Ilustrasi. Foto: dok MI/Sumaryanto.
Jakarta: DBS Group Research memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 mencapai 5,1 persen secara tahunan, sedikit lebih tinggi dibandingkan 5,03 persen pada 2024. Konsumsi domestik diproyeksikan menjadi pendorong Primer pertumbuhan, terutama pada paruh pertama tahun ini.
“Triwulan kedua merupakan periode yang kuat Kepada pertumbuhan ekonomi karena adanya Ramadan dan Idulfitri. Pada Begitu yang sama, kebijakan pemerintah mengenai kesejahteraan, keringanan makroprudensial Kepada beberapa sektor, kenaikan upah minimum, dan pertumbuhan upah riil yang lebih Berkualitas diharapkan dapat mendukung pertumbuhan,” tulis laporan DBS Group Research seperti dikutip pada Rabu, 5 Maret 2025.
Tetapi, di tengah kebijakan yang mendorong konsumsi, pemangkasan belanja negara berpotensi menahan laju pertumbuhan. Pemerintah telah mengumumkan pemotongan anggaran senilai Rp307 triliun Kepada menekan pengeluaran yang dinilai Kagak produktif.
“Langkah itu menuai kritik karena dapat mengurangi kepercayaan investor dan memperlambat partisipasi sektor swasta dalam proyek-proyek strategis,” lanjut laporan DBS.
Dari sisi inflasi, data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia mengalami deflasi tahunan sebesar 0,1 persen pada Februari 2025, Nomor negatif pertama dalam lebih dari dua Sepuluh tahun.
Penurunan itu sebagian besar disebabkan oleh Pengaruh berakhirnya diskon tarif listrik pemerintah, yang berdampak pada penurunan harga Daya. Meskipun demikian, tekanan inflasi diperkirakan meningkat pada kuartal kedua, terutama akibat kenaikan harga rokok, transportasi, dan bahan bakar non-subsidi.
Sedangkan dari sisi fiskal, defisit diprediksi meningkat menjadi -2,5 persen dari PDB pada 2025, lebih tinggi dibandingkan -2,3 persen pada 2024. Kenaikan ini terjadi akibat peningkatan belanja kesejahteraan, termasuk program makan bergizi gratis, Donasi pangan, dan stimulus perumahan.
Tetapi, upaya meningkatkan pendapatan negara melalui kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terbatas pada barang mewah, yang berpotensi menghasilkan penerimaan lebih rendah dari ekspektasi awal.
(Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Foto: Dok Liputanindo.id)
Stabilitas eksternal jadi perhatian
Defisit transaksi berjalan diproyeksikan berada dalam kisaran -0,5 persen hingga -1,3 persen dari PDB pada 2025. Meski surplus neraca pembayaran tetap terjaga berkat arus masuk investasi asing dan pembiayaan eksternal, risiko eksternal tetap Terdapat.
Indonesia belum terdampak langsung oleh kenaikan tarif AS, tetapi Interaksi erat dengan Tiongkok berpotensi menarik perhatian di tengah ketegangan perdagangan Mendunia.
Kondisi pasar keuangan domestik menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi. Rupiah mengalami tekanan akibat penguatan dolar AS, dengan penurunan -2,3 persen sejak awal tahun. Selain itu, Bank Indonesia tengah mempertimbangkan kebijakan moneter yang lebih akomodatif, Tetapi perlu berhati-hati terhadap potensi dampaknya terhadap stabilitas nilai Ubah.
Di sisi investasi, pemerintah telah membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), yang berperan dalam mengelola Biaya investasi Badan Usaha Punya Negara (BUMN).
Badan itu diharapkan menerima Biaya awal Sekeliling UD20 miliar, yang sebagian besar berasal dari dividen perusahaan-perusahaan negara. Tetapi, Lagi Terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana Biaya ini akan dicatat dalam anggaran negara.