sering membuat lawan mati langkah, kehilangan ruang untuk memukul. Jejaknya yang khas antara lain ketika mengusulkan Ilham Habibie menjadi calon Gubernur Jawa Barat. Semula mengejutkan, kemudian mencengangkan.
Mirip ketika memecahkan kebuntuan pencalonan Pilpres, dan Anies Baswedan diusulkan, goncang pasar politik Pilpres. Apalagi saat Muhaimin dicawapreskan, bergeraklah dinamika Pilpres. Musuh dan kawan mempercepat langkah untuk menjalankan bidak caturnya. Juga ketika mendukung Anies dan menarik kadernya sendiri di Jakarta. Bahkan menawarkan Sandiaga Uno di Jawa Timur.
Ilham Habibie bukan siapa-siapa dalam belantara persilatan politik Indonesia. Ia boleh sebagai anak biologis BJ Habibie, legenda yang pernah menjadi presiden. Ia boleh berpengalaman dalam teknologi pesawat terbang dan memimpin korporasi bisnis yang besar. Tetapi politik membutuhkan rekam jejak, butuh jam terbang.
Tetapi Surya Paloh telah melemparkannya memasuki orbit baru. Sebuah pilihan dan alternatif untuk memecah kebuntuan pasar, yang “out of the box”. Belum tentu berhasil, tetapi setidaknya menunjukkan jurus dan gayanya sebagai politisi yang tangguh. Ketika dukungan politik kecil, dan tidak punya figur yang kuat, ada saja terobosannya. Tak ada matinya.
Pergerakan empat “kingmaker” ini yang makin nyata. Eksis persaingan, dan ada persandingan.