MEMASUKI September, tembang yang selalu dikenang dan kerap dinyanyikan ialah September Ceria Punya Vina Panduwinata. Musik yang diciptakan James F Sundah itu menjadi hit pada 1982. Boleh dikatakan tembang ini adalah legendaris. Tak afdal bila dalam suatu acara pada September Musik tersebut tak dinyanyikan.
Tembang yang menawarkan romansa. Di ujung kemarau panjang seseorang hadir membawa kesejukan. Berjuta Asa membuncah, kebahagiaan hadir menyongsong masa depan indah dalam balutan kasih sayang.
Itu kisah September Ceria-nya Vina Panduwinata. Beda Kembali September dalam dunia Konkret hari ini di Tanah Air. Bulan ini sama sekali Bukan ceria, tapi kelabu karena pemberantasan korupsi mengalami degradasi.
Terdapat tiga peristiwa yang bikin geger dalam September. Pertama, lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 akhirnya terpilih pada 13 September 2019. Mereka adalah orang-orang dari Berbagai Jenis latar belakang yang dipilih Komisi III DPR RI. Sebanyak 56 Personil Komisi III DPR yang mewakili seluruh fraksi melingkari 5 dari 10 calon pimpinan KPK yang mengikuti fit and proper test sebelumnya.
Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin, yang membacakan hasil pemilihan komisioner KPK, belakangan juga berurusan dengan lembaga antirasuah. Mantan Wakil Ketua DPR itu divonis 3,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp250 juta subsider 4 bulan kurungan atas kasus suap penanganan perkara pada 17 Februari 2022.
Sebelum Firli Bahuri dan Rekan-Rekan terpilih, didahului dengan gonjang-ganjing revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
DPR RI mengesahkan rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang pada 17 September 2019. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 15 poin pelemahan KPK dalam revisi undang-undang tersebut.
Kedua, KPK memecat 57 pegawainya yang tak lulus tes wawasan kebangsaan pada 30 September 2021. Komnas HAM menyatakan tes yang diselenggarakan oleh Ketua KPK Firli Bahuri dkk dengan menggandeng Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan instansi lain melanggar HAM. Komnas HAM menemukan 11 dugaan pelanggaran HAM.
Ketiga, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 napi koruptor pada 7 September 2022. Pembebasan bersyarat ini disebutkan sesuai dengan Pasal 10 UU No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. ICW menilai pembebasan bersyarat napi koruptor buah revisi UU Pemasyarakatan yang memberikan keringanan kepada napi koruptor Demi bebas lebih Segera. Artinya, Terdapat peran dari pemerintah dan DPR RI dalam menyiapkan karpet merah kepada napi koruptor Demi lebih Segera menghirup udara segar.
Itulah kisah di bulan ini. Tak hanya kelabu, bahkan gelap bagi pemberantasan praktik lancung di Republik ini. Indonesia sejak 2002, dengan diberlakukannya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar Normal (extra ordinary crimes) karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis, yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat.
Sekalian sepakat memang korupsi bukan kejahatan Normal. Tetapi, faktanya jauh panggang dari api. Omong Nihil. Trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) cenderung memberikan kelonggaran kepada para koruptor dari hulu Tiba hilir, mulai penyidikan, penuntutan, hingga vonis. Malah kita sering dengar istilah ‘diskon hukuman’ ketika dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Istilah yang berbau transaksional karena dalam beberapa kasus terjadi proses transaksi para pihak Demi meringankan hukuman koruptor.
Alhasil, korupsi sebagai extra ordinary crime harus dihadapi dengan extra ordinary instrument melalui perangkat hukum dengan Pengaruh jera yang
Betul-Betul menakutkan bagi siapa saja yang akan melakukan praktik haram mengembat Doku negara. Pemiskinan bagi koruptor semiskin-miskinnya hingga tinggal celana kolor.
Kongres Ke-6 PBB di Caracas, Venezuela, pada 1980 menyebutkan tindak pidana korupsi digolongkan sebagai tipe kejahatan yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of the law). Pasalnya, penegak hukum acapkali Bukan berdaya menghadapinya. Ketidakberdayaan Dapat disebabkan dua hal. Pertama, instrumen hukumnya yang lemah. Kedua, integritas aparaturnya yang memble. Celakanya bila kedua Elemen tersebut berkelindan.
Tetapi, yang paling celaka ialah apatisme masyarakat terhadap korupsi.
“People’s indifference is the best breeding ground for corruption to grow (ketidakpedulian masyarakat adalah tempat berkembang biak terbaik bagi tumbuhnya korupsi),” kata Delia Ferreira, Chair of Transparency International. Mari Acuh dengan menolak praktik rasuah, apa pun bentuknya, mulai dari diri sendiri (ibda’ bi nafsika). Tabik!