Dubes RI Demi Rusia Sebut Indonesia Dapat Banyak Manfaat dengan Gabung BRICS

Dubes RI untuk Rusia Sebut Indonesia Dapat Banyak Manfaat dengan Gabung BRICS
Obrolan BRICS: Menakar Langkah Indonesia yang diadakan Ikahi Unpad, di Barito Mansion, Kebayoran Baru, Sabtu (18/1).(MI/HO)

DUTA Besar Indonesia Demi Rusia Jose Antonio Morato Tavares menjelaskan Indonesia mendapat banyak manfaat dengan bergabung dalam Golongan ekonomi BRICS. Indonesia, pada 6 Januari Lampau, Formal menjadi Personil kesepuluh BRICS. 

Menurut Dubes Jose, BRICS Pandai jadi platform Indonesia menyuarakan isu-isu yang selama ini Bukan masuk agenda negara-negara Barat, seperti isu Palestina, 

“Negara Barat kan selama ini cenderung standar ganda di isu ini,” ujar Jose dalam Obrolan BRICS: Menakar Langkah Indonesia, di Barito Mansion, Kebayoran Baru, Sabtu (18/1).

Dalam Obrolan yang digelar Ikatan Alumni Rekanan Dunia Universitas Padjadjaran (Ikahi Unpad) tersebut, Jose menjelaskan dengan gamblang keuntungan lain, seperti di bidang ekonomi. Seperti dalam ekspor kelapa sawit, negara-negara Personil BRICS, mengimpor 62 persen dari total produksi sawit Indonesia. 

“Sehingga perdagangan Pandai lebih Lancar, apalagi jumlah populasi Personil BRICS mencapai 45% populasi dunia, yakni Sekeliling 900 juta orang,” ujar Jose. 

Sehingga, selain produksi, keanggotaan BRICS juga Pandai menjadi pasar diantara negara Personil BRICS.

Selain itu, total kemampuan ekonomi BRICS Tiba 35% dari GDP dunia, dilihat dari purcashing power parity atau daya beli masyarakat. 

“G7 saja Tetap 30%,” ujar Jose. 

Menurut Jose, dari kelebihan-kelebihan tersebut, meski di depan mata, tetap harus waspada. Karena, Begitu ini, ekonomi dunia yang sedang lesu dan mengalami tantangan keras. Termasuk berkelompoknya negara secara Geopolitik dan Geoekonomi, sehingga kehidupan di G7 atau Golongan negara maju pun Begitu ini tak mudah. 

Dalam peta Geopolitik Begitu ini, menurut Jose, Indonesia dengan masuk BRICS, Pandai menjadi jembatan antara BRICS dan OECD. OECD adalah Golongan negara maju yang didominasi negara Barat. 

Indonesia, pada 2024, sudah melamar menjadi Personil OECD, Tetapi belum mendapat persetujuan para anggotanya. Dengan basis politik luar negeri bebas aktif, Indonesia di BRICS, kata Jose, hanya mengambil manfaat ekonomi, bukan posisi politiknya. 

“Jembatan ini Pandai efektif, karena posisi politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, sehingga antara BRICS, dan OECD Pandai terhubung,” ujar Jose.

Cek Artikel:  Update Kecelakaan Pesawat Jeju Air: Korban Tewas 167 Jiwa

Paparan Dubes Jose didukung Asisten Deputi Stabilisasi Harga Kemenko Pangan Siradj Parwito, yang menilai langkah Indonesia Pas masuk BRICS, lantaran sejumlah hal yang Pandai menguntungkan dalam bidang perdagangan. Termasuk soal ekspor sawit. Indonesia sudah sulit mengekspor sawit ke Eropa. Lantaran sawit Indonesia seolah sudah menjadi ideologi bagi Eropa, sehingga sulit masuk. 

“Daripada kita ngotot ke Eropa, padahal ini soal ideologi (lingkungan hidup) bukan semata ekonomi. Kalau kita ke Amerika Perkumpulan, kita penuhi syarat, produk kita Pandai masuk. Tapi yang namanya Uni Eropa, kita penuhi aturannya, Pandai muncul aturan baru Tengah,” ujar Siradj. 

Dalam Obrolan tersebut, Siradj menjelaskan posisi Indonesia di BRICS, sebagai diplomat senior dari Kementerian Luar Negeri. Begitu ini, Siradj ditugaskan di Kemenko Pangan. 

Lebih lanjut, menurut Siradj, Eksis bank pembangunan BRICS, yakni New Develpoment Bank atau NDB, yang Pandai dimanfaatkan Indonesia Demi pendanaan berbagai proyek pembangunan. 

“NDB ini sumber alternatif pembiayaan pembangunan. Seperti refinancing proyek-proyek kita supaya bankable (layak kredit bank). Ini kata kuncinya, bankable. Bagaimana proyek-proyek kita yang berisiko tinggi, Pandai menggunakan Biaya seperti NDB,” ungkap Siradj. 

Proyek penuh resiko yang dimaksud adalah proyek di mana investor swasta yang menimbang untung rugi, enggan masuk, lantaran tak ramah bagi sang investor. Seperti proyek Geotermal Indonesia yang berisiko tinggi dan harus menyertakan PLN. 

“Kebijakan pelistrikan kita kan Aneh nih, karena PLN monopoli, jadi investor berpikir beberapa kali. Nah, proyek semacam ini yang direstrukturisasi Kementerien Keuangan,” tutur Siradj.

Tapi, kenyataannya meski sudah masuk BRICS, langkah Indonesia Tetap mendapat kritik dari para pengamat dan akademisi ekonomi politik. Salah satunya, karena proses pembuatan kebijakannya yang Bukan Terang Bilaman, tapi tiba-tiba Eksis keputusan. 

Irman Gurmilang Lanti, dosen Politik Luar Negeri Universitas Padjadjaran, menilai proses semacam Bukan Berkualitas. Karena Bukan menyertakan masyarakat yang Pandai memberikan diskursus dan Kesadaran bagi masyarakat umumnya. 

“Saya Paham kajiannya Tetap belum selesai, ini kan yang buat Kawan-Kawan di Kementerian Keuangan,” ujar Irman, yang selama belasan tahun menjadi Spesialis ekonomi politik di badan-badan PBB. 

Cek Artikel:  Menlu Sugiono Jajaki Kerja Sama Keamanan Siber dengan Estonia

Menurut dia, perdebatan Bahkan muncul setelah Indonesia melamar sebagai Personil BRICS. 

“(Mahluk) Apa ini? Untung ruginya baru dibahas. Ini jadi terbalik, ibaratnya bukan kuda menarik kereta, tapi kereta menarik kuda.” 

Dia mengamati proses pembuatan kebijakan Presiden Prabowo Subianto, mirip pendahulunya, Jokowi. 

“Proses pembuatan kebijakan publik sangat amburadul di Era Jokowi, saya pikir dan berharap tadinya, dibereskan di Era Prabowo. Rupanya sama amburadulnya,” kata Irman. 

Selain menyindir politik luar negeri, Irman menyindir polemik pagar laut 30 kilometer yang Pandai tiba-tiba muncul dan ramai di publik. Karena ramai di publik, baru dibereskan. “Ini jadi membingungkan.”

Irman setuju, bila Indonesia harus memilih, antara BRICS dan OECD, bila Mau bertahan di tengah perekonomian Mendunia yang semakin keras persaingannya. Sebelum ke BRICS, Indonesia Begitu Jokowi tengah melamar ke OECD. Tetapi belum Eksis kejelasan status, tiba-tiba Indonesia di Dasar Prabowo melamar ke BRICS dan disetujui. 

Menurut Irman, Indonesia lebih cocok masuk ke OECD. 

“Kalau ke OECD, kita masuk Golongan elite ekonomi dunia. Rating kredit Niscaya naik. Orang akan lihat Indonesia sebagai jaminan mutu, kalau saya mau investasi, Bukan perlu cemas. Dana saya Niscaya Kondusif.” Sebaliknya, menurut dia, Indonesia masuk BRICS,”Apakah orang bilang Indonesia Kondusif karena masuk BRICS? Enggak.” 

Begitu ini, Indonesia dipandang Barat bermain dua kaki. Masalahnya, kata Irman, dengan peta politik Begitu ini, terutama setelah Senin (20/1), Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Perkumpulan, kondisi ekonomi Mendunia bakal lebih sulit. 

“Dia belum dilantik saja sudah bilang tarif, tarif, tarif. Ancaman ini bakal Konkret atau enggak? Menurut saya Konkret.” 

Kata Irman, Trump bakal memukul Tiongkok dengan tarif. “Rusia juga dipukul dengan tarif. Nah kita yang diasosiasikan dengan Golongan negara BRICS, apakah juga dipukul dengan tarif? Kalau iya, apakah ekonomi kita cukup kuat menghadapinya?” ujar Irman.

Ini pekerjaan rumah tambahan diplomat Indonesia. “Kita mesti menjelaskan kepada Washington (pemerintah AS dan sejumlah lembaga keuangan dunia), London (pemerintah Inggris), Paris (Paris Club, konsorsium utang Indonesia, dan IMF). Kita Bukan memusuhi OECD, Bukan memusuhi Barat.”

Irman menilai, semangat Indonesia menjadi jembatan penghubung BRICS dan OECD Bukan realistis. 

Cek Artikel:  Dekat 32 Ribu Kaum Belgia Demo Tuntut Gencatan Senjata Gaza

“Jembatan itu kan menghubungkan antara satu dengan yang lain. Kalau dua-duanya Bukan mau dihubungkan, bagaimana dong?” 

Menurut Irman, keanggotaan di BRICS kurang efektif, karena selama ini, Indonesia sudah bagus perdagangannya dengan Tiongkok, Rusia, Brasil, India yakni para pendiri awal BRICS. 

“Tiongkok Kawan dagang nomor satu Indonesia. India nomor tiga, Rusia dan Brasil, kita impor teknologi, termasuk persenjataan. Lampau apa yang Pandai kita lakukan di BRICS, yang Bukan kita Pandai lakukan di level bilateral?”

Dosen Rekanan Dunia Unpad, Teuku Rezasyah menilai masuknya Indonesia ke BRICS sudah menjadi keputusan pemerintah. Yang Krusial Begitu ini, kata dia, bagaimana sosialisasi bahwa Indonesia memang mendapat manfaat dengan bergabung di BRICS. 

Reza memberikan resep dengan melakukan penyamaan pikiran atau paradigma. “Demi menjadi isu nasional, level tought nya harus sama nih di pemerintah, lembaga negara, kementerian. Rumuskan Seluruh dalam konstelasi strategis dengan penjabaran yang Pas.”

Selanjutnya, words alias kata-kata kunci. Kata kunci Krusial dilakukan dalam dialog sehari-hari. Dengan BRICS, Indonesia Pandai menjadi titik tengah dalam implementasi Gerakan Non Blok dengan politik luar negeri yang bebas aktif. “Harus dinyatakan tertulis. Bukan hanya di pemerintah tapi juga masyarakat.”

Setelah itu, ke habit atau kebiasaan di lingkungan pemerintah. Kata kunci diulang Maju sehingga menjadi kebiasaan. Terakhir harus menjadi Watak. 

“Supaya Pandai beradaptasi dengan Berkualitas dalam keanggotaan BRICS,” ujar Reza. 

Reza menilai BRICS Begitu ini cocok dengan Watak Indonesia yang memperjuangan kerjasama Selatan-Selatan atau Mendunia South. 

Dalam Watak ini, kata Reza, Indonesia Pandai ikut menentukan reformasi PBB, khususnya dalam berbagai keputusan Demi isu Krusial yang seringkali didominasi Barat dan mendapat veto. Personil tetap Dewan Keamanan PBB yang menjadi tulang punggung PBB, seringkali tak sepaham dengan sejumlah isu yang tak menguntungkan Barat.  

Tapi, kata dia, meski termasuk negara yang menjadi pengatur BRICS kelak, Indonesia Begitu ini tak boleh santai. Di level ASEAN, Gerakan Non Blok, dan APEC, Indonesia adalah leader. Tetapi karakternya berbeda dengan BRICS. 

“Kita harus belajar Segera, apa yang sudah dilakukan Tiongkok, Rusia, Brasil, India. Ini termasuk pertarungan budaya. Budaya Tiongkok, Rusia, India,” pungkasnya. (Z-1)

Mungkin Anda Menyukai