PEMILU, termasuk di dalamnya pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) adalah keniscayaan demokrasi yang harus dilaksanakan. Apakah kemudian pilpres akan berlangsung satu putaran atau dua putaran, penentunya ialah kehendak dan suara rakyat. Tak ada yang lain.
Bila ada pihak yang memaksakan salah satunya dengan narasi-narasi menyesatkan, bahkan disertai dengan upaya mendikte dan menakut-nakuti masyarakat dalam menentukan hak pilih mereka, itu justru akan mencederai proses demokratisasi yang seharusnya kita junjung tinggi.
Hal tersebut mesti tak bosan-bosan kita ingatkan mengingat sampai hari ini masih saja ada kelompok yang terus-terusan ‘memprovokasi’ masyarakat dengan gerakan sistematis dan narasi manipulatif bahwa pilpres satu putaran lebih menguntungkan negara, terutama dalam konteks ekonomi.
Sebagai contoh, berkali-kali disampaikan oleh kelompok-kelompok itu bahwa pilpres satu putaran akan menghemat anggaran sebesar Rp27 triliun. Eksis pula yang menyebut jika pilpres cukup selesai satu putaran, stabilitas nasional akan lebih terjaga sehingga iklim usaha dan investasi tidak terganggu. Laju perekonomian pun, kata mereka, akan dapat diakselerasi lebih cepat.
Harus kita katakan itu semua adalah klaim dan narasi sesat. Pada poin penghematan anggaran, misalnya, dana Rp27 triliun yang dianggarkan untuk pilpres putaran kedua itu tak sampai 1% dari pagu belanja negara pada APBN 2024 yang ditetapkan sebesar Rp3.325,1 triliun.
Kembalipula, biaya pemilu putaran kedua itu sudah dianggarkan sejak awal dan itu menjadi tanggung jawab negara. Lampau, mengapa tiba-tiba sekarang mereka seolah-olah ingin menjadi pahlawan penghematan anggaran? Itu namanya bukan lagi pahlawan kesiangan, melainkan oportunis yang kebablasan.
Kemudian, narasi bahwa pilpres satu putaran lebih ramah dengan iklim usaha dan investasi juga sudah terbantahkan. Kalangan pengusaha nyatanya tidak mempersoalkan pilpres bakal berlangsung satu putaran atau dua putaran. Pertumbuhan usaha maupun perekonomian di Indonesia bukan akan dipengaruhi oleh seberapa banyak putaran pilpres, melainkan seberapa demokratis pilpres tersebut menghasilkan pemimpin yang betul-betul merupakan pilihan rakyat.
Yang terpenting bagi kalangan pebisnis dan investor itu ialah bahwa pemimpin pilihan rakyat dari proses pemilu yang demokrastis tadi dapat membentuk pemerintahan yang legitimate, dipercaya, dan pro terhadap bisnis. Ekonomi otomatis akan bergairah kalau pemilu berjalan sukses membentuk pemerintahan yang dipercaya dan legitimate, probisnis, serta pro-penciptaan lapangan kerja.
Dengan fakta-fakta, maka makin nyata bahwa narasi-narasi pilpres satu putaran yang gencar diapungkan dan digaungkan kelompok tertentu itu amat tidak relevan, mengada-ada, menyesatkan, sekaligus melawan rasionalitas. Patut diduga ada skenario kotor di balik kengototan mereka memaksa publik menerima narasi yang penuh manipulasi tersebut.
Karena itu, semua pihak terutama publik mesti menguatkan lagi gerakan mengawal dan menjaga pemilu agar skenario-skenario sekotor apa pun, termasuk narasi pemaksaan pilpres satu putaran tidak mendapat ruang untuk berkembang dan kemudian mati tanpa pernah tereksekusi.