SEJAK kekejaman terhadap Rohingya dimulai tujuh tahun lalu, tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang mereka alami, dan siklus impunitas harus diputus, kata kepala Mekanisme Pengusutan Independen PBB untuk Myanmar pada Kamis.
Nicholas Koumjian mengatakan bahwa minggu ini menandai tujuh tahun sejak gelombang kekejaman yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar menyebabkan ratusan ribu wanita, pria, dan anak-anak Rohingya meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
“Myanmar. Penduduk Rohingya kehilangan orang-orang yang mereka cintai dan harta benda, dan banyak yang menjadi korban kekerasan seksual yang mengerikan. Mayoritas mencari perlindungan di negara tetangga Bangladesh, tempat mereka tinggal, sambil menunggu hari ketika keadaan aman untuk kembali ke rumah mereka di Myanmar,” kata Koumjian, dilansir Anadolu, Jumat (23/8).
Baca juga : 115 Pengungsi Rohingya di Malaysia Kabur dari Penahanan Imigrasi
Penyidik mengatakan bahwa belum ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban atas “kejahatan mengerikan ini.”
Kelambanan ini telah membuat para pelaku di Myanmar semakin berani melanjutkan tindakan brutal mereka tanpa takut akan konsekuensinya, kata Koumjian.
“Apabila kejahatan tidak dihukum, hal ini dapat memicu kekerasan lebih lanjut. Siklus impunitas ini harus diputus.”
Baca juga : Tangkap Pelaku TPPO Rohingnya, Polresta Banda Aceh Rilis Bukti Penyerahan Duit
Penyelidik PBB menjelaskan bahwa tahun ini, konflik bersenjata meningkat di seluruh Myanmar, termasuk di Negara Bagian Rakhine, seiring meningkatnya penentangan terhadap kekuasaan militer.
“Hal ini membuat warga Rohingya sangat rentan, dengan laporan mengerikan tentang pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembakaran desa-desa,” kata Koumjian.
Sebelumnya pada bulan Agustus, serangan pesawat tak berawak terhadap warga Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan dilaporkan menewaskan sejumlah besar warga sipil.
Baca juga : Menlu Retno Bunyikan Nasib Pengungsi Rohingya dan Palestina
Mekanisme independen telah membuka penyelidikan baru terhadap kejahatan ini. Tetapi, siklus kekejaman kemungkinan akan terus berlanjut hingga para pelaku kejahatan sebelumnya diadili, kata kepala kelompok investigasi.
“Keadilan internasional sering kali berjalan lambat, dan ini bisa sangat membuat frustrasi bagi para korban yang sangat mengharapkan keadilan yang dapat mengakhiri penderitaan mereka. Kami telah mengumpulkan dan menganalisis sejumlah besar bukti, termasuk video, foto, postingan media sosial, dan citra geospasial,” katanya, seraya mencatat bahwa kelompok tersebut tengah berupaya sebaik mungkin untuk membuahkan hasil.
Golongan investigasi telah mewawancarai ratusan penyintas, saksi mata, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan orang dalam tentang perintah yang diberikan untuk melakukan kejahatan.
Baca juga : Temui UNHCR, Ini Sikap Indonesia soal Pengungsi Rohingya
Golongan tersebut berbagi temuannya dengan pihak berwenang yang terlibat dalam kasus-kasus yang melibatkan Rohingya di Mahkamah Pidana Dunia dan Mahkamah Dunia, kata Koumjian.
Para penyelidik telah berbagi 80 paket yang berisi lebih dari satu juta informasi pendukung dan item analisis.
“Kami mengidentifikasi individu-individu yang paling bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan terhadap Rohingya, termasuk mereka yang memerintahkan kejahatan tersebut, mereka yang gagal menghukum kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang di bawah komando mereka, dan mereka yang secara aktif mempromosikan kampanye kebencian yang memicu kejahatan ini,” kata kepala investigasi tersebut.
Mekanisme Pengusutan Independen untuk Myanmar dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Insan PBB pada tahun 2018 untuk mengumpulkan dan menganalisis bukti kejahatan internasional paling serius dan pelanggaran hukum internasional lainnya yang dilakukan di Myanmar sejak 2011.
Tujuh tahun setelah diusir dari Myanmar melalui kampanye kekerasan yang ditargetkan oleh junta militer, lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, bergabung dengan ribuan lainnya yang telah melarikan diri dari episode kekerasan sebelumnya.
Lebih dari satu juta dari mereka tinggal di Cox Bazar, Bangladesh, menjadikannya pemukiman pengungsi terbesar di dunia. (I-2)