KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) baru-baru ini telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Buat mencegah kasus perundungan dalam kegiatan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Dalam surat edaran itu, diatur grup percakapan program PPDS Bagus WhatsApp hingga Telegram harus terdaftar Formal sehingga Bisa dipantau.
Setidaknya terdapat empat poin dalam SE Kemenkes yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Azhar Jaya tersebut.
Poin pertama, setiap group jaringan komunikasi (WhatsApp, Telegram dan sebagainya) peserta didik PPDS harus terdaftar Formal pada Rumah Sakit dan di dalam grup tersebut harus Terdapat Ketua KSM/Kepala Departemen sebagai perwakilan dari RS dan Ketua Program Studi sebagai perwakilan FK Buat memudahkan pemantauan.
Kedua, bila ditemukan adanya jaringan komunikasi yang Kagak Formal dan Kagak terdaftar maka akan diberikan Hukuman kepada peserta didik paling senior yang Terdapat di jaringan komunikasi tersebut.
Ketiga, bila ditemukan adanya tindakan perundungan di jaringan komunikasi yang Formal maka: Ketua KSM/Departemen dan Kepala Program Studi Serempak pelaku perundungan akan diberikan Hukuman.
Keempat, sebagai langkah Buat memantau hal tersebut, diminta kepada Direktur Sumber Daya Insan dan Pendidikan Rumah Sakit Kementerian Kesehatan mendata Segala jaringan komunikasi tersebut dan data tersebut harus selesai dalam 1 (satu) minggu setelah surat diterima.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan bahwa aturan semacam ini sebenarnya Kagak perlu Buat dilakukan. Tetapi demikian, dia Kagak Mengerti secara Niscaya Dalih dibalik pembuatan SE oleh Kemenkes tersebut.
“Kalau menurut saya Kagak perlu, tapi saya Kagak Mengerti pertimbangan Kemenkes,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Senin (28/10).
Dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman menjelaskan bahwa tujuan SE ini adalah Buat mencegah adanya tindak bullying/perundingan yang terjadi kepada peserta PPDS terutama di grup-grup WhatsApp, Telegram dan sebagainya.
“Grup yang didaftarkan adalah grup yang berfungsi Buat jaringan komunikasi terkait kegiatan PPDS, misalnya berupa broadcast info, arahan, perintah, koordinasi jaga, atau koordinasi pengelolaan pasien,” kata Aji.
Lebih lanjut, menurutnya Kemenkes Kagak bermaksud Buat mengganggu ranah privat peserta atau tenaga pendidik, sehingga grup yang Kagak Terdapat hubungannya dengan kegiatan PPDS Kagak perlu didaftarkan.
“Apabila ditemukan bukti adanya bullying berkaitan dengan kegiatan PPDS di grup-grup yang disebutkan dalam poin ketiga SE, maka dapat dikenakan Hukuman,” tegasnya.
Sementara itu, Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sekaligus Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah (PDITT), dr Iqbal Mochtar mengatakan bahwa semakin hari, kebijakan Kemenkes semakin terasa Kagak masuk Pikiran.
“Dalam upayanya menangani bullying di lingkungan pendidikan kedokteran, Kemenkes kini mengharuskan Segala grup WhatsApp yang digunakan oleh peserta didik kedokteran spesialisuntuk didaftarkan secara Formal pada rumah sakit. Grup Whatsapp harus juga melibatkan kepala departemen dan ketua program studi (KPS). Setiap grup yang Kagak terdaftar akan dikenakan tindakan. Segala rumah sakit pun diwajibkan mendata dan melaporkan daftar grup WhatsApp tersebut setidaknya minggu depan,” ujar Iqbal.
Menurutnya, langkah ini menunjukkan kecenderungan otoriter Kemenkes, yang tampaknya Ingin mengontrol aspek pribadi yang Sebaiknya berada di luar wewenangnya.
“Apakah Kemenkes kini merasa punya otoritas Buat memantau Segala percakapan di grup WhatsApp, yang semestinya merupakan sarana komunikasi privat di antara peserta didik? Padahal pemerintah sendiri Kagak Mempunyai kebijakan yang memaksa pelaporan grup-grup media sosial. WhatsApp sendiri menggunakan enkripsi end-to-end Buat menjaga privasi percakapan, sehingga isi pesan hanya Bisa diakses oleh Member grup,” lanjutnya.
Kebijakan Kemenkes ini dikatakan berpotensi melanggar hak privasi dan kebebasan berekspresi serta membatasi hak Buat berkomunikasi secara bebas.
“Selain itu, kebijakan ini tampaknya Kagak relevan sebagai solusi Buat mengatasi bullying. Peserta PPDS sangat pahan bahwa platform media sosial, termasuk WhatsApp, Mempunyai rekam jejak digital yang dapat dengan mudah diekspos Apabila disalahgunakan. Peserta didik menyadari bahwa tindakan negatif atau bully di dalam grup WhatsApp berpotensi membawa Pengaruh Jelek bagi mereka sendiri, terutama Apabila berujung pada konsekuensi hukum atau Hukuman dari pihak institusi,” ujar Iqbal.
“Oleh karena itu, mereka akan lebih berhati-hati dan Kagak akan menggunakan grup WhatsApp Buat tindakan semacam itu. Apabila seseorang Akurat-Akurat Ingin melakukan tindakan bullying, mereka Bisa saja mencari Metode lain yang Kagak terpantau, seperti percakapan langsung atau aplikasi yang Kagak diawasi,” sambungnya.
Maka dari itu, menurut Iqbal kebijakan ini Malah mendorong tindakan intimidasi Buat berpindah platform, tanpa Akurat-Akurat menyelesaikan masalah.
Lebih jauh Kembali, kebijakan ini dapat menimbulkan Pengaruh negatif yang signifikan di antaranya, peserta didik mungkin merasa tertekan dan Kagak Kondusif, karena merasa bahwa setiap percakapan mereka di grup WhatsApp Bisa saja diawasi dan dilaporkan. Perasaan diawasi ini Bisa mengganggu kesehatan mental mereka, terutama mengingat beban pendidikan kedokteran spesialis yang sudah sangat berat.
Selanjutnya keterlibatan kepala departemen dan KPS dalam pengawasan grup WhatsApp ini dapat menimbulkan konflik kepentingan dan memperparah ketegangan antara peserta didik dan pihak institusi, yang Sebaiknya menjadi rekan dalam mendukung kemajuan akademik dan profesional peserta didik.
Risiko lainnya adalah potensi penyalahgunaan data grup WhatsApp yang didaftarkan. Ketika informasi ini dikumpulkan dan dicatat oleh rumah sakit, Terdapat risiko besar bahwa data tersebut dapat disalahgunakan oleh pihak yang Kagak bertanggung jawab atau digunakan Buat kepentingan yang Kagak sesuai dengan tujuan awal.
Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam proses pengawasan ini, kerahasiaan data menjadi rentan dan integritas privasi peserta didik Bisa terancam.
Kebijakan ini juga Bisa merusak Gambaran Kemenkes dan pemerintah di mata masyarakat. Alih-alih dianggap serius dalam menangani bullying, kebijakan ini Malah Bisa dianggap sebagai langkah berlebihan dan Kagak menyentuh substansi masalah.
Publik mungkin akan mempertanyakan mengapa Kemenkes begitu sibuk mengurus urusan teknis seperti grup WhatsApp peserta didik, sementara isu-isu mendasar dalam kesehatan nasional, seperti pemerataan layanan kesehatan, akses obat-obatan, dan peningkatan fasilitas medis, Tetap jauh dari Asa.
Kebijakan ini terlihat seolah menutupi kegagalan Kemenkes dalam memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat yang tertinggal dibandingkan negara-negara di kawasan.
“Secara keseluruhan, kebijakan ini Kagak hanya terkesan arogan, tetapi juga jauh dari relevan sebagai penyelesaian masalah. Alih-alih menyelesaikan akar masalah bullying, kebijakan ini malah berisiko memperburuk Interaksi antara peserta didik dan pihak institusi, mengancam privasi, serta mengalihkan Pusat perhatian dari masalah kesehatan nasional yang lebih mendesak. Apabila Ingin menyelesaikan masalah bullying dengan lebih efektif, Kemenkes sebaiknya Pusat perhatian pada upaya peningkatan edukasi, pendekatan humanis, dan pengawasan internal yang efektif, bukan dengan berperan seperti badan intelijen yang terlalu jauh mengawasi kehidupan pribadi peserta didik,” pungkasnya. (S-1)