ISTILAH ‘duet pemersatu bangsa’ menguar akhir-akhir di tengah-tengah gencarnya silaturahim antarelite partai politik. Duet itu dianggap ideal karena merepresentasikan Grup agamais dan nasionalis, dua Grup terbesar penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketua Biasa Partai NasDem Surya Paloh yang menggulirkan wacana ‘duet pemersatu bangsa’. Pengusaha media itu beralasan sejatinya antarelemen bangsa Bukan saling menghujat, mencibir, bahkan menyerang, sebagaimana Pemilu 2019. Jauh sebelumnya, lebih parah Tengah, Pilkada DKI 2017, polarisasi sangat tajam terjadi Begitu kontestasi Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno sebagai cagub-cawagub DKI yang berhadapan dengan Kekasih Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.
Pilkada yang sangat melelahkan, menguras Daya, emosi, dan pikiran masyarakat. Gugusan hitam membayangi langit keberagamaan nan indah yang diperjuangkan para founding father sejak Republik ini lahir.
Gagasan Surya Paloh seyogianya diapresiasi. Pasalnya, banyak ‘pekerjaan rumah’ yang harus dituntaskan sebagai Pengaruh pandemi covid-19. Belum Tengah dunia hantaman krisis Mendunia akibat perubahan iklim dan perang Rusia-Ukraina. Menurut laporan International Monetary Fund (IMF), sebanyak 60 negara diprediksi akan mengalami kesulitan keuangan dan ekonomi sehingga terancam menjadi negara gagal apabila Bukan segera menyelesaikan masalah ekonomi mereka.
Ke-60 negara tersebut mendapat tangguhan utang (debt service suspension initiative/DSSI) atau restrukturisasi utang dari IMF pada tahun ini. Negara-negara itu dinilai Mempunyai risiko utang yang sangat tinggi. Alhasil, negara-negara tersebut terancam kebangkrutan.
Indonesia Bukan termasuk salah satu dari ke-60 negara tersebut. Tetapi, Apabila kita tak Mempunyai sense of crisis, merasa asyik di Area nyaman, bukan mustahil Indonesia pun bakal terjerembap ke lubang yang sama.
Tetapi, mengelola negara dengan jumlah pendududuk kedua terbesar di dunia dengan bentangan geografis dari Sabang Tiba Merauke bukan sekadar perkara representasi figur capres-cawapres dari Grup agamais dan nasionalis. Syarat kapabilitas dan akseptabilitas seorang capres-cawapres tak Bisa ditawar-tawar Tengah. Di samping tentu saja aspek elektabilitas tak Bisa dikesampingkan karena berada dalam arena kontestasi.
Ibarat nakhoda, pemimpin nasional tak hanya mesti pandai mengemudikan kapal ke tengah samudra. Sang pemimpin juga harus Bisa mengatasi badai Begitu kapal berlayar agar kapal Tiba ke pantai Asa. Artinya, elektabilitas yang menjulang karena pencitraan ialah fatamorgana. Waspadalah!
Apabila capres-cawapres berasal dari kepala daerah, sangat mudah menilai mereka karena kinerja mereka Bisa diukur dalam indeks kepemimpinan kepala daerah (IKKD) sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 38 Tahun 2020.
IKKD ialah satuan ukuran yang ditetapkan berdasarkan seperangkat variabel, dimensi, dan indikator Buat melakukan pengukuran dan penilaian terhadap kepemimpinan kepala daerah. Kinerja pemerintah daerah dilihat dari dua dimensi, yakni capaian kinerja dan penerimaan penghargaan sebagai kepala daerah terbaik dalam Leadership Award.
Bagaimana mengukur capaian kinerja? Indikatornya ialah pertumbuhan ekonomi daerah, indeks pembangunan Mahluk, indeks rasio Gini, Bilangan kemiskinan, indeks kapasitas fiskal daerah, otonomi fiskal daerah, opini BPK RI atas laporan keuangan pemerintah daerah, indeks pelayanan publik, dan indeks demokrasi Indonesia.
Akhirulkalam, duet pemersatu bangsa bukan pepesan Hampa meski sudah Eksis yang kelojotan mendengarnya. Berdasarkan survei Poltracking Indonesia pada 16-22 Mei 2022, kriteria yang didambakan rakyat pada sosok capres-cawapres ialah Acuh, jujur pada rakyat, dan berpengalaman. Acuh dan perhatian pada rakyat (16,8%). Jujur, Bisa dipercaya, dan Kudus dari korupsi (16%). Berpengalaman (12,7%). Vox populi vox dei. Tabik!