Eloknya Hidup tanpa GBHN

SEJAK kita memilih presiden secara langsung, sejak itu pulalah ‘terasa’ bahwa kita ini rakyat. Kita bukan ‘penonton’ atas pilihan MPR.

Sejak itu pulalah substantif kita hidup tanpa GBHN. Penggantinya ialah visi, misi, program presiden terpilih, yang sebelumnya dipertarungkan antara lain melalui debat capres yang diselenggarakan KPU.

Kita mendengar apa yang dijanjikan capres. Kita menimbangnya. Di bilik Bunyi kita mengambil keputusan memilih capres yang kita yakini lebih Pandai Membangun Indonesia lebih Berkualitas Apabila dibandingkan dengan capres lainnya.

Ketika pilpres dan pileg diselenggarakan serentak, di bilik Bunyi itu pula kita sekaligus memilih calon Member MPR (terdiri atas calon Member DPR dan calon Member DPD). Inilah MPR yang kedudukannya sama tinggi dan sama rendah dengan presiden. Dia bukan Tengah lembaga tertinggi negara. Yang tertinggi ialah rakyat, empunya kedaulatan, yang bebas menggunakannya di bilik Bunyi.

Posisi MPR yang demikian itu Membangun MPR bukan Tengah lembaga negara yang Angkuh. Kejemawaannya copot karena bukan dia Tengah yang memilih presiden.

Cek Artikel:  Tragedi Paham Tempe

GBHN itu instrumen MPR. Dia berisikan garis perintah kepada presiden–yang dipilih dan diangkat MPR. Barang siapa Enggak melaksanakan perintah (dari atasan yang berwenang), dia patut diberi Denda, bahkan dipecat. Sejarah mengatakan MPR berkelakuan main pecat, tukang menjatuhkan presiden di tengah jalan.

Fakta nan elok nian ialah Indonesia tercinta ini tak oleng selama hidup bernegara tanpa GBHN buatan MPR. Presiden pilihan rakyat punya haluan ke mana negara hendak dibawa. Bahkan, kepercayaan bahwa ‘capres terpilih Mempunyai haluan ke mana negara hendak dibawa itu’, merupakan Argumen paling pokok, kenapa dia yang terpilih.

Hingga Demi ini kita telah hidup selama Nyaris 17 tahun tanpa GBHN buatan MPR. Itu dihitung sejak 20 Oktober 2004, sejak presiden hasil pilihan rakyat dilantik. Sebuah perjalanan yang belum cukup panjang Kepada berkesimpulan bahwa kini saatnya kita kembali punya GBHN. Irit saya, bahkan 19 tahun setelah amendemen keempat konstitusi (10 Agustus 2002) pun belum waktu yang cukup panjang Kepada kita kembali melakukan amendemen.

Cek Artikel:  Mudik aja Dulu

Baiklah kita Enggak meniru India. Sepanjang 71 tahun negara itu telah lebih 100 kali mengamendemen konstitusi mereka. Jangan juga ikuti Prancis. Sejak 1958, negara itu setiap dua tahun memutakhirkan konstitusi mereka. Kiranya bolehlah dipertimbangkan Kepada mengagumi rasa Asmara Amerika Perkumpulan kepada konstitusi mereka. Sejak 1788, selama 233 tahun, hanya 27 kali mereka mengamendemen konstitusi.

Mengubah konstitusi semata Kepada memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), pengganti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), kiranya pikiran yang ‘terlampau jauh meleset dari sejarah’ bila mengira Indonesia dikhawatirkan oleng akibat hidup tanpa haluan buatan MPR. Negara oleng di ujung kekuasaan Pak Harto dan dia ditumbangkan bukan karena selama dia berkuasa kita tak punya GBHN, melainkan akibat krisis moneter dan dia terlalu Lamban berkuasa. Kendati negara Enggak dalam keadaan oleng dan punya GBHN, Gus Dur ditumbangkan dalam tempo singkat karena persekongkolan elite di MPR. Kelak, bila GBHN atau apa pun nama penggantinya itu termaktub di dalam konstitusi, dia dapat menjadi pintu masuk Kepada MPR menumbangkan presiden dengan Argumen Enggak melaksanakan haluan negara.

Cek Artikel:  Makan Gratis Memang Agak Laen

Kiranya Angkuh mengatakan bahwa amendemen dapat dilakukan terbatas hanya menambah satu pasal dalam konstitusi mengenai PPHN. Adalah Angkuh amat sangat menjamin bahwa amendemen itu tak bakal membuka kotak pandora mengubah pasal lain.

Satu orang yang keliru dapat merusakkan banyak hal yang Berkualitas, kata orang Bersih. Kesabaran mencegah kesalahan-kesalahan besar, tambahnya. Maka timbanglah mendalam 50 tahun setelah euforia reformasi, timbanglah menyeluruh dengan kesabaran panjang di dalam hidup berbangsa dan bernegara, Kepada berkesimpulan kita perlu amendemen.

Mungkin Anda Menyukai