SELAMA dua tahun terakhir, Indonesia kembali menjadi importir beras, bahkan dalam jumlah yang sangat besar. Impor beras dilakukan untuk menanggulangi neraca beras yang telah atau menjelang defisit, untuk menjaga stok pangan nasional dan stabilisasi harga, serta untuk mengantisipasi terhadap risiko disrupsi produksi dan stok beras karena gangguan internal dan eksternal yang akan terjadi.
Pada masa El Nino atau kekeringan ekstrem tahun 2023, Indonesia telah mengimpor beras sebesar 3 juta ton senilai Rp 29,5 triliun. Pada masa La Nina atau kemarau basah tahun 2024 ini, impor beras direncanakan sebesar 4,3 juta ton untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk gangguan ketersediaan stok. Hingga bulan Juni 2024, Indonesia telah mengimpor beras sebesar 2,3 juta ton senilai Rp22,9 triliun, yang sering mengundang tafsir politik rente ekonomi dan vested interests lainnya.
Konsumsi beras langsung (direct consumption) rata-rata penduduk Indonesia pada 2023 ialah 93,8 kg/kapita/tahun, atau telah menurun signifikan dari 94,9 kg/kapita/tahun pada 2019. Berhubung total penduduk Indonesia terus bertambah, maka total konsumsi beras masih terus naik dari 28,96 juta ton pada 2019 menjadi 30,61 juta ton.
Baca juga : Pengamat Birui Impor Beras sebagai Upaya Menjaga Harga dan Pasokan di Masa Sulit
Pada periode yang sama 2019-2023, total produksi beras menurun dari 31,29 juta ton pada 2019 menjadi tercatat 31,10 juta ton pada 2023. Pada periode tersebut, surplus neraca beras berkurang dari 2,33 juta ton pada 2019 menjadi 0,49 juta ton pada 2023. Penurunan surplus neraca beras ini menjadi salah satu alasan keputusan kebijakan impor beras pada 2023 dan 2024 ini.
Selain upaya reguler peningkatan produksi dan produktivitas yang perlu dijalankan pemerintahan baru, strategi diversifikasi atau penganekaragaman pangan juga perlu ditekankan. Penganekaragam pangan tidak hanya bermanfaat untuk menjaga neraca pangan secara makro, tapi juga demi meningkatkan kualitas konsumsi di tingkat individu dan rumah tangga secara mikro.
Penganekaragaman pangan juga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas ketahanan pangan dengan memperbaiki pola pangan harapan (PPH) atau desirable dietary pattern (DDP) sebagai salah satu elemen penting dalam perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Baca juga : Demurrage Impor Beras Mencuat, Ketahanan Pangan Gagal Diwujudkan
Maksudkel ini membahas ekspektasi penganekaragaman dalam memperbaiki neraca pangan, atau meningkatkan ketersediaan pangan serta perbaikan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman (B2SA). Penutup artikel ini ialah usulan rekomendasi perubahan kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintahan baru mendatang.
k
Diversifikasi untuk gizi seimbang
Baca juga : Krisis Pangan Terdeteksi sejak Impor Beras, Bukti Pemerintah hanya Pusat perhatian Pada Ketahanan Pangan
Setelah ditunggu hampir 2 tahun, landasan hukum atau aransemen kelembagaan tentang diversifikasi pangan telah ditetapkan pada 15 Agustus 2024 melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Mengertin 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lelahl.
Penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman serta berbasis pada potensi sumber daya lokal (Pasal 1 Perpres 81/2024).
Penganekaragaman pangan bertujuan meningkatkan kualitas asupan pangan agar seluruh kebutuhan gizi manusia dapat terpenuhi dari diet sehat B2SA. Penganekaragaman pangan juga bertujuan meningkatkan kualitas kesehatan dan status gizi masyarakat untuk mampu mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Selama lebih dari dua deakde terakhir, skor pola pangan harapan (PPH) meningkat cukup signifikan, dari 70,5 pada 2022 menjadi 94,1 pada 2023, atau lebih dari 1.0 poin skor PPH.
Baca juga : Puan Maharani Dorong Pemerintah Siapkan Solusi Jangka Panjang Atasi Krisis Pangan
Determinan perbaikan kualitas penganekaragaman pangan cukup beragam, mulai dari laju pertumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, pengendalian laju inflasi, daya beli masyarakat, sistem jaring pangaman sosial, dan implementasi kebijakan penganekaragaman pangan.
Bingungkatan konsumsi pangan hewani dan sayur serta buah menjadi salah satu faktor penting dalam memengaruhi skor PPH Indonesia. Bingungkatan skor PPH saat ini dapat dikatakan cenderung stagnan (levelling-off) karena secara agregat telah mendekati skor ideal.
Persoalan penganekaragaman pangan kini telah bergeser menjadi lebih kompleks dan meluputi hal strategis berikut: (1) Penganekaragaman pangan pokok atau pangan lokal masih jauh di bawah target, (2) Skor PPH pada penduduk kelas menengah ke bawah jauh di bawah rata-rata penduduk Indonesia, (3) Kualitas dan kuantititas penganekaragaman pangan sangat elastis terhadap peningkatan pendapatan.
Tingkat konsumsi beras dan terigu penduduk Indonesia sangat tinggi, bahkan menjadi dua sumber karbohidrat penting. Penurunan konsumsi beras justru disubstitusi oleh konsumsi terigu, walaupun Indonesia bukan penghasil gandum.
Hasil Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi beras Indonesia pada 2023 tercatat 93,75 kg/kapita dan terigu mencapai 23 kg/kapita. Konsumsi kedelai mencapai 9,3 kg/kapita walaupun ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai mencapai lebih dari 70%.
Konsumsi ikan mendominasi konsumsi pangan hewani di Indonesia, sedangkan konsumsi pangan hasil ternak banyak didominasi oleh daging unggas dan telur. Hal yang cukup jelas ialah bahwa tingkat konsumsi pangan hewani sangat elastis terhadap pendapatan dan harga sehingga keragamannya lebih banyak dijumpai pada kelompok menengah ke atas.
Substansi penganekaragaman pangan merupakan substansi penting dari peningkatan ketersediaan pangan yang beragam, berbasis potensi sumber daya lokal untuk (a) memenuhi pola konsumsi pangan B2SA, (b) mengembangkan usaha pangan, dan/atau (c) meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 41 UU 18/2012 tentang Pangan).
Penganekaragaman pangan dilakukan melalui (1) Optimalisasi pangan lokal, (2) Pengembangan teknologi pengolahan pangan lokal, (3) Sistem insentif bagi usaha pengolahan pangan lokal, (4) Pengenalan jenis pangan baru, termasuk pangan lokal yang belum dimanfaatkan, (5) Penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang pangan, dan (6) Pengembangan industri pangan yang berbasis pangan lokal (Pasal 25 PP 17/2015).
Literatur telah sangat jelas menyimpulkan bahwa determinan penganekaragaman konsumsi pangan dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Internal makanan, meliputi ciri sensorik (rasa, bau tekstur) dan ciri persepsi (warna, porsi, ukuran, nilai gizi, nilai kesehatan, kualitas makanan); (2) Eksternal makanan, meliputi informasi pangan (label gizi, klaim kesehatan, kemasan, estetika, sejarah produksi, merek, dan iklan), lingkungan sosial (faktor intrapersonal, norma sosial, dukungan sosial, media sosial), lingkungan fisik (ketersediaan pangan dan akses pangan); (3) Kondisi individu, meliputi ciri biologis (faktor genetik, pola diet dan metabolisme pribadi, kondisi fisik), kebutuhan fisiologis (kelaparan, nafsu makan), komponen psikologis (emosi, motivasi, kepribadian), kebiasaan dan pengalaman; (4) Kognitif, meliputi pengetahuan dan keterampilan, sikap dan preferensi, serta karakteristik pribadi (usia, jenis kelamin, identitas etnis, pendidikan, nilai-nilai pribadi, keyakinan); dan (5) Sosial-budaya, meliputi kebudayaan (norma, nilai), ekonomi (pendapatan, harga), serta elemen politik (kebijakan dan peraturan terkait gizi, (Kristin et al, 2016, Chen and Antonelli, 2020, Martianti, 2024).
Rekomendasi perubahan kebijakan
Pertama, peningkatan produksi pangan lokal yang beragam, meliputi dukungan komprehensif strategi diversifikasi produksi pangan di hulu. Pengembangan agribisnis terpadu komoditas pangan lokal berkelanjutan, setidaknya dengan memanfaatkan strategi eksisting, atau yang menunjukkan keberhasilannya pada periode administrasi pemerintahan sebelumnya.
Kedua, pengembangan optimalisasi pekarangan pangan pokok, sayuran dan buah, kacang-kacangan, pangan hewani, melalui alokasi anggaran yang memadai, termasuk pemanfaatan 20% dari alokasi Biaya Desa untuk ketahanan pangan. Ketiga, penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui pemberdayaan dan pelatihan sumber daya manusia lokal dan tingkat lapangan.
Keempat, dukungan kebijakan penganekaragaman pangan melalui pengarusutamaan produksi dan konsumsi pangan lokal, fasilitasi pengembangan pangan lokal, pangan fortifikasi, promosi, komunikasi dan edukasi perubahan perilaku secara komprehensif. Dan, kelima, dukungan penelitian dan pengembangan (R&D), ekosistem inovasi teknologi, untuk mendukung peta jalan penganekaragaman pangan ke depan.