Duh! Rupiah Terjun Bebas Pagi Ini, Sentuh Rp16.500-an/USD

Ilustrasi. Foto: dok MI.

Jakarta: Nilai Ubah (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Perkumpulan (AS) pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami penurunan cukup signifikan.

Mengutip data Bloomberg, Rabu, 19 Maret 2025, rupiah hingga pukul 09.25 WIB berada di level Rp16.536 per USD. Mata Dana Garuda tersebut melemah sebanyak 108 poin atau setara 0,66 persen dari Rp16.428 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.

Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.529 per USD. Rupiah melemah 110 poin atau setara 0,67 persen dari Rp16.419 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Analis pasar Dana Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan menguat.

“Demi perdagangan hari ini, mata Dana rupiah fluktuatif Tetapi ditutup menguat di rentang Rp16.390 per USD hingga Rp16.430 per USD,” ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
 

Cek Artikel:  Ekspor Perdana 8.196 Kilogram Kotak Ikan Asal Malang Tembus Pasar Meksiko

 

Ketegangan geopolitik hingga fiskal melemah

Ibrahim mengungkapkan, Israel melancarkan serangan terhadap Sasaran Hamas di Gaza, pembicaraan gencatan senjata gagal. Sejumlah laporan media mengatakan Israel telah melancarkan serangan terhadap Sasaran Hamas di seluruh Gaza setelah pembicaraan tentang gencatan senjata gagal.

Serangan itu dilaporkan menewaskan lebih dari 200 orang, termasuk pejabat senior Hamas, dan memicu kemarahan dari Golongan itu, yang menuduh Israel melanggar gencatan senjata Januari. Israel dan Hamas telah menyetujui gencatan senjata sementara pada pertengahan Januari.

Tetapi pembicaraan mengenai perjanjian damai yang lebih konkret telah memburuk di tengah ketidaksepakatan atas ketentuan gencatan senjata, sementara delegasi AS juga Kagak dapat menjadi penengah perdamaian.

Israel mengklaim serangan itu sebagai balasan atas penolakan berulang Hamas Demi membebaskan sandera Israel. Serangan pada Selasa itu menandai pembaruan ketegangan di Timur Tengah.

Di dalam negeri, Ibrahim Memperhatikan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta atau APBN KiTa Februari 2025 menunjukkan indikasi pelemahan fiskal yang perlu segera diantisipasi.

Cek Artikel:  OJK Tetapkan Kembang Pinjaman Online Turun dari 0,3% hingga 0,067% Mulai 2024

Defisit fiskal sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap PDB dalam dua bulan pertama tahun ini, ditambah dengan penurunan penerimaan pajak sebesar 30,19 persen (yoy), menjadi tanda bahaya bagi keberlanjutan kebijakan ekonomi pemerintah.

“Kalau Kagak Eksis langkah korektif yang tegas, bukan Kagak mungkin defisit Dapat melebar hingga Mengungguli batas Kondusif di akhir tahun,” tutur dia.


(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
 

Laporan APBN KiTa edisi Februari 2025

Dilansir dari data Kementerian Keuangan dalam laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, realisasi pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari Sasaran APBN tahun ini.

Penerimaan perpajakan mencatatkan Bilangan Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari Sasaran tahun ini, terdiri dari penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari Sasaran serta penerimaan kepabeanan dan cukai Rp52,6 triliun atau 17,5 persen dari Sasaran.

Cek Artikel:  Populasi Kelas Menengah di Indonesia Menyusut, Ini Panduan Keuangan Praktis untuk Anda

Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah terkumpul sebanyak Rp76,4 triliun atau 14,9 persen dari Sasaran APBN. Anjloknya penerimaan pajak bukan hanya disebabkan oleh Unsur ekonomi yang lesu, melainkan juga permasalahan administrasi dan implementasi sistem Coretax yang gagal beroperasi secara optimal.

“Penurunan pajak yang drastis ini lebih banyak berkaitan dengan kendala dalam implementasi Coretax yang menghambat pemungutan pajak dari sektor-sektor Istimewa,” Jernih Ibrahim.

Selain pajak, daya beli masyarakat disebut menjadi Unsur Istimewa yang patut dicermati. Inflasi pangan dan Daya yang Tetap bertahan di atas empat persen berpotensi menekan konsumsi rumah tangga yang merupakan kontributor terbesar terhadap PDB.

Menurut Ibrahim, Kalau daya beli masyarakat Lanjut melemah, maka sektor ritel, UMKM, hingga industri manufaktur akan terdampak signifikan. “Ini Dapat menjadi awal dari perlambatan ekonomi yang lebih dalam,” Jernih dia.

Mungkin Anda Menyukai