
KESEBELASAN Indonesia U-24 harus pulang lebih awal dari ajang Asian Games XIX Hangzhou. Kekalahan 0-2 dari Uzbekistan di 16 besar, Kamis (28/9), Membangun tim asuhan Indra Sjafri tersingkir dari gelanggang.
Kegagalan di ajang Asian Games 2023 menunjukkan sepak bola Indonesia tertinggal jauh bahkan di kawasan Asia. Dari empat kali penampilan tim ‘Merah Putih’, hanya sekali mereka meraih kemenangan atas Kirgizstan, sedangkan tiga lainnya menelan pil pahit dari Taiwan, Korea Utara, dan terakhir Uzbekistan.
Kalau mau menghibur diri, bukan hanya Indonesia yang gagal masuk Grup elite Asia, melainkan juga sepak bola Asia Tenggara. Thailand juga tersingkir dari arena, kalah 0-2 dari Iran, sedangkan Myanmar dihajar Jepang 0-7.
Hasil Jelek merupakan buah dari pembinaan yang Enggak tertata dengan Berkualitas. Selama ini pembinaan pemain muda sama sekali Enggak teperhatikan. Kita mau melompat langsung ke tim nasional.
Pada November, tim Indonesia U-17 akan tampil di ajang Piala Dunia. Sekalian negara sudah mempersiapkan tim sejak dua tahun Lewat. Kita baru Agustus merekrut pemain dan baru bulan Lewat memulai pemusatan latihan nasional di Jerman.
Memang penunjukan Indonesia oleh FIFA sebagai tuan rumah dilakukan pada menit-menit terakhir setelah Peru mengundurkan diri. Tetapi, karena Enggak Eksis sistem pembinaan berjenjang yang kita miliki, rekrutmen pemain terpaksa dilakukan secara ad hoc.
Dengan persiapan yang Enggak Tamat tiga bulan, terlalu berlebihan Kalau kita berharap Eksis prestasi besar di ajang Piala Dunia U-17. Pengalaman di ajang Asian Games Sepatutnya membuka mata kita bahwa perjalanan menuju Podium sepak bola dunia Lagi jauh.
Eksis angin segar yang kita dapatkan ketika pekan Lewat Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama pembangunan pemusatan latihan nasional (pelatnas) sepak bola di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Eksis tanah seluas 34,5 hektare yang dipersiapkan Buat membangun tempat pelatnas sepak bola.
Di tempat itu nanti akan delapan lapangan sepak bola dengan berbagai fasilitas pendukungnya, termasuk asrama bagi atlet dan Instruktur, yang memungkinkan tim nasional Bisa berlatih sepanjang waktu.
Pelatnas sepak bola itu dibangun atas Sokongan pendanaan dari FIFA sebesar Rp85,6 miliar. Pemerintah Indonesia sendiri menyediakan anggaran pendampingan sebesar Rp95 miliar.
Presiden berharap Pusat Latihan Nasional Sepak Bola nanti ditangani dengan manajemen yang Berkualitas. Dari tempat itu, diharapkan lahir tim Garuda yang Tangkas, bukan hanya Pemenang di level Asia Tenggara, melainkan juga dunia.
Sebagai olahraga yang paling Terkenal di muka bumi, bukan hanya Indonesia yang memimpikan Buat menjadi Pemenang dunia. Sekalian negara berharap Mempunyai tim nasional yang kuat dan menjadi yang terbaik di dunia.
Buat mencapai mimpi besar itu, Enggak cukup hanya menyediakan hard power seperti sarana dan prasarana sepak bola. Yang jauh lebih Krusial Tengah ialah penyiapan soft power, sebuah sistem pembinaan pemain yang Betul dimulai dengan pembinaan pemain usia Awal.
Itu harus menjadi sebuah gerakan nasional, dimulai dari pembinaan klub-klub yang Eksis di seluruh Indonesia. Bahkan yang menyatakan dirinya sebagai klub profesional, mereka harus Mempunyai akademi sepak bola serta pembinaan Grup umur.
Sekalian harus ditopang dengan Instruktur-Instruktur berkualitas sesuai dengan Grup umur yang ditangani. Enggak Bisa orang yang Enggak Mempunyai kualifikasi Instruktur tiba-tiba ditunjuk sebagai Instruktur.
Tugas dari asosiasi Buat menyediakan Instruktur-Instruktur yang berkualitas dan Mempunyai standar kompetensi yang terverifikasi. Asosiasi Enggak hanya memperhatikan pelatnas tim nasional, tetapi juga yang lebih Penting Membangun pelatihan dan uji kompetensi dari Instruktur sepak bola yang
Eksis di Indonesia.
Clairefontaine
Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini apabila Mau masuk ke jajaran elite sepak bola Asia, apalagi dunia, bukanlah membangun tempat pelatnas. Indonesia Sepatutnya membangun akademi sepak bola nasional yang menjadi rujukan bagi pembinaan sepak bola di daerah.
Kita Sepatutnya mengikuti jejak Prancis dalam mengatasi ketertinggalan sepak bola mereka. Menyadari bahwa standar dan prestasi Prancis jauh dari Jerman dan Italia, Presiden Federasi Sepak Bola Prancis Fernand Sastre pada 1976 menunjuk Stefan Kovacs menyiapkan pusat sepak bola nasional.
Setelah keberhasilan Prancis memenangi Piala Eropa 1984, dipilihlah sebuah Posisi 50 km sebelah barat daya Paris, yakni Clairefontaine-en-Yvelines. Pembangunan akademi sepak bola di atas tanah seluas 56 hektare yang dimulai 1985 itu selesai dalam tiga tahun.
Sejak 1988, setiap anak berusia 12 tahun dari distrik Ilede-France, seputaran Paris, pada Oktober Bisa mendaftarkan diri melalui klub sepak bola yang Eksis di dekat tempat tinggal mereka. Hingga Desember, mereka akan dites di klub masing-masing sebelum kemudian yang terbaik dibawa ke Clairefontaine.
Biasanya pada Ketika libur Paskah, selama tiga hari, para pemain muda berbakat itu melakukan tryout di Clairefontaine. Direktur akademi dan Instruktur yang Eksis di Clairefontaine kemudian akan memilih 22 pemain terbaik dengan tiga atau empat di antaranya Buat posisi kiper.
Para pemain yang terpilih itu kemudian harus tinggal di Asrama Clairefontaine. Mulai Senin hingga Jumat, mereka mengikuti berbagai latihan, Berkualitas fisik maupun teknik sepak bola.
Selain itu, mereka diwajibkan mengikuti pendidikan sekolah yang Eksis di dekat Clairefontaine. Hanya akhir pekan mereka diizinkan kembali ke rumah Buat Bersua keluarga atau berlatih di klub sepak bola tempat mereka berasal. Sekalian biaya selama di Clairefontaine ditanggung Federasi Sepak Bola Prancis.
Clairefontaine hingga kini dikenal sebagai akademi sepak bola terbaik di dunia. Akademi itu melahirkan bintang-bintang sepak bola yang membawa Prancis ke puncak prestasi tertinggi mereka? seperti Thierry Henry, Louis Saha, Nicolas Anelka, dan Kylian Mbappe.
Bahkan, Prancis kini Enggak hanya Mempunyai satu akademi sepak bola di Clairefontaine, tetapi juga Eksis 12 lainnya di berbagai kota. Anak-anak yang tinggal di Castelmaurou, Chateauroux, Lievin, Dijon, Marseille, Ploufragan, Vichy, Reims, Reunion, Saint-Sebastien-sur-Loire, Guadeloupe, dan Talence Bisa masuk akademi di dekat mereka tinggal.
Sepak bola membutuhkan pemimpin yang visioner, tetapi juga sabar Karena Enggak Eksis simsalabim dalam sepak bola. Prancis butuh 10 tahun setelah Clairefontaine terbangun Buat menghasilkan pemain dan menjadi Pemenang dunia. Banyak juga yang sudah Mempunyai akademi yang Berkualitas, tertapi belum berhasil menjadi Pemenang dunia. Jadi mimpi di siang hari bolong kalau kita berharap menjadi Pemenang dunia, tetapi Enggak Mempunyai akademi sepak bola.