Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur dan Praktik Korupsi

Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur dan Praktik Korupsi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

DALAM dua dekade terakhir, pemerintah Indonesia terlihat sangat agresif memberikan perhatian dan meletakkan prioritas kebijakan dalam pembangunan infrastruktur ekonomi. Kendati demikian, seiring dengan denting dawai komitmen pemerintah dalam pembangunan infrastruktur tersebut, juga telah disertai oleh maraknya praktik korupsi.

Sejumlah pejabat pada lembaga eksekutif dan politisi di lembaga legislatif, utamanya di daerah, telah terseret ke meja hijau, kemudian dipenjara lantaran terbukti melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam penggunaan alokasi anggaran untuk infrastruktur. Data Kompas mengindikasikan bahwa sampai dengan Januari 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani sebanyak 155 kasus wali kota/bupati dan wakilnya serta 23 kasus gubernur (Kompas, 21/3/2023).

Pertanyaannya kemudian, apakah fakta terjadinya tindak pidana korupsi tersebut mengonfirmasi hadirnya praktik ‘fungsi-ganda’ infrastruktur sebagaimana disinyalir oleh Easterly and Serven (2003), yang menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya berperan sebagai variabel determinan bagi pertumbuhan dan daya saing ekonomi, tetapi juga sebagai ‘komoditas politik’ bagi para elite penyelenggara pemerintahan?

 

Pengalaman negara lain

Fakta bahwa sejauh ini sebagian besar pembangunan infrastruktur di negara-negara sedang berkembang masih ditangani oleh pemerintah adalah kenyataan yang sulit untuk dimungkiri. Kendati, di sisi lain, partisipasi swasta telah mulai meningkat pada beberapa sektor, peran pemerintah tetap menjadi tumpuan utama dalam pembangunan infrastruktur.

Terdapat sejumlah alasan mengapa sektor swasta kurang tertarik untuk berinvestasi pada pembangunan infrastruktur. Satu di antaranya ialah return yang diperlukan untuk pekerjaan pembangunan infrastruktur di negara-negara sedang berkembang lebih tinggi (2-3%) bila dibandingkan dengan di negara-negara maju. Unsur lainnya, karena labilnya nilai tukar mata uang (foreign exchange) di sebagian besar negara sedang berkembang (Estache, 2008: 50).

Cek Artikel:  Kebijakan Kendaraan Listrik Ke Mana Sebaiknya Kita Berpihak

Dihadapkan dengan persoalan seperti ini, maka memastikan komitmen dari pemerintah dan operator swasta untuk meningkatkan akuntabilitas implementasi program pembangunan infrastruktur kepada pengguna (masyarakat) menjadi sangat penting. Di antara upaya yang telah dilakukan di kawasan Asia, Eropa Timur, dan Amerika Latin ialah dengan cara memperketat regulasi demi mendorong transparansi dan efesiensi dalam pengelolaan program pembangunan infrastruktur (Estache, 2008: 51).

Meskipun demikian, pada tingkat praksis, seiring dengan dihadirkannya sejumlah regulasi tersebut, juga pada sisi lain telah disertai oleh semakin canggihnya ‘teknik’ untuk memanipulasinya. Para politikus cenderung terus mengontrol sektor infrastruktur karena memiliki nilai politis yang tinggi. Akibatnya, alih-alih mendorong terwujudnya prinsip transparansi dan akuntabilitas, justru kehadiran dokumen rencana pembangunan daerah dan sejumlah regulasi pada akhirnya lebih berfungsi sebagai payung hukum untuk melegitimasi praktik rent-seeking dalam implementasi program pembangunan infrastruktur (Flyvberg, Bruzelius, and Rothengatter, 2003).

 

Unjust by default

Kecenderungan adanya kasus penyalahgunaan kewenangan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia merupakan realitas yang sulit dimungkiri. Winters (2015), misalnya, menduga bahwa beberapa program, undang-undang, dan kebijakan pemerintah telah diinstrumentasikan untuk mendistribusikan kekayaan dan modal di antara para elite di pemerintahan, partai politik, dan pebisnis.

Cek Artikel:  Pilkada Jakarta Haruskah Dua Putaran

Hasil penelusuran penulis atas data ICW diperoleh informasi bahwa sedikitnya dapat dicatat ada 106 kasus korupsi terkait dengan pembangunan infrasturuktur pada 2015, kemudian mengalami kenaikan menjadi 133 kasus pada 2016. Selanjutnya, 158 kasus pada 2017, 167 kasus pada 2018, serta 271 kasus pada 2019.

Terakhir, satu di antara kasus yang mencengangkan publik pada awal 2023 ialah megakorupsi pembangunan infrastruktur yang melibatkan Gubernur Papua Lukas Enembe (Kompas, 12/1/2023). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada Senin, 19 September 2022, mengungkapkan dugaan korupsi yang dilakukan Lukas Enembe mencapai Rp560 miliar (CNN Indonesia, 2023).

Hasil studi longitudinal yang penulis lakukan pada 2016 dan 2020 di beberapa provinsi mengindikasikan bahwa para elite penyelenggara pemerintahan daerah, partai politik, dan para pengusaha cenderung terus mengontrol sektor infrastruktur yang memiliki nilai politis tinggi. Implikasinya, pembangunan infrastruktur kemudian tidak saja telah dimanfaatkan sebagai komoditas politik untuk mendulang dukungan dari masyarakat pada saat pilkada, tapi juga sudah dijadikan sebagai ladang potensial bagi praktik rent-seeking demi akumulasi keuntungan ekonomi jangka pendek dan akumulasi modal politik.

Berkas resmi rencana pembangunan jangka menengah daerah (RJMD), yang selanjutnya diturunkan ke dalam program/kegiatan dalam alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (ABPBD) serta berbagai regulasi yang menyertainya, pada akhirnya cenderung difungsikan sebagai payung hukum untuk legalisasi praktik rent-seeking. Saya kemudian menyebut praktik rent-seeking melalui formalisasi kepentingan ekonomi politik elite ke dalam dokumen rencana pembangunan daerah dan manipulasi regulasi pada fase implementasi program pembangunan infrastruktur tersebut, dengan terminologi unjust by default.

Fleksibilitas regulasi pada tingkat tertentu memang diperlukan dalam rangka memberi ruang kepada para pengambil kebijakan melakukan inovasi. Meskipun demikian, fleksibilitas regulasi juga akan membuka ruang bagi manipulasi kebijakan untuk melegitimasi praktik rent-seeking. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika politisi dan penyelenggara pemerintahan biasanya sangat menggemari regulasi-regulasi yang bersifat umum (berisikan ‘pasal-pasal karet’) dan cenderung normatif (Schlirf, Rodriguez Pardina, dan Groom, 2009) karena akan memberi peluang untuk multitafsir, dan pada gilirannya bakal menciptakan ‘ruang abu-abu’. Pada konteks inilah praktik unjust by default, sebagaimana dikemukakan di atas, sulit untuk dihindari.

Cek Artikel:  Bahasa dan Susastra untuk Kebangkitan

Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya berperan sebagai variabel determinan bagi pertumbuhan dan daya saing ekonomi, tetapi juga sebagai komoditas politik bagi para elite penyelenggara pemerintahan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik jangka pendek.

 

tiser :

Para elite penyelenggara pemerintahan daerah, partai politik, dan para pengusaha cenderung terus mengontrol sektor infrastruktur yang memiliki nilai politis tinggi. Implikasinya, pembangunan infrastruktur kemudian tidak saja telah dimanfaatkan sebagai komoditas politik untuk mendulang dukungan dari masyarakat, tapi juga sudah dijadikan sebagai ladang potensial bagi praktik rent-seeking demi akumulasi keuntungan ekonomi jangka pendek dan akumulasi modal politik.

Mungkin Anda Menyukai